Takut akan Tuhan adalah Permulaan Pengetahuan

Kebijakan Kantong Plastik Berbayar (Sebuah Kebijakan yang (tidak) berdampak)

Kebijakan Kantong Plastik Berbayar (Sebuah Kebijakan yang (tidak) berdampak)

SEBUAH KEBIJAKAN YANG (TIDAK) BERDAMPAK*

Oleh : Estomihi Simatupang
Mahasiswa Fakultas Hukum pada Universitas MPU Tantular

Dalam rangka untuk mengurangi sampah kantong plastik, Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan sebuah kebijakan baru untuk mengurangi sampah kantong plastik melalui Surat Edaran (SE)

Nomor: S.71/MENLHK–II/ 2015 pada 17 Desember 2015 tentang Penerapan Kantong Plastik berbayar yang uji coba penerapannya dimulai 21 Februari 2016 yang lalu hingga saat ini. Hal ini sesuai dengan UU No. 18 Tahun 2008 tentang  Pengelolaan Sampah sebagaimana Pasal 6 dan 7 tentang Tugas dan Wewenang Pemerintah dan pasal 19 dan 20 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.




Kebijakan penerapan kantong plastik berbayar ini tidak berlaku bagi semua konsumen tetapi hanya masih sebatas konsumen yang berbelanja dipasar modern saja dengan membayar Rp. 200,- untuk setiap kantong plastik yang diterima dan uji coba penerapan kebijakan ini juga belum diberlakukan secara menyeluruh di seluruh Indonesia hanya masih terbatas pada beberapa daerah saja yaitu : Banda Aceh, Medan, Pekanbaru, Palembang, DKI Jakarta, Bandung, Tangerang, Bekasi, Depok, Bogor, Semarang, Solo, Surabaya, Yogyakarta, Banjarmasin, Balikpapan, Makassar, Denpasar, Kendari, Ambon, Jayapura, dan Papua[1]

Kebijakan kantong plastik berbayar melalui Surat Edaran (SE) Nomor: S.71/MENLHK–II/ 2015 pada 17 Desember 2015 yang mengharuskan konsumen yang berbelanja dipasar modern membayar kantong plastik sebesar Rp. 200,- untuk setiap kantong plastik yang diterima tidak banyak mendapat penolakan, karena hal itu tidaklah memberatkan konsumen yang berbelanja dipasar modern. Justru kritikan datang dari orang yang peduli akan lingkungan dengan  sikap tidak yakin akan dapat mengurangi pemakaian kantong plastik oleh konsumen yang berbelanja di pasar modern.

Kini kebijakan kantong plastik berbayar telah berlangsung kurang lebih 4 bulan sampai saat tulisan ini dibuat. Timbul sebuah pertanyaan : Apakah kebijakan kantong plastik berbayar ini mempunyai dampak terhadap pengurangan pemakaian kantong plastik ?. Ternyata tidak, kenapa ? karena konsumen yang berbelanja dipasar modern bersedia membayar kantong plastik dan rata-rata konsumen yang berbelanja dipasar modern adalah konsumen dengan golongan mampu. 

Kita patut mengapresiasi kebijakan yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam upaya untuk mengurangi pemakaian kantong plastik yang berakibat timbulnya sampah plastik sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No. 18 Tahun 2008 tentang  Pengelolaan Sampah. Namun kebijakan kantong plastik berbayar itu perlu dikritisi karena kebijakan itu kurang (tidak) memberikan dampak untuk mengurangi pemakaian kantong plastik.





Fakta bahwa Indonesia adalah peringkat kedua di dunia penghasil sampah plastik ke Laut setelah Tiongkok[2] tentu hal ini sangat memprihatinkan bagi kita. Diperlukan sebuah langkah konkrit berupa kebijakan yang benar-benar dapat memberikan dampak untuk mengurangi pemakaian plastik mengingat kondisi saat ini yang cukup meresahkan.  Dalam hal ini penulis menyarankan agar kebijakan penerapan kantong plastik berbayar yang masih berlangsung saat ini agar ditinjau kembali dan penulis menyarankan sebaiknya  Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam hal ini Dirjen Pengelolaan Sampah dan Limbah Bahan Beracun Berbahaya mengeluarkan sebuah kebijakan pelarangan pemakaian kantong plastik ukuran kecil dan menengah karena pemakaian kantong plastik ukuran kecil dan menengahlah yang paling banyak menyumbang sampah plastik. 

1) sumber :http://www.menlhk.go.id/siaran-31-menuju-penerapan-kebijakan-kantong-plastik-berbayar.html.
2) sumber :http://www.menlhk.go.id/siaran-31-menuju-penerapan-kebijakan-kantong-plastik-berbayar.html

Tulisan ini bersifat penilaian pribadi sebagai bentuk kepedulian terhadap Lingkungan Hidup.

