Takut akan Tuhan adalah Permulaan Pengetahuan

Apakah Perjanjian Tidak Tertulis Sah ? dan Bagaimanakah Akibat Hukumnya ?

Apakah Perjanjian Tidak Tertulis Sah ? dan Bagaimanakah Akibat Hukumnya ?

oleh Estomihi Simatupang
Mahasiswa Fakultas Hukum Univ. Mpu Tantular

Perjanjian menurut KUHPerdata Pasal 1313 adalah  "suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih". Sepanjang perjanjian itu dilakukan dengan tidak melanggar Undang-undang maka perjanjian itu adalah sah. Hal ini terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat sahnya sebuah perjanjian yang harus dipenuhi yaitu 1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu pokok persoalan tertentu; 4. suatu sebab yang tidak terlarang.

Oleh karena perjanjian adalah suatu janji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dengan cuma-cuma atau dengan memberatkan, maka suatu perjanjian harus menyebutkan apakah perjanjian itu dilakukan dengan cuma-cuma atau dengan memberatkan. Terhadap perjanjian dengan memberatkan maka perlu disebutkan dan dijelaskan apa saja yang harus diberikan, dilakukan atau tidak dilakukan. Hal ini dapat kita lihat pada pasal 1319 KUHPerdata "Suatu persetujuan diadakan dengan cuma-cuma atau dengan memberatkan. Suatu persetujuan cuma-cuma adalah suatu persetujuan, bahwa pihak yang satu akan memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain tanpa menerima imbalan. Suatu persetujuan memberatkan adalah suatu persetujuan yang mewajibkan tiap pihak untuk memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu"

Suatu perjanjian sebaiknya dilakukan dengan tertulis meskipun suatu perjanjian tidak harus dilakukan dengan tertulis. KUHPerdata tidak mengatur apakah suatu perjanjian harus dilakukan dengan tertulis atau tidak tertulis sehingga KUHPerdata memberikan kebebasan bagi mereka yang mengikatkan diri untuk melakukan suatu perjanjian dengan tertulis atau tidak dengan tertulis.




Perjanjian tidak tertulis adalah sah sepanjang memenuhi ketentuan dalam KUHPerdata Pasal 1320 mengenai syarat sahnya suatu perjanjian. Akan tetapi perjanjian tidak tertulis ini akan mengalami kesulitan dalam hal pembuktian terhadap gugatan yang diajukan ke pengadilan manakala  pihak yang digugat tidak mengakui adanya perjanjian tersebut (ingkar) dihadapan hakim (Pasal 1927 KUHPerdata "Suatu pengakuan lisan yang diberikan di luar sidang pengadilan tidak dapat digunakan untuk pembuktian, kecuali dalam hal pembuktian dengan saksi-saksi diizinkan."). Hal mengenai pengakuan yang dapat dijadikan sebagai pembuktian ini dapat kita lihat pada KUHPerdata Pasal 1923 s/d Pasal 1928. Disamping tidak adanya pengakuan dari pihak yang digugat, kendala yang mungkin akan dihadapi adalah saksi-saksi (lebih dari satu orang) yang mendengar dan melihat langsung ketika perjanjian itu diadakan (Pasal 1905 KUHPerdata "Keterangan seorang saksi saja tanpa alat pembuktian lain, dalam Pengadilan tidak boleh dipercaya"). Hal tentang pembuktian dengan saksi ini terdapat pada Pasal 1906 s/d Pasal 1912 KUHPerdata. Secara keseluruhan mengenai pembuktian ini dapat kita lihat pada KUHPerdata Buku ke IV (keempat) tentang Pembuktian dan Kedaluwarsa, yaitu 1) Pembuktian dengan Tuliasan, 2) Pembuktian dengan saksi-saksi, 3) Pembuktian dengan Persangkaan, 4) Pembuktian dengan Pengakuan dan 5) Sumpah dihadapan Hakim.

Kesulitan dan kendala serta minimnya alat bukti yang diajukan dalam pembuktian di pengadilan akan berakibat ditolaknya gugatan tersebut.

Referensi :
1. Kitab Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)




Read More
Buku I tentang Orang (Perwalian)

Buku I tentang Orang (Perwalian)

1. Dasar Hukum
  • - Kitab Undang- undang Hukum Perdata (B.W);
  • - Instruksi BHP Indonesia Lembaran Negara 1872 No.166 Pasal 47 sampai Pasal 60;
  • - Peraturan mengenai Majlis Budel;
  • - UU No.l Tahun 1974 tentang Perkawinan.
2. Pengertian
Perwalian adalah pengawasan terhadap anak yang di bawah umur yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut sebagaimana diatur Oleh Undang- undang.

Timbulnya suatu Perwalian diakibatkan oleh putusnya perkawinan baik karena kematian maupun karena suatu putusan pengadilan dan selalu membawa akibat hukum baik terhadap suami/ isteri, anak- anak maupun harta kekayaannya terutama terhadap anak- anak yang masih dibawah umur, Kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai Wali :
  1. Mengurus harta kekayaan anak yang berada dibawah perwaliannya;
  2. Bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena pengurusan yang buruk;
  3. Menyelenggarakan pemeliharaan dan pendidikan anak belum dewasa sesuai harta kekayaannya dan mewakili anak dalam segala tindakan perdata;
  4. Mengadakan pencatatan dan inventarisasi harta kekayaan si anak;
  5. Mengadakan pertanggung jawaban pada akhir tugas sebagai wali.

