Takut akan Tuhan adalah Permulaan Pengetahuan

Pengertian Arbitrase

Pengertian Arbitrase



Istilah arbitrase berasal darikata arbitrare (Latin), arbitrage (Belanda/Perancis), arbitration (Inggris) dan shiedspruch (Jerman), yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau perdamaian melalui arbiter atau wasit. Dalam literatur, dijumpai beberapa batasan arbitrase yang dikemukakan oleh para ahli hukum, di antaranya adalah : 

1. Frank Elkoury dan Edna Elkoury dalam bukunya “How Arbitration Works” disebutkan bahwa arbitrase adalah suatu proses yang mudah atau simple yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang ingin agar perkaranya diputus oleh para pihak secara sukarela yang ingin agar perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan pilihan mereka di mana keputusan mereka berdasar kan dalil-dalil dalam perkara tersebut. Para pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan tersebut secara final dan mengikat.


2. Gary Goodpaster, mengemukakan sebagai berikut :
“Arbitration is the private adjudication of disputes parties, anticipating possible disputes or experiencing an actual dispute, agree to submit their dispute to a decision maker they in some fashion select”. 








3. Subekti, menyebutkan bahwa arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seseorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau tunjuk tersebut.


4. Priyatna Abdurrasid mengemukakan bahwa arbitrase adalah suatu proses pemerikaan suatu sengketa yang dilakukan secara yudisial seperti dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa, dan pemecahannya akan didasarkan kepada bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak.


5. M.N. Purwosutjipto menyatakan bahwa Perwasitan adalah suatu peradilan perdamaian di mana para pihak bersepakat agar perselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya, diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak, yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat bagi kedua belah pihak.


6. Dalam Black Law Dictionary dijelaskan sebagai berikut :
“Arbitration is the reference of a dispute to an impartial (third) person chosenby the parties to the dispute who agree in advance to abide by arbitrator’s award issue after hearing at which both parties have and opportunity to be head. An arrangement for taking and abiding by the judgement of selected persons in some dispute matter, istead of carrying it to establishtribunal of justice, an is intended to avoid the formalities, the delay, the expense and taxation of ordinary litigation”. 


7. Dalam Pasal 1 angka 1 UU No.30 Tahun 1999 disebutkan bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”.


8. Arbitrase menurut Komisi Hukum Internasional (International Law Commission) adalah a procedure for the settlement of disputes between states by binding award on the basis of law and as a result of an undertaking voluntarily accepted.
Read More
Sejarah Arbitrase di Indonesia

Sejarah Arbitrase di Indonesia


Sejarah Arbitrase di Indonesia.


Pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda, Arbitrase dibagi menjadi 3 Golongan, yaitu :


1. Golongan Timur Asing dan Eropa 

berlaku RV (Reglement op de Rechtsvorering). 
Diatur dalam Pasal 615 s/d 651 RV (Ruang Lingkup dan fungsi keputusan wasit)

Peraturan mengenai arbitrase dalam RV tercantum dalam Buku ke Tiga Bab
Pertama Pasal 615 s/d 651 RV, yang meliputi :
– Persetujuan arbitrase dan pengangkatan para arbiter (Pasal 615 s/d 623 RV)
– Pemeriksaan di muka arbitrase (Pasal 631 s/d 674 RV)
– Putusan Arbitrase (Pasal 631 s/d 674 RV)
– Upaya-upaya terhadap putusan arbitrase (Pasal 641 s/d 674 RV)
– Berakhirnya acara arbitrase (Pasal 648-651 RV)




2. Golongan Bumiputera yang berada di Luar Jawa dan Madura 

berlaku Rbg (Rechtreglement Buitengwesten). 
Diatur dalam Pasal 705 Rgb "Jika orang Indonesia dan Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh Juru Pisah, maka mereka wajib menuruti Putusan Pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa



3. Bumiputera yang berada di Jawa dan Madura 

berlaku HIR (Herzien Indonesia Reglement). Diatur dalam Pasal 377 HIR. 
Read More
Subjek dan Objek Hukum Arbitrase

Subjek dan Objek Hukum Arbitrase

Subjek Hukum

Para pihak adalah subyek hukum menurut Pasal 1 (2) (3) UU No. 30/1999 "Para pihak adalah subyek hukum, baik menurut hukum perdata maupun hukum publik"






Objek Hukum

Arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa melalui “adjudikatif privat”, yang putusannya bersifat final dan mengikat. Arbitrase sekarang diatur diatur UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam ketentuan Pasal 3 UU No. 30 Tahun 1999 disebutkan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. 