Read More
FENOMENA LELANG JABATAN DAN TUJUAN YANG HILANG

FENOMENA LELANG JABATAN DAN TUJUAN YANG HILANG

oleh Estomihi Simatupang
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas MPU Tantular

Lelang Jabatan kini bukanlah sesuatu yang baru dikalangan PNS yang jika sebelumnya menimbulkan pro dan kontra di kalangan PNS. Pada sebagian ini hanyalah sebuah permainan baru atau cara yang baru dalam mengelabui masyarakat yang dianggap sebagai pencitraan karena dipastikan bahwa yang nantinya terpilih dan diangkat adalah mereka-mereka yang memiliki kekuasaan, akses dan uang yang akan lulus dalam seleksi lelang jabatan. Namun bagi sebagian lagi berpendapat bahwa lelang jabatan ini adalah suatu langkah terobosan baru yang memberikan kesempatan bagi semua orang (bagi yang memenuhi syarat) untuk bersaing secara sehat dan terbuka dalam memperebutkan jabatan yang ditawarkan. 





Konsep lelang jabatan ini sebelumnya juga pernah didengungkan oleh Mantan Menteri BUMN yang pada saat itu dijabat oleh Dahlan Iskan. Namun konsepnya pada saat itu agak berbeda dengan konsep lelang jabatan sekarang. Jika maksud lelang jabatan pada waktu itu adalah untuk menginvetarisir dan memilah pegawai sesuai dengan bidang keahlian dan kemampuannya sehingga semua pegawai yang lulus dalam lelang jabatan akan dikumpulkan (seperti bank namun menyimpan nama-nama calon pejabat) dan dibuatkan suatu pemeringkatan. Sehingga setiap kekosongan atau pergantian pejabat akan diisi dari Bank tersebut. Hal ini diharapkan akan memicu semangat para PNS dalam bersaing secara sehat dan terbuka. Selain memacu semangat para PNS dalam mencapai karier, hal ini juga memudahkan pimpinan dalam memilih dan menempatkan bawahannya sesuai dengan bidang keahliahnya seperti apa yang sering kita dengar the right man on the right place. Namun hal ini tidak mendapat respon sehingga ide yang cukup cemerlang ini berangsur-angsur hilang.

Ketika Jokowi Widodo terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2012 (mengalahkan rivalnya Fauzi Bowo), melakukan suatu gebrakan untuk melakukan lelang jabatan secara terbuka, tentu hal ini membuat geger seluruh PNS DKI Jakarta, berbagai kritik dan pendapat terlontar terhadap kebijakan Gubernur yang baru sebagaimana disampaikan diatas. Harus diakui ini merupakan suatu gebrakan revolusi baru dalam tata pemerintahan daerah yang tak tanggung-tanggung dilakukan tanpa adanya sebuah pilot project dalam melakukan lelang jabatan. 

UU No. 22 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan  Surat edaran Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN dan RB) No. 16 tahun 2012 menjadi dasar hukum bagi Instasi Pemerintah untuk melakukan lelang jabatan. 





Read More
HAK PEJALAN KAKI YANG DI RAMPAS (Pembiaran atau Ketidakpedulian)

HAK PEJALAN KAKI YANG DI RAMPAS (Pembiaran atau Ketidakpedulian)

 Trotoar yang berubah Fungsi

oleh Estomihi Simatupang
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas MPU Tantular


Hasil gambar untuk trotoar dipenuhi kaki lima
  Trotoar berfungsi sebagai Jalur yang ditujukan bagi Pejalan Kaki (Undang Undang No. 22 Tahun 2009 Pasal 131 ayat satu (1) tentang Hak dan Kewajiban Pejalan Kaki adalah ”Pejalan Kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung yang berupa TROTOAR,tempat penyebrangan, dan fasilitas lain. Tetapi pada kenyataannya trotoar di Jakarta telah disalahkan fungsikan dan tidak sesuai dengan tujuan pembangunan trotoar itu sendiri. Selain tidak sesuai dengan fungsinya perubahan fungsi atau double fungsi yang ilegal juga telah merusak keindahan dan menjadi kumuh.




Hampir 60% dari trotoar yang ada di Jakarta tidak berfungsi dengan baik atau disalah fungsikan. Trotoar telah dipakai sebagai tempat berjualan, tempat parkir motor maupun mobil, sehingga hak daripada pejalan kaki telah dirampas. Meskipun para penyerobot fungsi trotoar maupun para pejabat di pemda DKI yang bertanggung jawab langsung atas trotoar tersebut telah mengetahui Hak dan Kewajiban Pejalan Kaki sebagaimana diatur dalam Undang Undang No. 22 Tahun 2009 Pasal 131 ayat satu (1) tentang Hak dan Kewajiban Pejalan Kaki adalah ”Pejalan Kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung yang berupa TROTOAR, tempat penyebrangan, dan fasilitas lain”. Namun hal ini hanyalah sebatas teori dan kurang tegasnya Pemda DKI dalam penertiban untuk mengembalikan fungsi trotoar yang sebenarnya.