Sebagaimana diketahui bahwa anak-anak yang masih di bawah umur mereka belum cakap bertindak dalam menjaiankan perbuatan hukum, dalam hal demikian mereka ini rentan sekali untuk dimanfaatkan oleh walinya akan hal-hal mereka, Untuk itu Peranan BHP sebagai wali pengawas berfungsi sebagai pengawas wali; Ayah/lbu yang hidup lebih lama terhadap perlakuan wali kepada anak-anaknya yang masih di bawah umur, juga terhadap harta kekayaan mereka dari hal-hal yang bertentangan dengan hukum, Perwalian anak di bawah umur terjadi karena :

1. Salah satu atau kedua orang tuanya telah meninggal dunia;
2. Orang Tua bercerai;
3. Pencabutan dari kekuasaan orang tua.

Maka dengan tampilnya Balai Harta Peninggalan sebagai wali pengawas akan memberikan pertimbangan hukum bagi anak-anak yang masih di bawah umur tersebut, baik hak maupun kewajibannya.

Dalam artian, Balai Harta Peninggalan memikul tugas selaku wali sementara (tijdeijke Voogd) dan Wali Pengawas (Toeziende Voogd)

3. Syarat-syarat Pendukung :

a. Akta Kematian/ Penetapan Perceraian;
b. Surat Ganti Nama;
c. Foto Copy Akta Kelahiran Anak;
d. Surat Kawin;
e. Surat Wasiat (bila ada);
f. Surat Kuasa (bila diwakilkan).

sumber : kemenkumham


Read More
Buku I tentang Orang (Pengampuan)

Buku I tentang Orang (Pengampuan)

Menurut KUHPerdata Pasal 330 dan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 bahwa semua orang yang sudah dewasa termasuk subjek hukum (dianggap cakap bertindak dalam hukum), tetapi ada pengeculian bagi seseorang yang ditaruh dibawah pengampuan (pasal 433 s/d pasal 462).

Pengampuan adalah keadaan seseorang (curandus) karena sifat pribadinya dianggap tidak cakap atau di dalam segala hal tidak cakap bertindak sendiri (pribadi) dalam lalu lintas hukum. Atas dasar hal itu, orang tersebut dengan keputusan hakim dimasukkan ke dalam golongan orang yang tidak cakap bertindak, Orang tersebut diberi wakil menurut undang-undang yang disebut pengampu (curator).

Dengan alasan tertentu, seseorang yang sudah dewasa disamakan kedudukannya dengan seseorang yang minderjarig, karena walaupun sudah dewasa tetapi orang tersebut dianggap tidak cakap bertindak untuk melakukan perbuatan hukum. Dalam pasal 433 sampai dengan pasal 462 KUH Perdata (Burgerlijk; Wetboek) alasan yang mengharuskan seseorang ditaruh di bawah pengampuan adalah :

- Karena keadaan dungu;
- Karena sakit otak;
- Mata gelap;
- Karena boros.

Balai Harta Peninggalan yang bertindak sebagai Pengampu Pengawas (Toeziende curator) dalam pengampuan orang dewasa yang berada dalam keadaan dungu, gangguan kejiwaan, dan boros, Menurut pasal 449 KUH Perdata, setiap keputusan Pengadilan terhadap pengampuan yang telah berkekuatan tetap, maka pengangkatan pengampu harus segera mungkin diberitahukan kepada Balai Harta Peninggalan selaku pengampu Pengawas.

Anak-anak yang belum dewasa tidak boleh dlmintakan pengampuan karena ia tetap dalam kekuasaan/ tanggungjawab walinya yang masih hidup. Orang yang ditaruh dalam pengampuan karena boros ia tetap berhak untuk melakukan perbuatan hukum seperti : membuat surat wasiat dan mengadakan perkawinan.

Dalam hal kedudukan dan peranan Balai Harta Peninggalan sebagai pengampu pengawas adalah sama dengan perwalian pengawas, Tugas Pengampuan Pengawas berakhir apabila seseorang yang ditaruh dalam pengampuan sembuh atau meninggal.

3. Syarat-syarat Pendukung :

1. Penetapan Pengadilan Negeri;
2. Identitas Pengampu;
3. Identitas orang yang ditaruh dibawah Pengampuan;
4. Bukti Kekayaan orang yang ditaruh dibawah Pengampuan.

Proses pengurusan Pengampuan



sumber : Kemenkumham
Read More
Buku I tentang Orang (Subjek Hukum)

Buku I tentang Orang (Subjek Hukum)

Pengertian Subjek Hukum adalah segala sesuatu yang dapat mempunyai hak dan kewajiban untuk bertindak dalam hukum.