Adapun objek pemeriksaan Arbitrase adalah memeriksa sengketa keperdataan, tetapi tidak semua sengketa keperdataan dapat diselesaikan melalui arbitrase, hanya bidang tertentu yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 30 tahun 1999 yaitu :
“sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa”.
Penjelasannya tidak memberikan apa yang termasuk dalam bidang perdagangan. 

Jika dihubungkan dengan penjelasan Pasal 66, termasuk dalam ruang lingkup perdagangan adalah kegiatan-kegiatan antara lain bidang :
1. Perniagaan
2. Perbankan
3. Keuangan
4. Penanaman Modal
5. Industri dan;
6. Hak Kekayaan Intelektual (HAKI)

Selanjutnya Pasal 5 ayat (2) menyebutkan bahwa :
“Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian”.

Dengan menggunakan penafsiran argumentum a contrario, maka kompetensi arbitrase adalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dapat diadakan perdamaian
Read More
Dasar Hukum Arbitrase di Indonesia

Dasar Hukum Arbitrase di Indonesia






Dasar Hukum Arbitrase di Indonesia, adalah :



1. Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 14 /1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman


Setelah Indonesia merdeka, ketentuan yang tegas memuat pengaturan lembaga arbitrase dapat kita temukan dalam memori penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan “ Penyelesaian perkara diluar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit atau arbitrase tetap diperbolehkan”.







2. UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa


Sebagai ketentuan yang terbaru yang mengatur lembaga arbitrase, maka pemerintah mengeluarkan UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, pada tanggal 12 Agustus 1999 yang dimaksudkan untuk mengantikan peraturan mengenai lembaga arbitrase yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman dan kemajuan perdagangan internasional. Oleh karena itu ketentuan mengenai arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 615 s/d 651 RV, Pasal 377 HIR, dan Pasal 705 RBG, dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian ketentuan hukum acara dari lembaga arbitrase saat ini telah mempergunakan ketentuan yang terdapat dalam UU NO. 30/1999.




3. Pasal 58 s/d 60 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman


" Upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan diluar Pengadilan Negara melalui Arbitrase atau Alternatif Penyelesaian Sengketa"
Read More
Ruang Lingkup Arbitrase

Ruang Lingkup Arbitrase

Ruang lingkup penyelesaian sengketa melalui Arbitrase adalah :

Pasal 5 ayat (1) UU No. 30 tahun 1999 yaitu :



“sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa”.

Penjelasannya tidak memberikan apa yang termasuk dalam bidang perdagangan. Jika dihubungkan dengan penjelasan Pasal 66, termasuk dalam ruang lingkup perdagangan adalah kegiatan-kegiatan antara lain bidang :


1. Perniagaan
2. Perbankan
3. Keuangan
4. Penanaman Modal
5. Industri dan;
6. Hak Kekayaan Intelektual (HAKI)








Selanjutnya Pasal 5 ayat (2) menyebutkan bahwa :
“Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian”.

Dengan menggunakan penafsiran argumentum a contrario, maka kompetensi arbitrase adalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dapat diadakan perdamaian.




Read More
Jenis-Jenis Alternatif Penyelesaian Sengketa

Jenis-Jenis Alternatif Penyelesaian Sengketa



Pengertian dan Jenis-Jenis Alternatif Penyelesaian Sengketa 

Alternatif Penyelesaian Sengketa :
Lembaga Penyelesaian Sengketa/ Beda Pendapat melalui Prosedur yang disepakati para Pihak.









Konsultasi :
Tindakan yang bersifat personal  antara pihak tertentu/ klien dengan pihak lain/ konsultan dimana pihak konsultan memberikan pendapatnya kepada klien sesuai keperluan dan kebutuhannya.



Negoisasi :
Upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa melalui proses pengadilan dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerjasama yang lebih harmonis dan kreatif.



Mediasi :
Cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh Mediator



Konsiliasi :
Penengah akan bertindak menjadi konsiliator dengan kesepakatan para pihak dengan mengusahakan solusi yang dapat diterima.