Memang diakui, Pemda DKI tidak mudah dalam upaya melakukan penertiban terhadap para penyerobot fungsi trotoar yang juga seringkali mendapat perlawanan (tidak mau ditertibkan) dengan berbagai alasan. Dan kadang juga penertiban itu hanya di indahkan atau dalam sehari. seolah-olah mereka sadar dan mau ditertibkan tetapi setelah penertiban berlalu mereka kembali lagi. Kedua hal inilah yang menjadi dilema bagi pemda DKI dalam upaya penertiban trotoar. 

Tentu hal ini tidak perlu terjadi jika Pemda DKI melakukan penertiban secara berkala/teratur melalui patroli bila perlu setiap 3 atau 4 kali sehari. Namun Pemda DKI juga perlu memperhatikan kelengkapan dari para personil yang hendak melakukan penertiban, karena seringkali penertiban hanya mengandalkan personil dari pada satpol PP tanpa melibatkan instansi perhubungan, kepolisian maupun TNI.

Walikota sebagai penguasa wilayah ditambah camat maupun lurah sebagai perwakilannya memegang peranan penting dalam mengurangi dan mengendalikan penyerobotan fungsi trotoar dengan melakukan pendataan dan kontrol (patroli) secara berkala/teratur bila perlu setiap 3 atau 4 kali sehari. 

Seandainya itu dilakukan para penyerobot baru yang hendak mengalihfungsikan trotoar dapat terdeteksi dan ditindak sebelum alih fungsi terjadi. 

*) Mahasiswa Fakultas Hukum pada Universitas MPU Tantular.

Read More
Apakah Perjanjian Tidak Tertulis Sah ? dan Bagaimanakah Akibat Hukumnya ?

Apakah Perjanjian Tidak Tertulis Sah ? dan Bagaimanakah Akibat Hukumnya ?

oleh Estomihi Simatupang
Mahasiswa Fakultas Hukum Univ. Mpu Tantular

Perjanjian menurut KUHPerdata Pasal 1313 adalah  "suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih". Sepanjang perjanjian itu dilakukan dengan tidak melanggar Undang-undang maka perjanjian itu adalah sah. Hal ini terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat sahnya sebuah perjanjian yang harus dipenuhi yaitu 1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu pokok persoalan tertentu; 4. suatu sebab yang tidak terlarang.

Oleh karena perjanjian adalah suatu janji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dengan cuma-cuma atau dengan memberatkan, maka suatu perjanjian harus menyebutkan apakah perjanjian itu dilakukan dengan cuma-cuma atau dengan memberatkan. Terhadap perjanjian dengan memberatkan maka perlu disebutkan dan dijelaskan apa saja yang harus diberikan, dilakukan atau tidak dilakukan. Hal ini dapat kita lihat pada pasal 1319 KUHPerdata "Suatu persetujuan diadakan dengan cuma-cuma atau dengan memberatkan. Suatu persetujuan cuma-cuma adalah suatu persetujuan, bahwa pihak yang satu akan memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain tanpa menerima imbalan. Suatu persetujuan memberatkan adalah suatu persetujuan yang mewajibkan tiap pihak untuk memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu"

Suatu perjanjian sebaiknya dilakukan dengan tertulis meskipun suatu perjanjian tidak harus dilakukan dengan tertulis. KUHPerdata tidak mengatur apakah suatu perjanjian harus dilakukan dengan tertulis atau tidak tertulis sehingga KUHPerdata memberikan kebebasan bagi mereka yang mengikatkan diri untuk melakukan suatu perjanjian dengan tertulis atau tidak dengan tertulis.




Perjanjian tidak tertulis adalah sah sepanjang memenuhi ketentuan dalam KUHPerdata Pasal 1320 mengenai syarat sahnya suatu perjanjian. Akan tetapi perjanjian tidak tertulis ini akan mengalami kesulitan dalam hal pembuktian terhadap gugatan yang diajukan ke pengadilan manakala  pihak yang digugat tidak mengakui adanya perjanjian tersebut (ingkar) dihadapan hakim (Pasal 1927 KUHPerdata "Suatu pengakuan lisan yang diberikan di luar sidang pengadilan tidak dapat digunakan untuk pembuktian, kecuali dalam hal pembuktian dengan saksi-saksi diizinkan."). Hal mengenai pengakuan yang dapat dijadikan sebagai pembuktian ini dapat kita lihat pada KUHPerdata Pasal 1923 s/d Pasal 1928. Disamping tidak adanya pengakuan dari pihak yang digugat, kendala yang mungkin akan dihadapi adalah saksi-saksi (lebih dari satu orang) yang mendengar dan melihat langsung ketika perjanjian itu diadakan (Pasal 1905 KUHPerdata "Keterangan seorang saksi saja tanpa alat pembuktian lain, dalam Pengadilan tidak boleh dipercaya"). Hal tentang pembuktian dengan saksi ini terdapat pada Pasal 1906 s/d Pasal 1912 KUHPerdata. Secara keseluruhan mengenai pembuktian ini dapat kita lihat pada KUHPerdata Buku ke IV (keempat) tentang Pembuktian dan Kedaluwarsa, yaitu 1) Pembuktian dengan Tuliasan, 2) Pembuktian dengan saksi-saksi, 3) Pembuktian dengan Persangkaan, 4) Pembuktian dengan Pengakuan dan 5) Sumpah dihadapan Hakim.