Menurut Hukum Perdata Subjek Hukum Subjek Hukum dibagi atas 2 jenis yaitu :

1. Manusia (orang)


    Adalah setiap orang yang mempunyai kedudukan yang sama selaku pendukung hak dan kewajiban.       Pada prinsipnya orang sebagai subjek hukum dimulai sejak lahir hingga meninggal dunia.
    (termasuk anak dalam kandungan (umur lebih dari 2 minggu dianggap telah lahir meskipun belum
    lahir, bilamana juga kepentingan si anak menghendaki). Contoh untuk kepentingan warisan.

    Syarat-syarat cakap bertindak dalam hukum :
     - Seseorang yang sudah dewasa berumur 21 tahun (Undang Perkawinan No.1/1974 dan Pasal 330
       KUHPerdata)
     - Seseorang yang berusia dibawah 21 tahun tetapi pernah menikah
     - Seseorang yang sedang tidak menjalani hokum
     - Berjiwa sehat dan berakal sehat

    Syarat-syarat tidak cakap bertindak dalam hukum :
     - Seseorang yang belum dewasa
     - Orang yang ditaruh dibawah pengampuan, karena :
        1. Gangguan jiwa/ sakit ingatan/kurang cerdas
        2. Pemabuk atau pemboros, yang mengakibatkan terlantarnya keuarga dan anak-anak (Pasal 433
            KUHPerdata

2. Badan Hukum

    Menurut Pasal 1653 KUHPerdata badan hokum adalah perhimpunan orang-orang yang diakui oleh
    undang-undang atau yang diadakan oleh kekuasaan umum dan yang didirikan untuk suatu maksud       tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan”

Diakuinya himpunan/ perkumpulan/ badan usaha sebagai badan hukum adalah dengan mendapat pengesahan dari Pemerintah cq Kementerian Hokum dan Ham RI. Peraturan perundang – undangan lain yang mengatur tentang badan hukum ini antara lain :
  1. Dalam Stb. 1870 No. 64 tentang pengakuan badan hukum, Stb. 1927 No. 156 tentang Gereja dan Organisasi – organisasi Agama
  2. Undang – undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian
  3. Undang – undang No. 12 Tahun 1998 tentang Perbankan
  4. Di dalam Pasal 7 ayat (6) UU PT No. 40 Tahun 2007 ditentukan bahwa perseroan memperoleh status badan hukum setelah Akta Pendirian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disahkan oleh Menteri. Pengesahan akta pendirian ini tidak hanya semata-mata sebagai kontrol administrasi atau wujud campur tangan pemerintah terhadap dunia usaha, tetapi juga dalam rangka tugas umum pemerintah untuk menjaga ketertiban dan ketenteraman usaha serta dicegahnya hal-hal yang bertentangan dengan kepentingan umum dan kesusilaan
  5. Didalam Pasal 9 UU Perkoperasian No 25 Tahun 1992 bahwa Koperasi memperoleh status badan hukum setelah akta pendiriannya disahkan oleh Pemerintah.
  6. Didalam Pasal 11 ayat (1) UU Yayasan No. 28 Tahun 2004 bahwa Yayasan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian Yayasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), memperoleh pengesahan dari Menteri.
  7. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara



Read More
Pengertian Hukum Perdata

Pengertian Hukum Perdata

Hukum Perdata adalah aturan-aturan hukum yang mengatur tingkah laku setiap orang terhadap orang lain yang berkaitan dengan hak dan kewajiban  yang timbul dalam pergaulan masyarakat maupun pergaulan keluarga. 

Hukum Perdata dibagi menjadi dua, yaitu :
  1. Hukum Perdata Materiil, yaitu mengatur kepentingan-kepentingan perdata setiap subjek hukum 
  1. Hukum Perdata Formil, yaitu mengatur bagaimana  cara seorang mempertahankan haknya apabila  dilanggar oleh orang lain.

Hukum Perdata Formil mempertahankan Hukum Perdata Materiil, karena hukum perdata formil berfungsi menerapkan hukum perdata materiil apabila ada yang melanggarnya.

Van Dunne 
hukum perdata, khususnya pada abad ke-19 adalah: “Suatu peraturan yang mengatur tentang hal-hal yang sangat esensial bagi kebebasan individu, seperti orang dan keluarganya, hak milik dan perikatan. Sedangkan hukum publik memberikan jaminan yang minimal bagi kehidupan pribadi”.



H.F.A. Vollmar 
berpendapat bahwa hukum perdata adalah: “Aturan-aturan atau norma-norma yang memberikan pembatasan dan oleh karenanya memberikan perlindungan pada kepentingan-kepentingan kepentingan perseorangan dalam perbandingan yang tepat antara kepentingan yang satu dengan kepentingan yang lain dari orang-orang dalam suatu masyarakat tertentu terutama yang mengenai hubungan keluarga dan hubungan lalu lintas”



Sudikno Mertokusumo 
mengartikan hukum perdata sebagai berikut: “Hukum antarperorangan yang mengatur hak dan kewajiban orang perseorangan yang satu terhadap yang lain di dalam hubungan kekeluargaan dan di dalam pergaulan masyarakat. Pelaksanaannya diserahkan masing-masing pihak”.



Sri Sudewi Masjchoen Sofwan 
“ Hukum yang mengatur kepentingan warga negara perseorangan yang satu dengan perseorangan yang lainnya.”



Prof. Soediman Kartohadiprodjo, S.H. 
“ Hukum yang mengatur kepentingan perseorangan yang satu dengan perseorangan yang lainnya “.