Read More
Bentuk, Sifat dan Jenis Putusan Arbitrase

Bentuk, Sifat dan Jenis Putusan Arbitrase

BENTUK, SIFAT DAN JENIS PUTUSAN ARBITRASE

Putusan Arbitrase menurut bentuknya dibagi menjadi :[41]

1. Putusan sela / provisional (pasal 32 UU No 30 Tahun 1999)

2. Putusan Perdamaian (pasal 45 UU No 30 tahun 1999)

3. Putusan Verstek (pasal 44 UU No 33 Tahun 1999)

4. Putusan Akhir (pasal 56 UU No 30 Tahun 1999)

Putusan Arbitrase menurut sifatnya :[42]

1. Final

2. berkekuatan hukum tetap

3. mengikat

Putusan Arbitrase menurut jenisnya dibagi menjadi :[43]

1. Putusan Arbitrase Nasional



2. Putusan Arbitrase Internasional


Read More
Pembatalan dan Penolakan Putusan Arbitrase

Pembatalan dan Penolakan Putusan Arbitrase

PEMBATALAN DAN PENOLAKAN PUTUSAN ARBITRASE

Dalam ketentuan pasal 70 Undang-Undang No 30 Tahun 1999, dijelaskan mengenai pembatalan / annulment atas putusan arbitrase yang dikarenakan mengandung unsur-unsur, sebagai berikut :

1. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu dan dinyatakan palsu.

2. Putusan tersebut diambil dari hasul tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.

3. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan.

Sedangkan pembatalan (refusal) atas putusan Arbitrase dilakukan dengan alasan-alasan, sebagai berikut :[45]

1. Tidak termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan menurut ketentuan hukum Indonesia.

2. Bertentangan dengan ketertiban umum / public policy (ketentuan sendi-sendi, pokok hukum dan kepentingan nasional suatu bangsa).

Untuk putusan Arbitrase Nasional, didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri dalam jangka waktu maksimal 30 hari sejak putusan diucapkan, dan selanjutnya salah satu pihak mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri melalui panitera, dan Ketua Pengadilan Negeri memberikan perintah pelaksanaan eksekusi.[46]



Terkait dengan putusan Arbitrasi Internasional, harus didaftarkan kepada panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Apabila Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengakui dan melaksanakan putusan Arbitrase tersebut, maka terhadap putusan itu tidak dapat dilakukan banding ataupun kasasi. Sedangkan dalam hal Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak untuk mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase tersebut, maka dapat diajukan kasasi.


Read More
Arbitrase Internasional (Konvensi New York 1958)

Arbitrase Internasional (Konvensi New York 1958)

ARBITRASE INTERNASIONAL (KONVENSI NEW YORK 1958)

Pada awalnya, putusan arbitrase asing / Internasional tidak mendapatkan pengakuan serta tidak dapat dilaksanakan di Indonesia. Seiring berjalannya waktu, putusan arbitrase di Indonesia mulai mendapat pengakuan dengan diberlakukannya ketentuan-ketentuan sebagai berikut :[44]

1. Konvensi New York 1958, Convention on Recognition and enforcement of Foreign Arbitral Award, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing.

2. Keputusan Presiden RI No 34 Tahun 1981

Keluarnya Keputusan Presiden RI No 34 Tahun 1981 dimaksudkan bahwa Pemerintah Indonesia mengesahkan “Convention on Recognition and enforcement of Foreign Arbitral Award” atau disingkat New York Convention tahun 1958, yaitu konvensi tentang Pengakuan dan Pelaksanaan putusan Arbitrase Luar Negeri, yang diadakan pada tanggal 10 Juni 1958 di New York, yang di prakarsai oleh PBB.

3. Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 tahun 1990

Selanjutnya, dengan disahkannya konvensi New York dengan Keputusan Presiden RI No 34 tahun 1981, oleh Mahkamah Agung dikeluarkan PERMA No 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, pada tanggal 1 Maret 1990 yang berlaku sejak tanggal dikeluarkan.

4. Undang-Undang No 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Diundangkannya UU No 30 Tahun 1999, adalah sebagai pertauran perundang-undangan yang khusus mengatur mengenai Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa. Dalam ketentuan ini juga diatur mengenai putusan arbitrase Internasional.

Syarat putusan Arbitrase asing untuk dapat diakui dan dilaksanakan di Indonesia, antara lain :

a. Negara tersebut harus terikat perjanjian dengan Indonesia baik bilateral mapun multilateral mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing.

b. Termasuk ruang lingkup hukum perdagangan menurut ketentuan hukum Indonesia.

c. Pelaksanaannya tidak bertentangan dengan ketertiban umum.

d. Apabila menyangkut negara Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, maka harus memperoleh eksekuatur dari Ketua Mahkamah Agung RI yang selanjutnya melimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

e. Telah mendapat eksekuatur / perintah pelaksanaan dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.