Kesulitan dan kendala serta minimnya alat bukti yang diajukan dalam pembuktian di pengadilan akan berakibat ditolaknya gugatan tersebut.

Referensi :
1. Kitab Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)




Read More
Vaksin Palsu sebagai Perbuatan Malpraktek Medis

Vaksin Palsu sebagai Perbuatan Malpraktek Medis

oleh Estomihi F.P Simatupang
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas MPU Tantular

Akhir-akhir ini kita dihebohkan oleh berita tentang vaksin palsu, dan yang mengejutkan lagi adalah ternyata vaksin palsu ini telah berlangsung dalam kurun waktu 13 tahun sejak tahun 2003 sampai sekarang. Bagaimana sebenarnya kasus vaksin palsu ini jika  ditinjau dari sudut pandang hukum kesehatan khususnya tentang malpraktek medis ? 

Menurut Coughlin’s Dictionary Law, Malpraktek adalah sikap tindak professional yang salah dari seorang yang berprofesi, seperti dokter, ahli hokum, akuntan, dokter gigi, dokter hewan, sedangkan menurut Menurut The Oxford Illustrated Dicionary, Malpraktek adalah sikap tindak yang salah; (hokum) pemberian pelayanan terhadap pasien yang tidak benar oleh profesi medis; tindakan yang illegal untuk memperoleh keuntungan sendiri sewaktu dalam posisi kepercayaan.

Dari pengertian diatas bahwa yang dimaksud dengan malpraktek adalah : tindakan dokter/ dokter gigi atau tenaga kesehatan yang tidak sesuai dengan standar profesi, standar prosedur dan informed consent yang mengakibatkan kematian atau cacat dan/atau kerugian materi pada pasien baik yang dilakukan secara sengaja atau tidak sengaja. Dalam kasus pemberian vaksin palsu kepada bayi jika merujuk pada kesimpulan pengertian tentang malpraktek diatas maka kasus pemberian vaksin palsu kepada bayi dapat dikategorikan sebagai perbuatan malpraktek yang dapat dilakukan oleh dokter, perawat atau Rumah Sakit.




Terhadap perbuatan malpraktek medis pemberian vaksin palsu terdapat dua hubungan hukum yaitu Perbuatan melawan hukum (hukum perdata) dan Perbuatan tindak pidana (hukum pidana). 

Dalam hal hubungan hukum perdata dengan perbuatan malpraktek medis pemberian vaksin palsu adalah bahwa hubungan dokter dengan pasien merupakan transaksi teraupetik (kontrak traupetik) yaitu hubungan hokum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak [1]. Hak dan Kewajiban Dokter dan Pasien dapat kita lihat dalam UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran Pasal 50 sampai dengan Pasal 53. Dengan adanya hak dan kewajiban dalam kontrak Traupetik antara dokter dan pasien maka salah satu pihak yang dirugikan dapat melakukan tuntutan ganti rugi secara Perdata

Hubungan hukum pidana dengan perbuatan malpraktek medis pemberian vaksin palsu adalah sikap tindak yang salah; (hokum) pemberian pelayanan terhadap pasien yang tidak benar oleh profesi medis; tindakan yang illegal untuk memperoleh keuntungan sendiri sewaktu dalam posisi kepercayaan. yaitu dengan memberikan vaksin palsu kepada bayi yang mengakibatkan bayi tidak memiliki system kekebalan tubuh yang dikemudian hari dapat mengakibatkan bayi mudah sakit. Perbuatan ini dapat diancam dengan pidana kurungan 1 (satu) tahun atau dengan 50jt sesuai dengan Pasal 79 huruf (c).   

Salah satu kewajiban Rumah Sakit adalah sebagaimana diatur dalam UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit pasal 15 ayat (3) yang menyatakan  "Pengelolaan alat kesehatan, sediaan farmasi, dan bahan habis pakai di Rumah Sakit harus dilakukan oleh Instalasi farmasi sistem satu pintu" dan Pasal 29 yang menyatakan "memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit". Sehingga dalam kasus pemberian vaksin palsu kepada bayi tidak boleh hanya menyalahkan dokter atau perawat saja, tetapi ini juga merupakan tanggung jawab rumah sakit. Rumah sakit tidak dapat melepaskan tanggung jawabnya karena ini juga merupakan kelalaian dari pada Rumah Sakit. Salah satu sanksi terhadap pelanggaran dalam melaksanaan kewajiban Rumah Sakit (Pasal 17 dan Pasal 29 UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit) adalah denda dan pecabutan izin Rumah Sakit. Terhadap pasien yang dirugikan akibat tidak dipenuhinya kewajiban Rumah sakit berhak menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit sebagaimana dalam UU No. 44 Tahun 2009 Pasal 32 huruf (q)yang menyatakan "pasien berhak menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana";