Prof. R. Soebekti, S.H. 
“ Semua hak yang meliputi hukum privat materiil yang mengatur kepentingan perseorangan.”



Prof H.R Sardjono, SH
Hukum Perdata adalah kaidah-kaidah yang menguasai manusia dalam masyarakat dalam hubungannya terhadap orang lain dan hukum pada dasarnya menguasai kepentingan perseorangan.



Prof.Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH 
Hukum Perdata sebagai suatu rangkaian hukum antara orang-orang atau badan hukum satu sama lain mengatur tentang hak dan kewajiban dalam pergaulan kemasyarakatan atau hukum yang mengatur kepentingan perseorangan



Dr. Ibrahim As- Sholihi 
dalam bukunya Ad Dirosat Fi Nadzoriyat Al Qonun mengatakan bahwa hukum perdata adalah kumpulan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan antar individu yang dalam hubungan itu individu tersebut tidak berperan sebagai sebagai pemegang kedaulatan kecuali (yang tidak termasuk hukum perdata) beberapa hal yang yang menjadi objek hukum lain yang termasuk bagian hukum privat.



Read More
Asas-asas Hukum Perdata

Asas-asas Hukum Perdata

Beberapa asas yang terkandung dalam KUHPdt yang sangat penting dalam Hukum Perdata adalah:(1)




1. Asas kebebasan berkontrak

Asas ini mengandung pengertian bahwa setiap orang dapat mengadakan perjanjian apapun juga, baik yang telah diatur dalam undang-undang, maupun yang belum diatur dalam undang-undang (lihat Pasal 1338 KUHPdt).




Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:

1. Membuat atau tidak membuat perjanjian;
2. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
4. Menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.

Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaissance melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, John Locke dan J.J. Rosseau. Menurut paham individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa saja yang dikehendakinya.


Dalam hukum kontrak, asas ini diwujudkan dalam “kebebasan berkontrak”. Teori leisbet fair in menganggap bahwa the invisible hand akan menjamin kelangsungan jalannya persaingan bebas. Karena pemerintah sama sekali tidak boleh mengadakan intervensi didalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Paham individualisme memberikan peluang yang luas kepada golongan kuat ekonomi untuk menguasai golongan lemah ekonomi. Pihak yang kuat menentukan kedudukan pihak yang lemah. Pihak yang lemah berada dalam cengkeraman pihak yang kuat seperti yang diungkap dalam exploitation de homme par l’homme.


2. Asas Konsesualisme,

Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPdt. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.

Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman. Didalam hukum Jerman tidak dikenal istilah asas konsensualisme, tetapi lebih dikenal dengan sebutan perjanjian riil dan perjanjian formal. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (dalam hukum adat disebut secara kontan). Sedangkan perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta otentik maupun akta bawah tangan).

Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis literis dan contractus innominat. Yang artinya bahwa terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk yang telah ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUHPdt adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.


3. Asas Kepercayaan,

Asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan diantara mereka dibelakang hari


4. Asas Kekuatan Mengikat,

Asas kekuatan mengi kat ini adalah asas yang menyatakan bahwa perjanjian hanya mengikat bagi para fihak yang mengikatkan diri pada perjanjian tersebut dan sifatnya hanya mengikat ke dalam

Pasal 1340 KUHPdt berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.” Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana dalam Pasal 1317 KUHPdt yang menyatakan: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.”

Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian/kontrak untuk kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUHPdt, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya.

Jika dibandingkan kedua pasal itu maka Pasal 1317 KUHPdt mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 KUHPdt untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari yang membuatnya. Dengan demikian, Pasal 1317 KUHPdt mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUHPdt memiliki ruang lingkup yang luas.


5. Asas Persamaan hukum,

Asas persamaan hukum mengandung maksud bahwa subjek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum. Mereka tidak boleh dibeda-bedakan antara satu sama lainnya, walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama, dan ras.


6. Asas Keseimbangan,

Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik


7. Asas Kepastian Hukum,

Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.

Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt. Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak yang melakukannya dan dikuatkan dengan sumpah. Hal ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya asaspacta sunt servanda diberi arti sebagai pactum, yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Sedangkan istilah nudus pactum sudah cukup dengan kata sepakat saja.


8. Asas Moral

Asas moral ini terikat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitur. Hal ini terlihat dalam zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan perbuatan dengan sukarela (moral). Yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Salah satu faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu adalah didasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan hati nuraninya


9. Asas Perlindungan

Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitur dan kreditur harus dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat perlindungan itu adalah pihak debitur karena pihak ini berada pada posisi yang lemah.Asas-asas inilah yang menjadi dasar pijakan dari para pihak dalam menentukan dan membuat suatu kontrak/perjanjian dalam kegiatan hukum sehari-hari. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keseluruhan asas diatas merupakan hal penting dan mutlak harus diperhatikan bagi pembuat kontrak/perjanjian sehingga tujuan akhir dari suatu kesepakatan dapat tercapai dan terlaksana sebagaimana diinginkan oleh para pihak


10. Asas Kepatutan.

Asas kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUHPdt. Asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian yang diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat perjanjiannya


11. Asas Kepribadian (Personality)

Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPdt.