Read More
Pengertian, Bentuk dan Sanksi Wanprestasi

Pengertian, Bentuk dan Sanksi Wanprestasi

PENGERTIAN, BENTUK DAN SANKSI WANPRESTASI

Munir Fuady mengemukakan[33] wanprestasi adalah suatu keadaan yang disebabkan kelalaian atau kesalahan dari debitur yang tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang ditentukan dalam perjanjian. Adapun bentuk-bentuk wanprestasi yang dilakukan debitur dapat berupa :[34]

a. tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan

b. melaksanakan apa yang diperjanjikan tapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan;

c. melaksanakan apa yang diperjanjikan tapi terlambat; dan

d. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Oleh karena itu, terhadap debitur yang melakukan wanprestasi, sanksi yang dapat diterapkan adalah :[35]

a. Pemenuhan / pelaksanaan perjanjian ( Pasal1320, 1338, 1340 KuhPerdata)

b. Pemutusan / pembatalan perjanjian / Outbinding (pasal 1266, 1267 KuhPerdata)

c. Peralihan resiko ( pasal 1237, 1460 KuhPerdata);

d. Ganti rugi / schade vergoeding (pasal 1243, 1246, 1247, 1248, 1249, 1250 KuhPerdata); dan

e. Membayar biaya perkara (181 ayat (1) HIR)

Dalam hal tuntutan ganti rugi, undang-undang mengatur mengenai tentang apa yang dapat dimasukkan dalam ganti rugi, yakni :[36]

a. Unsur :

1. Biaya / kosten yaitu segala pengeluaran yang nyata-nyata telah dikeluarkan oleh debitur.

2. Rugi / schaden yaitu kerugian karena kerusakan barang kepunyaan kreditur akibat kesalahan debitur atau berkurangnya nilai kekayaan kreditur sebagai akibat wanprestasi debitur;

3. Bunga / interseten yaitu kerugian berupa kehilangan keuntungan yang telah dibayangkan oleh Debitur.

Beberapa jenis bunga, antara lain :[37]

· Bunga Konvensional ialah bunga yang diperjanjikan para pihak di perjanjian.

· Bunga Moratoir ialah bunga yang telah ditetapkan oleh Undang-undang.

· Bunga Kompensatoir ialah bunga yang harus dibayar oleh debitur untuk mengganti bunga yang harus dibayarkan oleh kreditur.

· Bunga Anactoisme atau bunga berganda ialah bungan yang harus dibayarkan oleh debitur untuk mengganti bunga yang telah dibayarkan debitur yang lain (bunga berganda).

b. Bentuk :

1. Uang / benda

2. Pemulihan kepada keadaan semula;

3. Larangan untuk mengulangi perbuatan.

c. Pedoman

1. Besarnya sesuai dengan yang diperjanjikan.

2. Sebesar kerugian yang diderita kreditur/ tidak boleh diberikan suatu jumlah yang lebih maupun kurang dari jumlah tersebut (kecuali disepakati sebaliknya).

3. Kerugian tersebut harus nyata dan dapat diduga / diperkirakan.

4. Merupakan akibat langsung dari wanprestasi Debitus.

5. Jumlah ditentukan dengan suatu perbandingan kekayaan Kerditur sebelum dan setelah terjadinya wanprestasi.

Namun demikian, debitur yang dituduh lalai dan dimintakan supaya kepadanya diberikan hukuman atas kelalaiannya dapat membela diri dengan mengajukan tangkisan, diantaranya : [38]

1. Pelepasan Hak / Rechtsverwerking, yaitu mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi. Misalnya, si pembeli (kreditur), meskipun barang yang diterimanya tidak memenuhi kualitas atau mengandung cacat yang tersembunyi, namun ia tidak menegur si penjual (debitur) atau mengembalikan barangnya, tetapi barang itu dipakainya, atau bahkan ia memesan kembali barang seperti itu. Dari sikap tersebut maka dapat disimpulkan bahwa barang itu sudah memuaskan si pembeli/kreditur, singkatnya kreditur telah melepaskan hak untuk menuntut si debitur.

2. Keadaan memaksa / overmacht / force majure (pasal 1244 dan 1245 KuhPerdata). Dalam hal ini debitur menunjukkan bahwa tidak terlaksananya apa yang dijanjikan tersebut disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga, dan di mana debitur tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul diluar dugaan tadi.[39] Misalnya, karena alam, huru-hara, diluar dugaan, perang, adanya pemberlakuan undang-undang baru, epidemi, hujan, dan sebagainya.