1] Bahder Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Rineka Cipta, Jakarta ,2005, hlm 11
Read More
Malpraktek dan Pelayanan Kesehatan serta tantangannya dalam era globalisasi

Malpraktek dan Pelayanan Kesehatan serta tantangannya dalam era globalisasi

MALPRAKTEK DAN PELAYANAN KESEHATAN SERTA TANTANGANNYA DALAM ERA GLOBALISASI

oleh
Sudikno Mertokusumo 




Globalisasi, yang pada umumnya diartikan sebagai terbukanya negara-negara di dunia ini bagi produk-produk yang datang dari negara manapun, mau tidak mau harus kita hadapi. Kalau kita tidak mau ketinggalan dalam perkembangan dunia ini, kita harus siap menerimanya, sekalipun globalisasi ini risikonya besar, karena banyak yang perlu diubah atau disesuaikan di negeri kita ini, yang mungkin berakibat buruk, juga: suatu dilema.

Mengingat bahwa Indonesia merupakan negara berkembang dan globalisasi asalnya dari Barat, sedangkan antara negara maju dan negara berkembang terdapat kesenjangan, maka tidak mustahil bahwa lndonesia akan Iebih berperan pasif sebagai penerima barang atau jasa dari pada sebagai pemberi dalam proses globalisasi ini. Dimungkinkan masuknya barang-barang dari dan ke negara manapun berarti bahwa kita harus mampu dan berani bersaing. Dengan perkataan lain globalisasi berarti persaingan bebas. Dampaknya akan luas dan berpengaruh pada seluruh kehidupan ekonomi, sosial dan budaya, tidak terkecuali dalam bidang pelayanan jasa kesehatan. Oleh karena itu datangnya arus globalisasi harus diantisipasi dengan persiapan-persiapan yang mantep.







Sejak terjadinya peristiwa dr Setianingrum di Pati pada tahun 1981, banyak tuntutan atau gugatan ganti rugi diajukan terhadap dokter dengan alasan malpraktek. Sekalipun dr Setianingrum diputus bebas oleh Pengadilan Tinggi Semarang, namun peristiwa tersebut sudah terlanjur membuat resah para dokter. Para dokter resah, karena takut bahwa malpraktek itu setiap saat dapat dituduhkan pada dirinya juga. Bahwasanya para dokter itu resah dapat difahami oleh karena kebanyakan tidak memahami hukum dan kata malpraktek itu sendiri masih belum jelas serta menimbulkan pelbagai penafsiran.


Apa yang dimaksud dengan malpraktek secara umum kita jumpai dalam pasal 11 UU no.6 tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan, yaitu:
  1. melalaikan kewajiban
  2. melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat oleh seseorang tenaga kesehatan, baik mengingat sumpah jabatannya maupun mengingat sumpah sebagai tenaga kesehatan
  3. mengabaikan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh tenaga kesehatan
  4. melanggar sesuatu ketentuan menurut atau berdasarkan undang-undang ini. Masih belum cukup jelas rumusan malpraktek tersebut di atas, karena terlalu umum.

Secara lebih kasuistis kita jumpai dalam Undang-undang no.23 tahlm 1992 tentang Kesehatan dalam Bab X tentang Ketentuan Pidana (pas.80 - pas. 84).
Kalau malpraktek yang disebutkan pertama dikenai sanksi administratif maka yang kedua dikenai sanksi pidana. Di samping itu masih ada malpraktek yang sanksinya berupa membayar ganti rugi (perdata).

Hubungan terapeutik antara dokter dan pasien merupakan hubungan hukum (perjanjian) yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi masing-masing. Dokter mempunyai hak dan kewajiban, demikian pula pasien mempunyai hak dan kewajiban.

Yang menjadi hak pasien antara lain ialah: hak menerima, menolak dan menghentikan pengobatan dan perawatan, hak atas rahasia, hak mendapatkan informasi mengenai penyakitnya dan sebagainya. Sedangkan kewajiban pasien ialah memberi informasi sekengkap-lengkapnya mengenai penyakitnya kepada dokter, menghormati privacy dokter, memberi imbalanjasa dan sebagainya.