Pasal 1315 KUHPdt menegaskan: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri.


12. Asas Itikad Baik (Good Faith)

Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPdt yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi (relative) dan itikad baik mutlak.

Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif..

========================================================================


Selain asas tersebut diatas terdapat pula Asas Hukum Perdata Eropa Tentang Orang yaitu:

1. Asas yang melindungi hak asasi manusia, jangan sampai terjadi pembatasan atau pengurangan hak asasi manusia karena Undang-undang atau keputusan hakim. (Pasal 1dan 3 KUHPdt)

2. Asas setiap orang harus mempunyai nama dan tempat kediaman hukum (domisili), tiap orang yang mempunyai hak dan kewajiban mempunyai identitas yang sedapat mungkin berlainan satu dengan lainnya (Pasal 5a dan Bagian 3 Bab 2 Buku I KUHPdt)

Pentingnya Domisili :

  • Dimana orang harus menikah
  • Dimana orang harus dipanggil oleh pengadilan
  • Pengadilan mana yang berwenang terhadap seseorang, dsb

3. Asas Perlindungan kepada Orang yang tak lengkap, orang yang dinyatakan oleh hukum tidak mampu melakukan perbuatan hukum mendapat perlindungan bila ingin melakukan perbuatan hukum (Pasal 1330 KUHPdt), contoh :
  • Orang yang belum dewasa diwakili oleh walinya baik itu orang tua kandung atau wali yang ditnjuk oleh hakim atau surat wasiat.
  • Mereka yang diletakkan dibawah pengampuan, bila mereka hendak melakukan perbuatan hukum diwakili oleh seorang pengampu (Curator)
  • Wanita yang bersuami bila hendak melakukan perbuatan hukum harus didampingi suaminya.
4. Asas monogami dalam hukum perkawinan barat, bagi laki-laki hanya boleh mengambil seorang wanita sebagai istri dan wanita hanya boleh mengambil seorang laki-laki sebagai suaminya(Pasal 27 KUHPdt). Dalam Undang-undang no 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 3 ayat 2 pengadilan diperbolehkan memberi ijin seorang suami untuk beristri lebih dari satu bila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

5. Asas bahwa suami dinyatakan sebagai kepala keluarga, ia betugas memimpin dan mengurusi kekayaan keluarga (Pasal105 KUHPdt)

Selain dalam hukum orang (persoonen recht) dalam Hukum Benda (Zaakenen Rescht) yaitu keseluruhan kaidah hukum yang mengatur apa yang diartikan dengan benda dan mengatur hak atas benda. Asasnya adalah asas yang membagi benda atau barang ke dalam benda bergerak dan benda tetap.


Asas Hukum Tentang Benda :


1. Asas yang membagi hak manusia kedalam hak kebendaan dan hak perorangan.

Hak Kebendaan, adalah hak untuk menguasai secara langsung suatu kebendaan dan kekuasaan tersebut dan dapat dipertahankan terhadap setiap orang (hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan)

Hak Perorangan, adalah hak seseorang untuk menuntut suatu tagihan kepada seseorang tertentu. Dalam hal ini hanya orang ini saja yang harus mengakui hak orang tersebut

2. Asas hak milik itu adalah suatu fungsi sosial.

Asas ini mempunyai arti bahwa orang tidak dibenarkan untuk membiarkan atau menggunakan hak miliknya secara merugikan orang atau masyarakat. Jika merugikan akan dituntut berdasarkan Pasal 1365 KUHPdt

Hukum Benda yang mengatur tentang tanah telah dicabut dan diatur dalam Undang-undang Pokok Agraria tahun 1960 No 5. Namun aturan tentang Hipotik masih diatur dalam Hukum Benda. Hukum Benda ini sifatnya tertutup, jadi tidak ada peraturan lain yang berkaitan dengan benda selain yang diatur oleh Undang-undang.


Asas-asas Umum Hak Kebendaan

Menurut Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, S.H(2). dalam bukunya “Mencari Sistem Hukum Benda Nasional” menjelaskan ada 10 asas umum yang sifatnya relative konkrit yang ada dalam bidang tertentu, yaitu:
Asas system tertutup, artinya bahwa hak-hak atas benda bersifat limitative, terbatas hanya pada yang diatur undang-undang. Di luar itu dengan perjanjian tidak diperkenankan menciptakan hak-hak yang baru 
Asas hak mengikuti benda/zaaksgevolg, droit de suite, yaitu hak kebendaan selalu mengikuti bendanya di mana dan dalam tangan siapapun benda itu berada. 

Asas ini berasal dari hukum romawi yang membedakan hukum harta kekayaan (vermogensrecht) dalam hak kebendaan (zaakkelijkrecht) dan hak perseorangan (persoonlijkrecht).
Asas publisitas, yaitu dengan adanya publisitas (openbaarheid) adalah pengumuman kepada masyarakat mengenai status pemilikan. 