3. Exeptio non Adimpleti Contractus yaitu mengajukan bahwa kreditur sendiri juga telah lalai terlebih dahulu (pasal 1478 KuhPerdata). Hal ini didasari suatu asas bahwa kedua pihak harus sama-sama melakukan kewajiban masing-masing, dengan demikian debitur yang dituduh lalai dan dituntut ganti rugi dapat mengajukan di depan hakim bahwa kreditur sendiri juga tidak menepati janjinya.[40]

Disamping, mengenai wanprestasi di atas, perlu juga diketahui bahwa kreditur dapat melakukan pembatalan perjanjian atas debiturnya, sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 1341 KuhPerdata mengenai hak dari pada kreditur untuk mengajukan suatu pembatalan terhadap segala perbuatan yang tidak perlu dilakukan oleh debiturnya, yang disebabkan adanya tindakan debitur yang merugikan hak daripada kreditur (Actio Paulina). Untuk dapat dilakukan pembatalan tersebut harus memenuhi syarat-syarat, yaitu : 

1. Perbuatan yang dilakukan debitur tersebut harus merupakan perbuatan hukum, misalnya : merusak yang mengakibatkan kurangnya kekayaan debitur atau perbuatan melawan hukum, tidak dapat dimintakan pembatalan oleh debitur.

2. Hanya kreditur yang dirugikan berhak mengajukan pembatalan.



3. Debitur dan pihak ketiga harus mengetahui bahwa perbuatannya merugikan debitur. 


Read More
Perjanjian Arbitrase dan Jenisnya

Perjanjian Arbitrase dan Jenisnya

PERJANJIAN ARBITRASE DAN JENISNYA

Perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbutan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih (pasal 1313 KuhPerdata). Untuk sahnya suatu persetujuan atau perjanjian diperlukan syarat-syarat, sebagai berikut:[27]

a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri (consensus);

Syarat pertama untuk dapat dikatakan sahnya suatu persetujuan atau perjanjian yaitu Adanya kata sepakat antara dua belah pihak yang mengikatkan diri. Namun demikian, cacat kata sepakat atau ketidaksesuaian kehendak dapat terjadi apabila karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan, (pasal 1321 KuhPerdata) seperti :[28]

1. kekhilafan / dwaling itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok persetujuan dan orang yang menandatanginya (psl 1322 KuhPerdata).

2. Paksaan / dwang yang dilakukan terhadap orang yang membuat suatu persetujuan, dan paksaan yang telah terjadi itu menimbulkan ketakutan pada orang yang berakal sehat dan diri/kekayaannya terancam dengan kerugian nyata (pasal 1323-1324 KuhPerdata).

3. Penipuan / bedrog yang dipakai salah satu pihak dengan cara tipu muslihat atau kata-kata atau tindakan.

4. Penyalahgunaan keadaan yang dilakukan dengan dasar keunggulan ekonomi dan kejiwaan.

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (capacity);

Kecakapan untuk membuat suatu perikatan dilihat dari subjek hukum yaitu orang dan badan hukum. Untuk subjek hukum orang (manusia) harus memenuhi syarat yaitu sudah dewasa - berusia 21 tahun (pasal 330 KuhPerdata) atau telah menikah, dan tidak berada dalam perwalian - orang yang tidak bisa melakukan perbuatan hukum karena belum dewasa (pasal 345-354 KuhPerdata), dan pengampuan - orang yang sudah dewasa tapi tidak dapat melakukan perbuatan hukum karena dungu, sakit juwa, mata gelap (pasal 433 KuhPerdata).

c. Suatu hal tertentu (certainly of term)

Yang menjadi syarat mengenai suatu hal tertentu, yakni :

1. hanya barang yang dapat diperdagangkan (pasal 1332 KuhPerdata);

2. Jumlah barang ditentukan jenisnya dan dapat dihitung, (pasal 1333 KuhPerdata);

3. Barang yang baru aka nada pada waktu yang akan datang (pasal 1334 KuhPerdata).

d. Suatu sebab yang halal (legality)

Apabila suatu persetujuan atau perjanjian yang dibuat tanpa sebab atau karena suatu sebab yang palsu atau terlarang, adalah tidak mempunyai kekuatan hukum, singkatnya persetujuan tersebut tidak sah (pasal 1335 KuhPerdata). Suatu sebab dikatakan terlarang apabila dilarang oleh undang-undang, atau berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum (pasal 1337 KuhPerdata). 

Dalam hukum perjanjian dikenal beberapa asas yang mengatur mengenai syarat sahnya suatu persetujuan atau perjanjian, antara lain :[29]

a. Asas Konsensualisme / syarat sepakat ( pasal 1320 KuhPerdata);

b. Asas Itikad Baik / Good Faith (pasal 1338 ayat (3) KuhPerdata)

c. Asas Personalia / Kepribadian (pasal 1315, 1317 dan 1340 KuhPerdata)

d. Asas Pacta Sun Servanda ( pasal 1338 ayat (1) KuhPerdata)

e. Asas Kebebasan berkontrak, seperti :

1. kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;

2. kebebsan memilih dengan pihak siapa seseorang membuat perjanjian;

3. kebebasan dalam menentukan bentuk perjanjian;

4. kebebasan untuk menentukan isi ataupun klausula perjanjian;

5. Kebebasan dalam menentukan objek perjanjian;

6. kebebasan untuk menggunakan atau tidak menggunakan ketentuan tentang perjanjian.

Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak yang disetujui para pihak, yaitu pihak yang menawarkan (offerte) dan pihak yang menerima tawaran (acceptatie). Ada beberapa teori untuk mengetahui adanya kata “sepakat”, antara lain :[30]

a. Teori Kehendak / Wils Theorie yaitu kata sepakat telah terjadi pada saat para pihak dalam hatinya telah setuju.

b. Teori Pengiriman / Verzending Theorie yaitu kata sepakat telah terjadi pada saat dikirimkannya jawaban oleh penerima atau acceptatie.

c. Teori Pengetahuan / Verneming Theorie yaitu kata sepakat telah terjadi pada saat pengirim (offerte) telah mengetahui tawarannya diterima.

d. Teori Pernyataan / Verklaring Theorie yaitu kata sepakat telah terjadi pada saat diucapkan / tertulis dalam perjanjian.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka selanjutnya akan diuraikan mengenai perjanjian Arbitrase dan jenis-jenisnya. Secara yuridis, perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.[31]

Dengan demikian, merujuk dari definisi perjanjian arbitrase tersebut, maka dapat diketahui jenis-jenis perjanjian arbitrase, yaitu :

a. Perjanjian Arbitrase yang dibuat sebelum timbulnya sengketa atau Pactum de Compromittendo (pasal 2 UU No 30 tahun 1999);

Penerapan :

1. Sebelum adanya sengketa;

2. Dalam bentuk tertulis dan ditandatangani para pihak;

3. Mencantumkan klausula arbitrase dalam perjanjian pokok; atau

4. Membuat dalam perjanjian tersendiri yang terpisah dari perjanjian pokok.

b. Perjanjian Arbitrase yang dibuat setelah timbulnya sengketa atau Akta Compromis (pasal 9 ayat (1) UU No 30 tahun 1999).

Penerapan :

1. Setelah timbulnya sengketa;

2. Dalam bentuk tertulis dan ditandatangani para pihak;

3. Membuat dalam perjanjian yang berdiri sendiri dan berisi : (i) masalah yang disengketakan; (ii) identitas para pihak; (iii) identitas arbiter/Majelis arbiter; (iv) tempat arbiter mengambil keputusan; (v) Nama lengkap sekretaris; (vi) jangka waktu penyelesaian sengketa; (vii) pernyataan kesediaan dari arbiter; (viii) pernyataan kesediaan para pihak untuk menanggung segala biaya.

Selanjutnya, terhadap para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase, pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa yang timbul diantara para pihak tersebut.[32] Disamping itu, di dalam ketentuan pasal 10 UU no 30 tahun 1999, ditegaskan bahwa suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh keadaan, sebagai berikut :

a. meninggalnya salah satu pihak;

b. bangkrutnya salah satu pihak;

c. novasi;

d. insolvensi salah satu pihak;

e. pewarisan;

f. berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok;

g. bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialih tugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut; atau

h. berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.





Read More
Kelebihan dan Kekurangan Arbitrase

Kelebihan dan Kekurangan Arbitrase

Kelebihan Arbitrase


Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dinilai menguntungkan karena beberapa alasan sebagai berikut:




a. Kecepatan dalam proses

Suatu persetujuan arbitrase harus menetapkan jangka waktu, yaitu berapa lama perselisihan atau sengketa yang diajukan kepada arbitrase harus diputuskan. Apabila para pihak tidak menentukan jangka waktu tertentu, lamanya waktu penyelesaian akan ditentukan oleh majelis arbitrase berdasarkan aturan-aturan arbitrase yang dipilih. [Pasal 31 ayat (3) menyebutkan: “Dalam hal para pihak telah memilih acara arbitrase … harus ada kesepakatan mengenai ketentuan jangka waktu dan tempat diselenggarakan arbitrase dan apabila jangka waktu dan tempat arbitrase tidak ditentukan, arbiter atau majelis arbitrase yang akan menentukan.”)

Demikian pula, putusan arbitrase bersifat final dan mengikat para pihak, sehingga tidak dimungkinkan upaya hukum banding atau kasasi. Dalam Pasal 53 UU No. 30/1999 disebutkan bahwa terhadap putusan arbitrase tidak dapat dilakukan perlawanan atau upaya hukum apa pun. Sedangkan dalam Pasal 60 secara tegas disebutkan: “Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.”

