Takut akan Tuhan adalah Permulaan Pengetahuan

Pengertian Hukum Kesehatan

Pengertian Hukum Kesehatan

Pengertian Hukum Kesehatan, menurut para ahli adalah :

Menurut Van Der Mijn, 

pengertian dari hukum kesehatan diartikan sebagai hukum yang berhubungan secara langsung dengan pemeliharaan kesehatan yang meliputi penerapan perangkat hukum perdata, pidana dan tata usaha negara atau definisi hukum kesehatan adalah sebagai keseluruhan aktifitas juridis dan peraturan hukum dalam bidang kesehatan dan juga studi ilmiahnya.



Menurut Leenen 

Hukum kesehatan sebagai keseluruhan aktivitas yuridis dan peraturan hukum di bidang kesehatan serta studi ilmiahnya.




Menurut AD Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia (PERHUKI),

Hukum kesehatan adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan / pelayanan kesehatan dan penerapannya. Hal ini menyangkut hak dan kewajiban baik dari perorangan dan segenap lapisan masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan maupun dari pihak penyelenggara pelayanan kesehatan dalam segala aspeknya, organisasi, sarana, pedoman standar pelayanan medik, ilmu pengetahuan kesehatan dan hukum serta sumber-sumber hukum lainnya. Hukum kedokteran merupakan bagian dari hukum kesehatan, yaitu yang menyangkut asuhan / pelayanan kedokteran (medical care / sevice)


Read More
Azas Hukum Kesehatan:

Azas Hukum Kesehatan:

  1. Asas perikemanusiaan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus dilandasi atas perikemanusiaan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan tidak membeda-bedakan golongan, agama, dan bangsa;
  2. Asas manfaat berarti memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dan perikehidupan yang sehat bagi setiap warga negara;
  3. Asas usaha bersama dan kekeluargaan berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan dilaksanakan melalui kegiatan yang dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat dan dijiwai oleh semangat kekeluargaan;
  4. Asas adil dan merata berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus dapat memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada segenap lapisan masyarakat dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat;
  5. Asas perikehidupan dalam keseimbangan berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus dilaksanakan seimbang antara kepentingan individu dan masyarakat, antara fisik dan mental, antara materiel dan spiritual;
  6. Asas kepercayaan pada kemampuan dan kekuatan sendiri berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus berlandaskan pada kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri dengan memanfaatkan potensi nasional seluas-luasnya.

Read More
Ruang Lingkup Hukum Kesehatan

Ruang Lingkup Hukum Kesehatan

  1. Hukum Medis (Medical Law)
  2. Hukum Keperawatan (Nurse Law);
  3. Hukum Rumah Sakit (Hospital Law);
  4. Hukum Pencemaran Lingkungan (Environmental Law);
  5. Hukum Limbah (dari industri, rumah tangga, dsb);
  6. Hukum peralatan yang memakai X-ray (Cobalt, nuclear);
  7. Hukum Keselamatan Kerja;

Read More
Peraturan-Peraturan yang berkaitan dengan Hukum Kesehatan

Peraturan-Peraturan yang berkaitan dengan Hukum Kesehatan

  1. UUD 1945 Amandemen Ke-4, Pasal 20, Pasal 28 H dan Pasal 34 Ayat 3 Download UUD 1945
  2. UU NO. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Download UU perubahan atas UU No. 23 Tahun 1992 Download
  3. UU No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit Download UU
  4. UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran Download UU
  5. UU No. 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan Download UU
  6. UU No. 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan Download UU
  7. PERMENKES No. 69 Tahun 2014 Tentang Kewajiban Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien Download Permenkes
  8. PP NO. 32 Tahun 1996 Tentang Kesehatan Download
  9. PERMENKES No. HK.02.02/MENKES/148/I/2010 Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat Download






Read More
Jenis Tenaga Kesehatan

Jenis Tenaga Kesehatan

Menurut Pasal 2 PP No 32 Tahun 1996 Jenis Tenaga Kesehatan  adalah :

(1)   Tenaga kesehatan terdiri dari:
a.  tenaga medis;
b.  tenaga keperawatan;
c.  tenaga kefarmasian;
d.  tenaga kesehatan masyarakat;
e.  tenaga gizi;
f.  tenaga keterapian fisik;
g.  tenaga keteknisian medis.