Hak dokter dalam hubungan terapeutik ini antara lain: hak atas informasi pasien mengenai penyakitnya, hak untuk menolak melaksanakan tindakan medik yang tidak dapat dipertanggungjawabkannya secara profesional, hak atas iktikat baik pasien dalam pelaksanaan transaksi terapeutik, hak atas privacy, hak atas imbalan jasa dan sebagainya. Kewajiban dokter dalam menjalankan profesinya ialah antara lain: menghormati hak pasien, berupaya menyembuhkan dan meringankan penderitaan pasien serta memberikan pelayanan medik sesuai dengan standar profesi medik. Jadi agar dokter tidak dapat dipersalahkan dalam menjalankan kewajibannya dalam hubungan terapeutik dengan pasien ia harus menjalankan tindakan-tindakan mediknya sesuai dengan standar profesi. Adapun yang dimaksudkan dengan standar profesi ialah pedoman atau cara yang baku yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan tindakan medik rnenurut ukuran tertentu yang didasarkan pada ilmu dan pengalarnan. Tidaklah rnudah untuk rnenentukan ukuran rnengenai standar profesi. Pada hakekatnya rnalpraktek merupakan kegagalan dalam hal dokter menjalankan profesinya. Tidak setiap kegagalan rnerupakan malpraktek, tetapi hanyalah kegagalan sebagai akibat kesalahan dalam menjalankan profesi medik yang tidak sesuai dengan standar profesi medik. Malpraktek mengandung dua unsur pokok, yaitu bahwa dokter gagal dalam menjalankan kewajibannya, dan bahwa kegagalan itu mengakibatkan luka atau kerugian.

Malpraktek disebabkan karena kurang berhati-hatinya atau lalainya dokter dalam menjalankan tugasnya. Tetapi tidak mustahil disebabkan karena kurang profesionalnya atau kurang cakapnya dokter yang bersangkutan. Ini menyebabkan pelayanan kesehatan menjadi tidak bermutu.
Tuntutan atau gugatan berdasarkan malpraktek tidak lain disebabkan oleh tuntutan akan pelayanan kesehatan yang bermutu.







Dalam era globalisasi, dengan terbukanya pintu bagi tenaga pelayanan asing ke Indonesia maka kita hams bersaing. Maka oleh karena itu mutu pelayanan kesehatan harus ditingkatkan. lni berarti bahwa sumber daya manusianya harus tingkatkan.

Tidak dapat dicegah rnasuknya peralatan pelayanan kesehatan yang canggih, yang memerlukan tenaga kesehatan yang profesional untuk mengoperasikan peralatan canggih tersebut. Bukan hanya sekedar mengoperasikannya, tetapi juga mernperbaikinya kalau rusak. Tidak sedikit peralatan canggih yang didatangkan dari luar negeri di pelbagai instansi yang nongkrong karena tidak ada yang dapat mengoperasikannya atau rusak dan ;tidak ada yang dapat rnemperbaikinya. Ketergantungan pada peralatan pelayanan kesehatan canggih dapat rnenghambat pelayanan kesehatan.

Apa yang dapat disimpulkan dari apa yang diuraikan di atas ialah, bahwa yang perlu mendapat perhatian dalam kita menghadapi gIobalisasi di bidang pelayanan kesehatan ialah:
1. meningkatkan sumber daya manusia dengan:
-menyesuaikan kurikulum pendidikan dengan perkembangan teknologi
-studi Ianjut atau penataran bagi tenaga pelayanan kesehatan
-mendidik teknisi untuk dapat mengoperasikan dan memperbaiki peralatan
pelayanan kesehatan yang canggih
2. perlu diwaspadai dan dicegah adanya pengangguran khususnya dilingkungan tenaga pelayanan kesehatan
3. Pemerintah perlu mengadakan proteksi khususnya bagi tenaga pelayanan kesehatan

Yogyakarta, 12 Januari 1996

ACUAN Ameln, Fred -, Hukum Kesehatan , Suatu pengantar
Regan, M.D., LLB., Louis J.-, Doctor and Patient and the Law
Veronica Komalawati, S.H. MH., D -, Hukum dan Etika dalam Praktek Dokter

sumber : http://sudiknoartikel.blogspot.co.id



Read More
Malpraktek pada Pengobatan Tradisional Jenis Chiropraktek

Malpraktek pada Pengobatan Tradisional Jenis Chiropraktek

oleh Estomihi Simatupang
Mahasiswa Fakultas Hukum Univ. Mpu Tantular

Kasus malraktek pada Klinik Pengobatan Tradisional jenis chiropraktek harus dilihat dari perbuatan yang dilakukan oleh klinik tersebut apakah masuk dalam ranah hokum perdata atau hokum pidana atau mungkin pelanggaran terhadap hokum perdata dan pidana. Sehingga penyelesaiannya dapat ditentukan apakah melalui Badan Penyelesain Sengketa Konsumen atau secara perdata dan pidana pada peradilan umum atau secara pidana pada kepolisian dan kejaksaan.

Maka dengan ini akan diuraikan perbuatan-perbuatan yang mempunyai akibat hukum bila dilakukan oleh Klinik Pengobatan Tradisional Jenis Chiropraktek sebagai berikut : Praktek Ilegal (Tanpa Ijin) pada Klinik Pengobatan Tradisional jenis chiropraktek merupakan perbuatan melawan hukum

Pengertian malpraktek adalah sebuah praktek buruk dari seseorang yang memegang suatu profesi baik yang dilakukan secara sengaja ataupun kelalaian. Klinik Pengobatan Tradisional Chriopraktek merupakan pengobatan tradisional sebagaimana chiroterapi merupakan salah satu pengobatan secara tradisional yang terdapat dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 1076 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional. Dalam Bab IV Pasal 9 Peraturan Menteri Kesehatan No. 1076 Tahun 2003 tentang penyelenggaraan kesehatan diwajibkan untuk memiliki Surat Ijin Pengobat Tradisional (SIPT).