Catatan: Sebelum berlakunya UU No. 30/1999, pihak yang kalah berhak mengajukan banding atas putusan arbitrase kepada Mahkamah Agung, yang memeriksa fakta-fakta dan penerapan hukumnya. Dengan demikian, putusan arbitrase tidak bersifat final dan mengikat para pihak sampai permohonan banding tersebut ditolak. (Lihat Pasal 641 Rv juncto Pasal 15 dan 108 Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 tentang Mahkamah Agung.)
Selain itu, dalam pengaturan internasional, Pasal 35 ayat (1) Ketentuan-ketentuan Arbitrase UNCITRAL menyebutkan bahwa: An arbitral award, irrespective of the country in which it was made, shall be recognized as binding and,… shall be enforced. Jadi, putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak, tidak peduli di negara mana pun ia dijatuhkan.

b. Pemeriksaan ahli di bidangnya

Untuk memeriksa dan memutus perkara melalui arbitrase, para pihak diberi kesempatan untuk memilih ahli yang memiliki pengetahuan yang mendalam dan sangat menguasai hal-hal yang disengketakan. Dengan demikian, pertimbangan-pertimbangan yang diberikan dan putusan yang dijatuhkan dapat dipertanggungjawabkan kualitasnya. Hal itu dimungkinkan karena selain ahli hukum, di dalam badan arbitrase juga terdapat ahli-ahli lain dalam berbagai bidang misalnya ahli perbankan, ahli leasing, ahli pemborongan, ahli pengangkutan udara, laut, dan lain-lain.

Catatan: Sebagaimana diketahui dalam pemeriksaan persidangan di pengadilan ada kemungkinan hakim tidak menguasai suatu perkara yang sifatnya sangat teknis. Hal ini disebabkan sebagian besar hakim di pengadilan memiliki latar belakang yang sama, yakni berasal dari bidang hukum, sehingga mereka hanya memiliki pengetahuan yang bersifat umum (general knowledge) di bidang lainnya dan sulit bagi mereka untuk memahami hal-hal teknis yang rumit lainnya.






c. Sifat konfidensialitas
Pemeriksaan sengketa oleh majelis arbitrase selalu dilakukan dalam persidangan tertutup, dalam arti tidak terbuka untuk umum, dan putusan yang dijatuhkan dalam sidang tertutup tersebut hampir tidak pernah dipublikasikan. Dengan demikian, penyelesaian melalui arbitrase diharapkan dapat menjaga kerahasiaan para pihak yang bersengketa. Dalam Pasal 27 UU No. 30/1999 disebutkan bahwa: “Semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan secara tertutup.”

Catatan: Berbeda dari arbitrase, proses pemeriksaan dan putusan di pengadilan harus dilakukan dalam persidangan yang terbuka untuk umum. Proses yang bersifat terbuka dapat merugikan para pihak yang bersengketa karena rahasia (bisnis) mereka yang seharusnya tertutup rapat diketahui oleh masyarakat luas.

Sebagai perbandingan dapat dilihat Penjelasan UU No. 30/1999, yang menyebutkan bahwa pada umumnya lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan lembaga peradilan. Kelebihan tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
a. kerahasiaan sengketa para pihak dijamin;
b. keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif dapat dihindari;
c. para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur, dan adil;
d. para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
e. putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.



Kekurangan Arbitrase


a. Hanya untuk para pihak bona fide

Arbitrase hanya bermanfaat untuk para pihak atau pengusaha yang bona fide (bonafid) atau jujur dan dapat dipercaya. Para pihak yang bonafid adalah mereka yang memiliki kredibilitas dan integritas, artinya patuh terhadap kesepakatan, pihak yang dikalahkan harus secara suka rela melaksanakan putusan arbitrase. Sebaliknya, jika ia selalu mencari-cari peluang untuk menolak melaksanakan putusan arbitrase, perkara melalui arbitrase justru akan memakan lebih banyak biaya, bahkan lebih lama daripada proses di pengadilan. Misalnya, pengusaha yang dikalahkan tidak setuju dengan suatu putusan arbitrase, maka ia dapat melakukan berbagai cara untuk mendapatkan stay of execution (penundaan pelaksanaan putusan) dengan membawa perkaranya ke pengadilan.