(2)   Tenaga medis meliputi dokter dan dokter gigi.
(3)   Tenaga keperawatan meliputi perawat dan bidan.
(4)   Tenaga kefarmasian meliputi apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker.
(5) Tenaga kesehatan masyarakat meliputi epidemiolog kesehatan, entomolog kesehatan, mikrobiolog kesehatan, penyuluh kesehatan, administrator kesehatan dan sanitarian.
(6)   Tenaga gizi meliputi nutrisionis dan dietisien.
(7)   Tenaga keterapian fisik meliputi fisioterapis, okupasiterapis dan terapis wicara.
(8)  Tenaga keteknisian medis meliputi radiografer, radioterapis, teknisi gigi, teknisi elektromedis, analis kesehatan, refraksionis optisien, otorik prostetik, teknisi transfusi dan perekam medis



Read More
Hak dan Kewajiban Tenaga Kesehatan

Hak dan Kewajiban Tenaga Kesehatan

Hak Tenaga Kesehatan 
MENURUT UU NO. 36 TAHUN 2009 TENTANG RS
  1. Tolak ungkap rahasia pasien terkecuali apabila pasien menuntut dan memberi informasi kpd media cetak dianggap telah melepaskan haknya (psl 44)
Kewajiban Tenaga Kesehatan 
MENURUT UU NO. 44 TAHUN 2014 TENTANG RS

  1. Tenaga medis yang melakukan praktik kedokteran di Rumah Sakit wajib memiliki Surat Izin Praktik sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
  2. Tenaga kesehatan tertentu yang bekerja di Rumah Sakit wajib memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
  3. Hak Tenaga Kesehatan  MENURUT UU NO. 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN
    1. Tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan pelindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya
    Kewajiban Tenaga Kesehatan  MENURUT UU NO. 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN
    1. Tenaga kesehatan harus memiliki kualifikasi minimum (Pasal 22)
    2. Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan wajib memiliki izin dari pemerintah. (Pasal 23 ayat 3)
    3. Tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya berkewajiban mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki. (Pasal 27)
    4. Bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam melaksanakan tugas profesinya berkewajiban untuk : a. menghormati hak pasien; b. menjaga kerahasiaan identitas dan data kesehatan pribadi pasien; c. memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan dilakukan; d meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan; e. membuat dan memelihara rekam medis. (PP No. 32 Tahun 1996 tentang Kesehatan sesuai UU No. 36 Tahun 2009) 

Read More
Hak dan Kewajiban Pasien

Hak dan Kewajiban Pasien

Hak secara Umum 
MENURUT UU NO. 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN:
  1. Setiap orang berhak atas kesehatan.
  2. Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan
  3. Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau
  4. Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.
  5. Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan.
  6. Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab. 
  7. Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan.   





Hak Pasien 
MENURUT UU NO. 36 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN:

  1. Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap (Pasal 56)
  2. Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan. (Pasal 57)
  3. Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya

Hak Pasien 
MENURUT UU NO. 44 TAHUN 2009 TENTANG RS:

  1. memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit; 
  2. memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien; 
  3. memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi; 
  4. memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional; 
  5. memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi; 
  6. mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan;
  7. memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit; 
  8. meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar Rumah Sakit; 
  9. mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya; 
  10. mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan; 
  11. memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya; 
  12. didampingi keluarganya dalam keadaan kritis; 
  13. menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya; 
  14. memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di Rumah Sakit; 
  15. mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit terhadap dirinya; 
  16. menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya; 
  17. menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana; dan 
  18. mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengan standar pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kewajiban Pasien 
MENURUT PERMENKES NO. 69 TAHUN 2014 Sesuai Pasal 31 UU NO. 44 TAHUN 2009 TENTANG RS:


  1. mematuhi peraturan yang berlaku di Rumah Sakit; 
  2. menggunakan fasilitas rumah sakit secara bertanggungjawab; 
  3. menghormati hak-hak pasien lain, pengunjung dan hak Tenaga Kesehatan serta petugas lainnya yang bekerja di rumah sakit ; 
  4. memberikan informasi yang jujur, lengkap dan akurat sesuai kemampuan dan pengetahuannya tentang masalah kesehatannya; 
  5. memberikan informasi mengenai kemampuan finansial dan jaminan kesehatan yang dimilikinya; 
  6. mematuhi rencana terapi yang direkomendasikan oleh Tenaga Kesehatan di rumah sakit dan disetujui oleh Pasien yang bersangkutan setelah mendapatkan penjelasan sesuai ketentuan peraturan perundangundangan; 
  7. menerima segala konsekuensi atas keputusan pribadinya untuk menolak rencana terapi yang direkomendasikan oleh Tenaga Kesehatan dan/atau tidak mematuhi petunjuk yang diberikan oleh Tenaga Kesehatan dalam rangka penyembuhan penyakit atau masalah kesehatannya; dan 
  8. memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.

Read More
Vaksin Palsu sebagai Perbuatan Malpraktek Medis

Vaksin Palsu sebagai Perbuatan Malpraktek Medis

oleh Estomihi F.P Simatupang
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas MPU Tantular

Akhir-akhir ini kita dihebohkan oleh berita tentang vaksin palsu, dan yang mengejutkan lagi adalah ternyata vaksin palsu ini telah berlangsung dalam kurun waktu 13 tahun sejak tahun 2003 sampai sekarang. Bagaimana sebenarnya kasus vaksin palsu ini jika  ditinjau dari sudut pandang hukum kesehatan khususnya tentang malpraktek medis ? 

Menurut Coughlin’s Dictionary Law, Malpraktek adalah sikap tindak professional yang salah dari seorang yang berprofesi, seperti dokter, ahli hokum, akuntan, dokter gigi, dokter hewan, sedangkan menurut Menurut The Oxford Illustrated Dicionary, Malpraktek adalah sikap tindak yang salah; (hokum) pemberian pelayanan terhadap pasien yang tidak benar oleh profesi medis; tindakan yang illegal untuk memperoleh keuntungan sendiri sewaktu dalam posisi kepercayaan.

Dari pengertian diatas bahwa yang dimaksud dengan malpraktek adalah : tindakan dokter/ dokter gigi atau tenaga kesehatan yang tidak sesuai dengan standar profesi, standar prosedur dan informed consent yang mengakibatkan kematian atau cacat dan/atau kerugian materi pada pasien baik yang dilakukan secara sengaja atau tidak sengaja. Dalam kasus pemberian vaksin palsu kepada bayi jika merujuk pada kesimpulan pengertian tentang malpraktek diatas maka kasus pemberian vaksin palsu kepada bayi dapat dikategorikan sebagai perbuatan malpraktek yang dapat dilakukan oleh dokter, perawat atau Rumah Sakit.




Terhadap perbuatan malpraktek medis pemberian vaksin palsu terdapat dua hubungan hukum yaitu Perbuatan melawan hukum (hukum perdata) dan Perbuatan tindak pidana (hukum pidana). 