Pengumuman hak atas benda tetap/tanah terjadi melalui pendaftaran dalam buku tanah/register yang disediakan untuk itu sedangkan pengumuman benda bergerak terjadi melalui penguasaan nyata benda itu.
Asas spesialitas. Dalam lembaga hak kepemilikan hak atas tanah secara individual harus ditunjukan dengan jelas ujud, batas, letak, luas tanah. Asas ini terdapat pada hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan atas benda tetap. 
Asas totalitas. Hak pemilikan hanya dapat diletakan terhadap obyeknya secara totalitas dengan perkataan lain hak itu tidak dapat diletakan hanya untuk bagian-bagian benda. 

Misalnya: Pemilik sebuah bangunan dengan sendirinya adalah pemilik kosen, jendela, pintu dan jendela bangunan tersebut. Tidak mungkin bagian-bagian tersebut kepunyaan orang lain.
Asas accessie/asas pelekatan. Suatu benda biasanya terdiri atas bagian-bagian yang melekat menjadi satu dengan benda pokok seperti hubungan antara bangunan dengan genteng, kosen, pintu dan jendela 

Asas ini menyelesaikan masalah status dari benda pelengkap (accessoir) yang melekat pada benda pokok (principal). Menurut asas ini pemilik benda pokok dengan sendirinya merupakan pemilik dari benda pelengkap. Dengan perkataan lain status hukum benda pelengkap mengikuti status hukum benda pokok. Benda pelengkap itu terdiri dari bagian (bestanddeed) benda tambahan (bijzaak) dan benda penolong (hulpzaak).
Asas pemisahan horizontal , KUHPdt menganut asas pelekatan sedang UUPA menganut asas horizontal yang diambil alih dari hukum Adat. Jual beli hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi bangunan dan tanaman yang terdapat di atasnya. Jika bangunan dan tanaman akan mengikuti jual beli hak atas tanah harus dinyatakan secara tegas dalam akta jual beli. 

Pemerintah menganut asas vertical untuk tanah yang sudah memiliki sertifikat untuk tanah yang belum bersertifikat menganut asas horizontal (Surat menteri pertanahan/agraria tanggal 8 Februari 1964 Undang-Undang No.91/14 jo S.Dep. Agraria tanggal 10 desember 1966 No. DPH/364/43/66.
Asas dapat diserahkan. Hak pemilikan mengandung wewenang untuk menyerahkan benda. Untuk membahas tentang penyerahan sesuatu benda kita harus mengetahui dulu tentang macam-macam benda karena ada bermacam-macam benda yang kita kenal seperti tidak dijelaskan pada Bab sebelumnya. Cara-cara penyerahan secara mendalam akan dibahas dalam Bab selanjutnya. 
Asas perlindungan. Asas ini dapat dibedakan dalam dua jenis yaitu perlindungan untuk golongan ekonomi lemah dan kepada pihak yang beritikad baik (to goeder trouw) walaupun pihak yang menyerahkannya tidak wenang berhak (beschikkingsonbevoegd). Hal ini dapat kita lihat dalam Pasal 1977 KUHPdt. 
Asas absolute (hukum pemaksa). Menurut asas ini hak kebendaan itu wajib dihormati atau ditaati oleh setiap orang yang berbeda dengan hak relative 


Asas asas hukum Tentang Perikatan yaitu :
  1. Undang-undang bagi mereka yang membuatnya (pacta sun servanda )
  2. Asas kebebasan dalam membuat perjanjian atau persetujuan
  3. Asas bahwa persetujuan harus dilaksanakan dengan itikat baik
  4. Asas bahwa semua harta kekayaan seseorang menjadi jaminan atau tanggungan semua hutang-hutangnya.
  5. Asas Actio Pauliana yaitu aksi yang dilakukan oleh seorang kreditur untuk membatalkan semua perjanjian yang dibuat oleh debiturnya dengan itikat buruk dengan pihak ketiga, dengan pengetahuan bahwa ia merugikan krediturnya. Pembatalan perjanjian harus dilakukan oleh hakim atas permohonan kreditur (Pasal 1341 KUHPdt)
Asas ini memberi peringatan kepada seorang debitur bahwa ia akan dikenakan sanksi penuntutan, bila ia mengurangi harta kekayaan miliknya, dengan tujuan untuk menghindari penyitaan dari pengadilan


(1) Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, CitraAditya Bakti, Bandung, 2001,
(2) Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni Bandung, 1997

Read More
Sistematika Hukum Perdata

Sistematika Hukum Perdata


  1. Buku I     tentang Orang (van persoonen) yang memuat hukum perorangan dan hukum kekeluargaan
  2. Buku II    tentang Benda (van zaken) yang memuat hukum benda dan hukum waris
  3. Buku III   tentang Perikatan (van verbintennisen) yang memuat hukum harta kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban yang berlaku bagi orang-orang atau pihak-pihak tertentu
  4. Buku IV   tentang Pembuktian dan Kedawuluarsa (van bewijs en verjaring), yang memuat perihal alat pembuktian dan akibat lewat waktu terhadap hubungan hukum.'