Praktek Pengobatan Tradisional Chriopraktek dengan tidak memiliki ijin praktek jelas merupakan perbuatan melawan hokum . Maka dengan demikian Pengobatan Tradisional Chriopraktek yang tidak memiliki ijin telah melakukan perbuatan melawan hokum dengan tidak memiliki hak dan wewenang untuk melakukan praktek pengobatan tradisional dalam hal ini melakukan praktek illegal sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 1076 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional.

Praktek Ilegal (Tanpa Ijin) pada Klinik Pengobatan Tradisional jenis chiropraktek dapat berakibat Malpraktek Pidana

Praktek Klinik Pengobatan Tradisional jenis Chriopraktek yang dilakukan tanpa Ijin bukan merupakan malpraktek kedokteran karena tidak memeuhi unsure-unsur dalam malpraktek kedokteran. Dan Malpraktek yang terjadi pada Klinik Pengobatan Tradisional jenis Chriopraktek merupakan malpraktek pengobatan tradisional yang dapat menjadi malpraktek pidana jika telah memenuhi unsur-unsur pidana.

Yang mana dalam unsur-unsur tindak pidana tersebut antara lain :

1. Syarat sikap batin,

Syarat sikap batin ini telah terpenuhi unsurnya dengan adanya kesengajaan dan kelalaian untuk mengurus Surat Ijin Pengobatan Tradisional (SIPT) sehingga melakukan praktek illegal.

2. Syarat dalam perlakuan medis,

Syarat dalam perlakuan medis ini telah terpenuhi adanya kesengajaan atau kelalaian dalam mengambilan tindakan terhadap pasien yaitu dengan melakukan tindakan diluar kemampuan dan ketrampilan sehingga menyebabkan kematian pasiennya.

3. Syarat dalam hal akibat.

Syarat ini telah terpenuhi yaitu Kealfaan yang menyebabkan kematian (pasal 359).
Praktek Ilegal (Tanpa Ijin) Pengobatan Tradisional Chiropraktek merupakan perbuatan melawan hokum yang mengakibatkan kerugian baik materiil maupun in materil.

Hak pasien untuk mendapatkan ganti rugi atas suatu wanprestasi , disamping didasarkan pada ketentuan hokum kesehatan sebagaimana diatur dalam pasal 58 UU No. 36 Tahun 2009 yang menentukan setiap orang untuk menuntut rugi terhadap seseorang yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian akibat pelayanan kesehatan yang diterimanya.

Dalam hal kerugian yang dialami pasien yang mengakibatkan kematian akibat praktek yang dilakukan oleh sebuah Klinik Pengobatan Tradisional Chriopraktek sebagaimana ditentukan oleh pasal 1243 KUHPerdata adalah :

Biaya (scaden) yaitu segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan 
Rugi (scaden) berkurangnya harta kekayaan kreditur akibat wansprestasi 
Bunga (interessen) yaitu keuntungan yang diharapkan tidak diperoleh karena adanya wansprestasi 

Melihat uraian tersebut diatas Malpraktek yang dilakukan oleh sebuah Pengobatan Tradisional Chriopraktek yang mengakibatkan meninggalnya pasien akibat kesengajaan maupun kelalaian telah memenuhi unsure-unsur tindak pidana dan unsure wanprestasi sebagaimana dalam KUHPerdata pasal 1365, Pasal 1366, pasal 1367 dan UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 pasal 58.

Read More
Bolehkah Jaksa Mengajukan PK ?

Bolehkah Jaksa Mengajukan PK ?



BOLEHKAH JAKSA MENGAJUKAN P.K.?

oleh Sudikno Mertokusumo

Apakah jaksa boleh mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK)? Ahir-akhir ini tidak sedikit kasus dimana jaksa mengajukan permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Marilah kita lihat bagaimanakah menurut sistem hukumnya yang berlaku?


Pasal 263 (1) KUHAP berbunyi bahwa “terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”. Bunyi pasal tersebut bagi awam sangat sumir: “terhukum atau ahli warisnya”. Memang merekalah yang berkepentingan, jaksa sama sekali tidak disebut di dalam pasal tersebut. Dikecualikan ialah putusan bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan, yang berarti bahwa putusan bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan, tidak dapat dimohonkan peninjauan kembali. Apakah karena tidak disebut dalam pasal tersebut jaksa boleh mengajukan permohonan peninjauan kembali?