Dalam hal hubungan hukum perdata dengan perbuatan malpraktek medis pemberian vaksin palsu adalah bahwa hubungan dokter dengan pasien merupakan transaksi teraupetik (kontrak traupetik) yaitu hubungan hokum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak [1]. Hak dan Kewajiban Dokter dan Pasien dapat kita lihat dalam UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran Pasal 50 sampai dengan Pasal 53. Dengan adanya hak dan kewajiban dalam kontrak Traupetik antara dokter dan pasien maka salah satu pihak yang dirugikan dapat melakukan tuntutan ganti rugi secara Perdata

Hubungan hukum pidana dengan perbuatan malpraktek medis pemberian vaksin palsu adalah sikap tindak yang salah; (hokum) pemberian pelayanan terhadap pasien yang tidak benar oleh profesi medis; tindakan yang illegal untuk memperoleh keuntungan sendiri sewaktu dalam posisi kepercayaan. yaitu dengan memberikan vaksin palsu kepada bayi yang mengakibatkan bayi tidak memiliki system kekebalan tubuh yang dikemudian hari dapat mengakibatkan bayi mudah sakit. Perbuatan ini dapat diancam dengan pidana kurungan 1 (satu) tahun atau dengan 50jt sesuai dengan Pasal 79 huruf (c).   

Salah satu kewajiban Rumah Sakit adalah sebagaimana diatur dalam UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit pasal 15 ayat (3) yang menyatakan  "Pengelolaan alat kesehatan, sediaan farmasi, dan bahan habis pakai di Rumah Sakit harus dilakukan oleh Instalasi farmasi sistem satu pintu" dan Pasal 29 yang menyatakan "memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit". Sehingga dalam kasus pemberian vaksin palsu kepada bayi tidak boleh hanya menyalahkan dokter atau perawat saja, tetapi ini juga merupakan tanggung jawab rumah sakit. Rumah sakit tidak dapat melepaskan tanggung jawabnya karena ini juga merupakan kelalaian dari pada Rumah Sakit. Salah satu sanksi terhadap pelanggaran dalam melaksanaan kewajiban Rumah Sakit (Pasal 17 dan Pasal 29 UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit) adalah denda dan pecabutan izin Rumah Sakit. Terhadap pasien yang dirugikan akibat tidak dipenuhinya kewajiban Rumah sakit berhak menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit sebagaimana dalam UU No. 44 Tahun 2009 Pasal 32 huruf (q)yang menyatakan "pasien berhak menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana";


1] Bahder Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Rineka Cipta, Jakarta ,2005, hlm 11
Read More
Pengertian Malpraktek Medis

Pengertian Malpraktek Medis

 Pengertian Malpraktek Medis

·         Menurut Stedman’s Medical Dictionary
Malpraktek adalah salah cara mengobati suatu penyakit atau luka karena disebabkan sikap tindak yang acuh, sembarangan atau berdasarkan motivasi criminal.

·         Menurut Coughlin’s Dictionary Law
Malpraktek adalah sikap tindak professional yang salah dari seorang yang berprofesi, seperti dokter, ahli hokum, akuntan, dokter gigi, dokter hewan.

·         Menurut Balck’s Law Dictionary
Malpraktek adalah sikap tindak yang salah, kekurangan keterampilan dalam ukuran tingkat yang tidak wajar. Istilah ini pada umumnya dipergunakan terhadap sikap tindak dari para dokter , pengacara, akuntan. Kegagalan untuk memberikan pelayanan professional dan melakukan pada ukuran tingkat keterampilan dan kepandaian yang wajar didalam masyarakatnya oleh teman sejawat rata-rata dari profesi itu, sehingga mengakibatkan luka, kehilangan atau kerugian pada penerima pelayanan tererbut yang cenderung menaruh kepercayaan terhadap mereka itu. Termasuk didalamnya setiap sikap tindak professional yang salah, kekurangan keterampilan yang  tidak wajar atau kurang kehati-hatian atau kewajiban hokum, praktek buruk, atau illegal atau sikap immoral.

·         Menurut The Oxford Illustrated Dicionary
Malpraktek adalah sikap tindak yang salah; (hokum) pemberian pelayanan terhadap pasien yang tidak benar oleh profesi medis; tindakan yang illegal untuk memperoleh keuntungan sendiri sewaktu dalam posisi kepercayaan.