Catatan: Sering ditemui di dalam praktik bahwa para pihak, walaupun mereka telah memuat klausul arbitrase dalam perjanjian bisnisnya, tetap saja mereka mengajukan perkaranya ke pengadilan. Anehnya, meskipun telah terdapat klausul arbitrase di dalam perjanjian, masih ada pengadilan negeri yang menerima gugatan perkara tersebut. (Padahal, dalam Pasal 11 ayat (2) disebutkan bahwa: “Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase…”)


b. Ketergantungan mutlak pada arbiter

Putusan arbitrase selalu tergantung pada kemampuan teknis arbiter untuk memberikan putusan yang tepat dan sesuai dengan rasa keadilan para pihak. Meskipun arbiter memiliki keahlian teknis yang tinggi, bukanlah hal yang mudah bagi majelis arbitrase untuk memuaskan dan memenuhi kehendak para pihak yang bersengketa. Pihak yang kalah akan mengatakan bahwa putusan arbitrase tidak adil, demikian pula sebaliknya (pihak yang menang akan mengatakan putusan tersebut adil). Ketergantungan secara mutlak terhadap para arbiter dapat merupakan suatu kelemahan karena substansi perkara dalam arbitrase tidak dapat diuji kembali (melalui proses banding).

Catatan: Meskipun semakin banyak ahli arbitrase yang mempertanyakan kewenangan mutlak arbiter serta putusannya yang bersifat final dan mengikat, penulis tidak sependapat; dan tidak melihat hal itu sebagai suatu kelemahan. Artinya, itu merupakan risiko yang seharusnya telah diantisipasi oleh para pihak, dan risiko tersebut harus diterima sejak awal ketika mereka memilih lembaga arbitrase. Oleh karena itulah para pihak diperkenankan untuk memilih sendiri arbiter (yang terbaik dan paling menguntungkan dirinya) yang akan menangani sengketa mereka.






c. Tidak ada preseden putusan terdahulu

Putusan arbitrase dan seluruh pertimbangan di dalamnya bersifat rahasia dan tidak dipublikasikan. Akibatnya, putusan tersebut bersifat mandiri dan terpisah dengan lainnya, sehingga tidak ada legal precedence atau keterikatan terhadap putusan-putusan arbitrase sebelumnya. Artinya, putusan-putusan arbitrase atas suatu sengketa terbuang tanpa manfaat, meskipun di dalamnya mengandung argumentasi-argumentasi berbobot dari para arbiter terkenal di bidangnya.

Catatan: Secara teori hilangnya precedence tersebut juga dapat berakibat timbulnya putusan-putusan yang saling berlawanan atas penyelesaian sengketa serupa di masa yang akan datang. Hal itu akan mengurangi kepastian hukum dan bertentangan dengan asas similia similibus, yaitu untuk perkara serupa diputuskan sama.


d. Masalah putusan arbitrase asing

Penyelesaian sengketa melalui arbitrase internasional memiliki hambatan sehubungan dengan pengakuan dan pelaksanaan putusannya. Kesulitan itu menjadi masalah yang sangat penting karena biasanya di negara pihak yang kalah terdapat harta yang harus dieksekusi. Oleh karena itu, berhasil tidaknya penyelesaian sengketa melalui arbitrase berkaitan erat dengan dapat tidaknya putusan arbitrase tersebut dilaksanakan di negara dari pihak yang dikalahkan




Read More
Makalah Hukum Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa

Makalah Hukum Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa

Intisari Hukum Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa
Oleh

FENDI M.P. HUTAHAEAN 
Mahasiswa FH Universitas Mpu Tantular


I. KATA PENGANTAR

Mempelajari hukum arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa atau Alternative Dispute Resolution (ADR) adalah mempelajari bagaimana menangani dan menyelesaikan sengketa perdata diluar dari peradilan umum. Hal ini dikarenakan bahwa dalam suatu hubungan bisnis atau perjanjian selalu erat dengan timbulnya sengketa, dan tentunya para pihak yang bersengketa sangat mengharapkan adanya penyelesaian sengketa itu secara cepat dan pasti. Atas dasar inilah, dan untuk membantu penulis sebagai mahasiswa dalam mempelajari hukum arbitrase dan ADR, penulis memberanikan diri untuk mengintisari pokok-pokok hukum arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa atau Alternative Dispute Resolution (ADR).

Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih khususnya kepada Bapak Andru Bimaseta Siswodiharjo, S.H.,M.H.,Mkn dan kepada Bapak Gatot Murniaji, S.H.,M.H, selaku dosen mata kuliah Hukum Arbitrase di FH Universitas Mpu Tantular, serta rekan-rekan seangkatan penulis. Akhir kata penulis panjatkan rasa syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas Kasih dan Penyertaan-Nya kepada penulis. 

Read More