Apakah kalau suatu peristiwa itu tidak diatur atau tidak disebutkan dalam undang-undang berarti peristiwa itu dibolehkan? Karena jaksa tidak disebut dalam pasal tersebut apakah itu berarti bahwa jaksa dibolehkan mengajukan permohonan peninjauan kembali? Apakah justru sebaliknya, karena tidak diatur atau disebutkan maka berarti dilarang?
Kalau suatu peristiwa tidak diatur atau tidak disebut dalam undang-undang kita cenderung menafsirkan “tidak ada larangan” jadi “dibolehkan”. Tetapi sebaliknya kita dapat berpendapat karena tidak disebut maka “dilarang”. tidak sesederhana itulah menafsirkannya. Tidak sesederhana itulah jawabannya. Kita harus melihat undang-undang sebagai suatu sistem, sebagai suatu kesatuan yang terdiri dari pasal-pasal.

Dalam membaca atau menafsirkan suatu pasal dalam undang-undang maka pasal tersebut harus diletakkan dalam proporsinya. Pasal yang bersangkutan harus ditempatkan dalam sistem, jangan dikeluarkan dari sistem atau undang-undang yang bersangkutan dan diteropong tersendiri lepas dari pasal-pasal lain dalam undang-undang yang bersangkutan. Sebab suatu pasal dalam satu undang-undang merupakan kesatuan dengan pasal-pasal lain dalam undang-undang tersebut. Sebuah undang-undang merupakan suatu sistem, merupakan suatu kesatuan, sehingga merupakan kesatuan dengan pasal-pasal lain dalam undang-undang yang bersangkutan. Dengan demikian setiap pasal dalam suatu undang-undang mempunyai kaitan atau hubungan dengan pasal-pasal lain dalam undang-undang tersebut dan tidak terpisahkan satu sama lain.
Pasal 263 (1) KUHAP tersebut memang bagi awam kurang tegas, tetapi tidak boleh/dapat disalahtafsirkan, karena di samping Pasal 263 (1) KUHAP tersebut masih ada pasal lain dalam KUHAP yaitu Pasal 266 (3) yang berbunyi bahwa “Bahwa yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula.” Putusan peninjauan kembali tidak boleh lebih berat dari pada putusan kasasinya. Ini berarti bahwa jaksa dalam tingkat peninjauan kembali nanti tidak boleh menuntut lebih berat dari putusan kasasinya.

Pertanyaannya ialah apakah jaksa dalam permohonan peninjauan kembali nanti akan mengajukan tuntutan yang sama atau bahkan kurang dari putusan kasasinya? Kalau jaksa akan menuntut sama dengan putusan kasasinya apakah itu tidak berarti membuang-buang waktu, tenaga atau mencari kerjaan?. Kalau jaksa akan menuntut kurang dari putusan kasasinya apa itu tidak berarti bertentangan dengan tuntutan dalam kasasinya?

Jadi kalau suatu peristiwa konkret tidak ada peraturan yang mengaturnya, maka tidak dengan sendirinya peristiwa konkret itu dibolehkan atau dilarang, tetapi harus diteliti lebih lanjut apakah peristiwa konkret itu bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum atau tidak. Kalau tidak, untuk apa dilarang, sedangkan kalau bertentangan sudah selayaknya dilarang.

Ini merupakan penemuan hukum (menemukan hukumnya karena hukumnya tidak jelas atau tidak lengkap), tetapi penemuan hukum itu ada metodenya, ada aturannya, tidak sekedar atau asal mengadakan penerobosan: nrobos sana nrobos sini mencari enaknya, mencari untungnya. Lebih-lebih dalam hukum pidana penemuan hukum tidak sebebas dalam hukum perdata. Kepentingan para pihak atau terdakwa harus diperhatikan, sebab hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia. Baik ia terdakwa atau bukan.
Sebaiknya jaksa tidak bersikap terlalu agresif dan proaktif untuk menuntut kesalahan dan hukuman 

Walaupun tugas jaksa adalah sebagai penuntut, tetapi kalau terdakwa terbukti di persidangan tidak bersalah ia harus jujur dan berani menuntut bebas. Tidak perlu malu atau "loosing face", sebab jaksapun harus mencari kebenaran dan keadilan.

Hukum memang harus ditegakkan, tetapi bukan seperti yang lazim kita dengar: “FIAT JUSTITIA ET PEREAT MUNDUS” yang berarti hukum harus ditegakkan meskipun dunia akan hancur, melainkan: ‘FIAT JUSTITIA NE PEREAT MUNDUS’ yang berarti bahwa hukum harus ditegakkan agar dunia tidak hancur.
MENURUT JAKSA AGUNG MUDA TINDAK PIDANA UMUM, KEJAKSAAN MENANGANI PERKARA PEMBUNUHAN NASRUDIN "DENGAN HATI-HATI" PASALNYA PERKARANYA INI MENARIK PERHATIAN(berita dalam KOMPAS). Pertanyaan yang menggelitik: Kalau perkara itu tidak menarik perhatian apakah jaksa tidak akan serius menanganinya? Kasihan para pencari keadilan yang perkaranya kecil dan tidak menarik perhatian. Quo Vadis Reformasi Hukum?
Yogya 18 Juni 2009
Read More