Dari pengertian diatas bahwa yang dimaksud dengan malpraktek adalah : tindakan dokter/ dokter gigi atau tenaga kesehatan yang tidak sesuai dengan standar profesi, standar prosedur dan informed consent yang mengakibatkan kematian atau cacat dan/atau kerugian materi pada pasien baik yang dilakukan secara sengaja atau tidak sengaja.


DAFTAR PUSTAKA

  Dr. Veronica Komalawati, S.S.,M.H. Persetujuan Dalam Hubungan Dokter Dan Pasien. Bandung, 1999.

Drs. H. Adami Chazawi, S.H. Malpraktik kedokteran. Bayumedia Publising Malang, 2007.
J. Guwandi, S.H. Hukum Medik FKUI. Jakarta, 2004.
KEMENKES RI. N0. 1076/MENKES/SK/VII/2003.
KUHP, KUHPer.
Rinanto Suryadhimartha, S.H.,M.Sc. Hukum Malpraktik Kedokteran. Yogyakarta, Totalmedia 2011.
UU No. 29 Tahun 2009. Tentang Praktik Kedokteran.


[1] Bahder Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Rineka Cipta, Jakarta ,2005, hlm 11
[2] Soenarto soerodibroto, 1994, KUHP dan KUHAP dilengkapi dengan prudensi mahkamah agung dan hoge raad, penerbit PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, hl. 212



Read More
Malpraktek dan Pelayanan Kesehatan serta tantangannya dalam era globalisasi

Malpraktek dan Pelayanan Kesehatan serta tantangannya dalam era globalisasi

MALPRAKTEK DAN PELAYANAN KESEHATAN SERTA TANTANGANNYA DALAM ERA GLOBALISASI

oleh
Sudikno Mertokusumo 




Globalisasi, yang pada umumnya diartikan sebagai terbukanya negara-negara di dunia ini bagi produk-produk yang datang dari negara manapun, mau tidak mau harus kita hadapi. Kalau kita tidak mau ketinggalan dalam perkembangan dunia ini, kita harus siap menerimanya, sekalipun globalisasi ini risikonya besar, karena banyak yang perlu diubah atau disesuaikan di negeri kita ini, yang mungkin berakibat buruk, juga: suatu dilema.

Mengingat bahwa Indonesia merupakan negara berkembang dan globalisasi asalnya dari Barat, sedangkan antara negara maju dan negara berkembang terdapat kesenjangan, maka tidak mustahil bahwa lndonesia akan Iebih berperan pasif sebagai penerima barang atau jasa dari pada sebagai pemberi dalam proses globalisasi ini. Dimungkinkan masuknya barang-barang dari dan ke negara manapun berarti bahwa kita harus mampu dan berani bersaing. Dengan perkataan lain globalisasi berarti persaingan bebas. Dampaknya akan luas dan berpengaruh pada seluruh kehidupan ekonomi, sosial dan budaya, tidak terkecuali dalam bidang pelayanan jasa kesehatan. Oleh karena itu datangnya arus globalisasi harus diantisipasi dengan persiapan-persiapan yang mantep.







Sejak terjadinya peristiwa dr Setianingrum di Pati pada tahun 1981, banyak tuntutan atau gugatan ganti rugi diajukan terhadap dokter dengan alasan malpraktek. Sekalipun dr Setianingrum diputus bebas oleh Pengadilan Tinggi Semarang, namun peristiwa tersebut sudah terlanjur membuat resah para dokter. Para dokter resah, karena takut bahwa malpraktek itu setiap saat dapat dituduhkan pada dirinya juga. Bahwasanya para dokter itu resah dapat difahami oleh karena kebanyakan tidak memahami hukum dan kata malpraktek itu sendiri masih belum jelas serta menimbulkan pelbagai penafsiran.


Apa yang dimaksud dengan malpraktek secara umum kita jumpai dalam pasal 11 UU no.6 tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan, yaitu:
  1. melalaikan kewajiban
  2. melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat oleh seseorang tenaga kesehatan, baik mengingat sumpah jabatannya maupun mengingat sumpah sebagai tenaga kesehatan
  3. mengabaikan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh tenaga kesehatan
  4. melanggar sesuatu ketentuan menurut atau berdasarkan undang-undang ini. Masih belum cukup jelas rumusan malpraktek tersebut di atas, karena terlalu umum.