Read More
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Buku Pertama – Orang
Daftar isi
1. Bab I - Tentang menikmati dan kehilangan hak-hak kewargaan
2. Bab II - Tentang akta-akta catatan sipil
3. Bab III - Tentang tempat tinggal atau domisili
4. Bab IV - Tentang perkawinan
5. Bab V - Tentang hak dan kewajiban suami-istri
6. BabVI - Tentang harta-bersama menurut undang-undang dan pengurusannya
7. Bab VII - Tentang perjanjian kawin
8. Bab VIII - Tentang gabungan harta-bersama atau perjanjian kawin pada
                   perkawinan kedua atau selanjutnya
9. Bab IX - Tentang pemisahan harta-benda
10. Bab X - Tentang pembubaran perkawinan
11. Bab XI - Tentang pisah meja dan ranjang
12. Bab XII - Tentang keayahan dan asal keturunan anak-anak
13. Bab XIII - Tentang kekeluargaan sedarah dan semenda
14. Bab XIV - Tentang kekuasaan orang tua
15. Bab XIVA - Tentang penentuan, perubaran dan pencabutan tunjangan nafkah
16. Bab XV - Tentang kebelumdewasaan dan perwalian
17. Bab XVI - Tentang pendewasaan
18. Bab XVII - Tentang pengampuan
19. Bab XVIII - Tentang ketidakhadiran

Buku Kedua - Benda/Barang
Daftar Isi
Bab I - Tentang barang dan pembagiannya
Bab II - Tentang besit dan hak-hak yang timbul karenanya
Bab III - Tentang hak milik
Bab IV - Tentang hak dan kewajiban antara para pemilik pekarangan yang
             bertetangga
Bab V - Tentang kerja rodi
Bab VI - Tentang pengabdian pekarangan
Bab VII - Tentang hak numpang karang
Bab VIII - Tentang hak guna usaha (erfpacht)
Bab IX - Tentang bunga tanah dan sepersepuluhan
Bab X - Tentang hak pakai hasil
Bab XI - Tentang hak pakai dan hak mendiami
Bab XII - Tentang pewarisan karena kematian
Bab XIII - Tentang surat wasiat
Bab XIV - Tentang pelaksana surat wasiat dan pengelola harta peninggalan
Bab XV - Tentang hak berpikir dan hak istimewa untuk merinci harta
              peninggalan
Bab XVI - Tentang hal menerima dan menolak warisan
Bab XVII - Tentang pemisahan harta peninggalan
Bab XVIII - Tentang harta peninggalan yang tak terurus
Bab XIX - Tentang piutang dengan hak didahulukan
Bab XX - Tentang gadai
Bab XXI - Tentang hipotek


Buku Ketiga - Perikatan
Daftar Isi
Bab I - Tentang perikatan pada umumnya
Bab II - Tentang perikatan yang lahir dari kontrak atau persetujuan
Bab III - Tentang perikatan yang lahir karena undang-undang
Bab IV - Tentang hapusnya perikatan
Bab V - Tentang jual-beli
Bab VI - Tentang tukar-menukar
Bab VII - Tentang sewa-menyewa
Bab VIIA - Tentang perjanjian kerja
Bab VIII - Tentang perseroan perdata (persekutuan perdata)
Bab IX - Tentang badan hukum
Bab X - Tentang penghibahan
Bab XI - Tentang penitipan barang
Bab XII - Tentang pinjam-pakai
Bab XIII - Tentang pinjam pakai habis (verbruiklening)
Bab XIV - Tentang bunga tetap atau bunga abadi
Bab XV - Tentang persetujuan untung-untungan
Bab XVI - Tentang pemberian kuasa
Bab XVII - Tentang penanggung
Bab XVIII - Tentang perdamaian


Buku Keempat – Pembuktian dan Kedaluwarsa
Daftar Isi
Bab I - Tentang pembuktian pada umumnya
Bab II - Tentang pembuktian dengan tulisan
Bab III - Tentang pembuktian dengan saksi-saksi
Bab IV - Tentang persangkaan
Bab V - Tentang pengakuan
Bab VI - Tentang sumpah di hadapan hakim
Bab VII - Tentang kedaluwarsa pada umumnyaDownload Disini...





Read More
Macam-macam Sita dalam Hukum Perdata

Macam-macam Sita dalam Hukum Perdata


{mosimage} Kepentingan adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata yang diatur dalam hukum perdata. Dalam hal seorang anggota masyarakat yang kepentingannya dilanggar oleh yang lainnya dapat mengajukan gugatan keperdataan ke pengadilan, dan dalam mengajukan gugatan tersebut bukan saja ia mengharapkan agar memperoleh putusan yang menguntungkan, tetapi disamping itu pula bahwa putusannya tersebut akhirnya dapat dilaksanakan dan pada akhirnya terpenuhi haknya. Suatu putusan dimana seorang dimenangkan, kemudian misalnya tidak dilaksanakan maka bagi yang menang akan menjadi tidak berarti sama sekali. Oleh karena itu hukum acara perdata mengenal lembaga Sita. Penyitaan berasal dari terminologi BESLAG (Belanda), istilah Indonesia Beslah, tetapi istilah bakunya ialah Sita atau Penyitaan. Penyitaan berarti menempatkan harta tersita dibawah penjagaan pengadilan untuk memenuhi kepentingan penggugat atau kreditor.