Secara lebih kasuistis kita jumpai dalam Undang-undang no.23 tahlm 1992 tentang Kesehatan dalam Bab X tentang Ketentuan Pidana (pas.80 - pas. 84).
Kalau malpraktek yang disebutkan pertama dikenai sanksi administratif maka yang kedua dikenai sanksi pidana. Di samping itu masih ada malpraktek yang sanksinya berupa membayar ganti rugi (perdata).

Hubungan terapeutik antara dokter dan pasien merupakan hubungan hukum (perjanjian) yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi masing-masing. Dokter mempunyai hak dan kewajiban, demikian pula pasien mempunyai hak dan kewajiban.

Yang menjadi hak pasien antara lain ialah: hak menerima, menolak dan menghentikan pengobatan dan perawatan, hak atas rahasia, hak mendapatkan informasi mengenai penyakitnya dan sebagainya. Sedangkan kewajiban pasien ialah memberi informasi sekengkap-lengkapnya mengenai penyakitnya kepada dokter, menghormati privacy dokter, memberi imbalanjasa dan sebagainya.

Hak dokter dalam hubungan terapeutik ini antara lain: hak atas informasi pasien mengenai penyakitnya, hak untuk menolak melaksanakan tindakan medik yang tidak dapat dipertanggungjawabkannya secara profesional, hak atas iktikat baik pasien dalam pelaksanaan transaksi terapeutik, hak atas privacy, hak atas imbalan jasa dan sebagainya. Kewajiban dokter dalam menjalankan profesinya ialah antara lain: menghormati hak pasien, berupaya menyembuhkan dan meringankan penderitaan pasien serta memberikan pelayanan medik sesuai dengan standar profesi medik. Jadi agar dokter tidak dapat dipersalahkan dalam menjalankan kewajibannya dalam hubungan terapeutik dengan pasien ia harus menjalankan tindakan-tindakan mediknya sesuai dengan standar profesi. Adapun yang dimaksudkan dengan standar profesi ialah pedoman atau cara yang baku yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan tindakan medik rnenurut ukuran tertentu yang didasarkan pada ilmu dan pengalarnan. Tidaklah rnudah untuk rnenentukan ukuran rnengenai standar profesi. Pada hakekatnya rnalpraktek merupakan kegagalan dalam hal dokter menjalankan profesinya. Tidak setiap kegagalan rnerupakan malpraktek, tetapi hanyalah kegagalan sebagai akibat kesalahan dalam menjalankan profesi medik yang tidak sesuai dengan standar profesi medik. Malpraktek mengandung dua unsur pokok, yaitu bahwa dokter gagal dalam menjalankan kewajibannya, dan bahwa kegagalan itu mengakibatkan luka atau kerugian.

Malpraktek disebabkan karena kurang berhati-hatinya atau lalainya dokter dalam menjalankan tugasnya. Tetapi tidak mustahil disebabkan karena kurang profesionalnya atau kurang cakapnya dokter yang bersangkutan. Ini menyebabkan pelayanan kesehatan menjadi tidak bermutu.
Tuntutan atau gugatan berdasarkan malpraktek tidak lain disebabkan oleh tuntutan akan pelayanan kesehatan yang bermutu.







Dalam era globalisasi, dengan terbukanya pintu bagi tenaga pelayanan asing ke Indonesia maka kita hams bersaing. Maka oleh karena itu mutu pelayanan kesehatan harus ditingkatkan. lni berarti bahwa sumber daya manusianya harus tingkatkan.

Tidak dapat dicegah rnasuknya peralatan pelayanan kesehatan yang canggih, yang memerlukan tenaga kesehatan yang profesional untuk mengoperasikan peralatan canggih tersebut. Bukan hanya sekedar mengoperasikannya, tetapi juga mernperbaikinya kalau rusak. Tidak sedikit peralatan canggih yang didatangkan dari luar negeri di pelbagai instansi yang nongkrong karena tidak ada yang dapat mengoperasikannya atau rusak dan ;tidak ada yang dapat rnemperbaikinya. Ketergantungan pada peralatan pelayanan kesehatan canggih dapat rnenghambat pelayanan kesehatan.

Apa yang dapat disimpulkan dari apa yang diuraikan di atas ialah, bahwa yang perlu mendapat perhatian dalam kita menghadapi gIobalisasi di bidang pelayanan kesehatan ialah:
1. meningkatkan sumber daya manusia dengan:
-menyesuaikan kurikulum pendidikan dengan perkembangan teknologi
-studi Ianjut atau penataran bagi tenaga pelayanan kesehatan
-mendidik teknisi untuk dapat mengoperasikan dan memperbaiki peralatan
pelayanan kesehatan yang canggih
2. perlu diwaspadai dan dicegah adanya pengangguran khususnya dilingkungan tenaga pelayanan kesehatan
3. Pemerintah perlu mengadakan proteksi khususnya bagi tenaga pelayanan kesehatan

Yogyakarta, 12 Januari 1996

ACUAN Ameln, Fred -, Hukum Kesehatan , Suatu pengantar
Regan, M.D., LLB., Louis J.-, Doctor and Patient and the Law
Veronica Komalawati, S.H. MH., D -, Hukum dan Etika dalam Praktek Dokter

sumber : http://sudiknoartikel.blogspot.co.id



Read More
Malpraktek pada Pengobatan Tradisional Jenis Chiropraktek

Malpraktek pada Pengobatan Tradisional Jenis Chiropraktek

oleh Estomihi Simatupang
Mahasiswa Fakultas Hukum Univ. Mpu Tantular

Kasus malraktek pada Klinik Pengobatan Tradisional jenis chiropraktek harus dilihat dari perbuatan yang dilakukan oleh klinik tersebut apakah masuk dalam ranah hokum perdata atau hokum pidana atau mungkin pelanggaran terhadap hokum perdata dan pidana. Sehingga penyelesaiannya dapat ditentukan apakah melalui Badan Penyelesain Sengketa Konsumen atau secara perdata dan pidana pada peradilan umum atau secara pidana pada kepolisian dan kejaksaan.

Maka dengan ini akan diuraikan perbuatan-perbuatan yang mempunyai akibat hukum bila dilakukan oleh Klinik Pengobatan Tradisional Jenis Chiropraktek sebagai berikut : Praktek Ilegal (Tanpa Ijin) pada Klinik Pengobatan Tradisional jenis chiropraktek merupakan perbuatan melawan hukum

Pengertian malpraktek adalah sebuah praktek buruk dari seseorang yang memegang suatu profesi baik yang dilakukan secara sengaja ataupun kelalaian. Klinik Pengobatan Tradisional Chriopraktek merupakan pengobatan tradisional sebagaimana chiroterapi merupakan salah satu pengobatan secara tradisional yang terdapat dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 1076 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional. Dalam Bab IV Pasal 9 Peraturan Menteri Kesehatan No. 1076 Tahun 2003 tentang penyelenggaraan kesehatan diwajibkan untuk memiliki Surat Ijin Pengobat Tradisional (SIPT).

Praktek Pengobatan Tradisional Chriopraktek dengan tidak memiliki ijin praktek jelas merupakan perbuatan melawan hokum . Maka dengan demikian Pengobatan Tradisional Chriopraktek yang tidak memiliki ijin telah melakukan perbuatan melawan hokum dengan tidak memiliki hak dan wewenang untuk melakukan praktek pengobatan tradisional dalam hal ini melakukan praktek illegal sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 1076 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional.