Macam-macam Sita Dalam Hukum Perdata

1. Sita Revindikasi (Revindicatoir Beslag)

Revindicatoir berasal dari perkataan revindiceer yang artinya mendapatkan. Perkataan Revindicatoir Beslag mengandung pengertian penyitaan untuk mendapatkan hak kembali. Maksudnya penyitaan ini adalah agar barang yang digugat itu jangan sampai dihilangkan selama proses berlangsung. Dari pasal 226 ayat (1) HIR dan pasal 260 ayat (1) R.Bg dapat diketahui bahwa sita revindikasi mempunyai kekhususan terutama terletak pada obyek barang tersita dan kedudukan penggugat atau barang yaitu :
  • hanya terbatas barang bergerak yang ada di tangan orang lain (tergugat)
  • barang itu berada di tangan orang lain tanpa hak
  • permintaan sita diajukan oleh pemilik agar dikembalikan kepadanya.
Syarat atau alasan pokok sita revindikasi adalah adanya obyek sengketa barang bergerak, terdapat pemohon pemilik barang, permohonan diajukan kepada Ketua Pengadilan dan Barang dikuasai tergugat tanpa hak.

2. Sita Jaminan (Conversatoir Beslag)

Perkataan conservatoir beslag adalah berasal dari perkataan conserveren yang berarti menyimpan. Makna conversatoir beslag ialah untuk menyimpan hak-hak seorang untuk menjaga agar penggugat tidak dirugikan oleh perbuatan tergugat. Syarat-syarat utama sita jaminan adalah :
  • Harus ada sangka yang beralasan, bahwa tergugat sebelum putusan dijatuhkan atau dilaksanakan akan menggelapkan atau menghilangkan barang-barangnya.
  • Barang yang disita itu berupa kepunyaan yang terkena sita, artinya bukan milik penggugat.
  • Permohonan diajukan kepada Ketua Pengadilan yang memeriksa perkara tersebut.
  • Dapat dilakukan atau diletakkan baik tehadap barang bergerak atau yang tidak bergerak.

Dalam praktek permohonan akan sita jaminan lazimnya dilakukan dalam surat gugat, dan dalam petitum dimohonkan pernyataan sah dan berharga, atau dengan kata lain permohonan sita jaminan tersebut diajukan sebelum dijatuhkan putusan. Sedangkan ciri-ciri sita jaminan adalah sebagai berikut : 
  • Sita jaminan diletakkan atas harta yang disengketakan status kepemilikannya atau terhadap harta kekayaan tergugat dalam sengketa utang piutang atau juga dalam sengekta dan tututan ganti rugi.
  • Obyek sita bisa barang bergerak atau tidak bergerak, bisa berwujud atau tidak berwujud.
  • Pembatasan sita jaminan bisa hanya barang-barang tertentu atau seluruh harta kekayaan tergugat.
  • Tujuan penyitaan untuk menjamin gugatan agar tidak hampa (illusoir)

3. Sita Harta Bersama (Marital Beslag)

Selain sita revindikasi dan sita jaminan terdapat pula bentuk khusus yang diterapkan terhadap harta bersama suami-istri, apabila terjadi sengketa perceraian atau pembagian harta bersama. Tujuan utamanya adalah membekukan harta bersama suami istri melalui penyitaan, agar tidak berpindah kepada pihak ketiga selama proses perkara perceraian atau pembagian harta bersama berlangsung. Karakteristik penerapan yang melekat pada sita harta bersama meliputi seluruh harta bersama yang dikuasai oleh para pihak, bukan hanya yang ada di tangan tergugat saja tetapi juga yang ada pada penggugat atau pihak ketiga.

4. Sita Eksekusi (Executorial Beslag)

Sita eksekusi adalah sita yang berhubungan dengan masalah pelaksanaan suatu putusan karena pihak tergugat tidak mau melaksanakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut secara sukarela meskipun Pengadilan telah memperingatkan agar putusan tersebut dilaksanakan secara sukarela sebagaimana mestinya. Sita eksekusi ini biasa dilakukan terhadap putusan yang mengharuskan penggugat membayar sejumlah uang, sedangkan tentang tata cara dan syarat-syarat sita eksekusi ini diatur dalam pasal 197 HIR atau pasal208 R.Bg.

Sekiranya sudah diletakkan sita jaminan, tidak diperlukan lagi Sita Eksekusi karena sita jaminan menurut asasnya otomatis beralih menjadi sita eksekusi pada saat perkara yang bersangkutan mempunyai putusan yang berkekuatan hukum tetap. Ada dua macam sita eksekusi :

  1. Sita Eksekusi Langsung; yakni sita eksekusi yang langsung diletakkan atas barang bergerak dan barang tidak bergerak milik debitur atau pihak yang kalah.
  2. Sita Eksekusi yang Tidak Langsung; adalah sita eksekusi yang berasal dari sita jaminan yang telah dinyatakan sah dan berharga dan dalam rangka eksekusi otomatis berubah menjadi sita eksekusi.

oleh : Drs. H. Ghufron Sulaiman, S.H., M.Hum (Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Agama Makassar)
 *) Disampaikan pada acara Orientasi Peningkatan Profesionalisme Jurusita/Jurusita Pengganti Pengadilan Agama sewilayah Pengadilan Tinggi Agama Makassar 
sumber : http://pta-makassarkota.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=356:macam-macam-sita-dalam-hukum-perdata&catid=1:berita&Itemid=180
Read More