Praktek Ilegal (Tanpa Ijin) pada Klinik Pengobatan Tradisional jenis chiropraktek dapat berakibat Malpraktek Pidana

Praktek Klinik Pengobatan Tradisional jenis Chriopraktek yang dilakukan tanpa Ijin bukan merupakan malpraktek kedokteran karena tidak memeuhi unsure-unsur dalam malpraktek kedokteran. Dan Malpraktek yang terjadi pada Klinik Pengobatan Tradisional jenis Chriopraktek merupakan malpraktek pengobatan tradisional yang dapat menjadi malpraktek pidana jika telah memenuhi unsur-unsur pidana.

Yang mana dalam unsur-unsur tindak pidana tersebut antara lain :

1. Syarat sikap batin,

Syarat sikap batin ini telah terpenuhi unsurnya dengan adanya kesengajaan dan kelalaian untuk mengurus Surat Ijin Pengobatan Tradisional (SIPT) sehingga melakukan praktek illegal.

2. Syarat dalam perlakuan medis,

Syarat dalam perlakuan medis ini telah terpenuhi adanya kesengajaan atau kelalaian dalam mengambilan tindakan terhadap pasien yaitu dengan melakukan tindakan diluar kemampuan dan ketrampilan sehingga menyebabkan kematian pasiennya.

3. Syarat dalam hal akibat.

Syarat ini telah terpenuhi yaitu Kealfaan yang menyebabkan kematian (pasal 359).
Praktek Ilegal (Tanpa Ijin) Pengobatan Tradisional Chiropraktek merupakan perbuatan melawan hokum yang mengakibatkan kerugian baik materiil maupun in materil.

Hak pasien untuk mendapatkan ganti rugi atas suatu wanprestasi , disamping didasarkan pada ketentuan hokum kesehatan sebagaimana diatur dalam pasal 58 UU No. 36 Tahun 2009 yang menentukan setiap orang untuk menuntut rugi terhadap seseorang yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian akibat pelayanan kesehatan yang diterimanya.

Dalam hal kerugian yang dialami pasien yang mengakibatkan kematian akibat praktek yang dilakukan oleh sebuah Klinik Pengobatan Tradisional Chriopraktek sebagaimana ditentukan oleh pasal 1243 KUHPerdata adalah :

Biaya (scaden) yaitu segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan 
Rugi (scaden) berkurangnya harta kekayaan kreditur akibat wansprestasi 
Bunga (interessen) yaitu keuntungan yang diharapkan tidak diperoleh karena adanya wansprestasi 

Melihat uraian tersebut diatas Malpraktek yang dilakukan oleh sebuah Pengobatan Tradisional Chriopraktek yang mengakibatkan meninggalnya pasien akibat kesengajaan maupun kelalaian telah memenuhi unsure-unsur tindak pidana dan unsure wanprestasi sebagaimana dalam KUHPerdata pasal 1365, Pasal 1366, pasal 1367 dan UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 pasal 58.

Read More
  Aspek Hukum Malpraktek Medis

Aspek Hukum Malpraktek Medis

  Aspek Hukum Malpraktek Medis

1.      Aspek Hukum Perdata
Hubungan dokter dengan pasien merupakan transaksi teraupetik yaitu hubungan hokum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak [1]. Berbeda dengan transaksi yang biasa dilakukan masyarakat, transaksi teraupetik memiliki sifat atau ciri yang berbeda dengan perjanjian pada umumnya, kekhususan terletak pada atau mengenai objek yang diperjanjikan.Hubungan hokum dokter dengan pasien dalam kontrak teraupetik membentuk pertanggung jawaban perdata malpraktek kedokteran.
Disamping melahirkan kewajiban bagi para pihak, hubungan hokum antara dokter dan pasien juga membentuk pertanggung jawaban hokum masing-masing. Bagi pihak dokter , prestasi berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu in casu berbuat salah atau keliru dalam perlakukan medis yang semata-mata dilakukan untuk kepentingan kesehatan pasien adalah kewajiban hokum yang sangat mendasar dalam perjanjian dokter dengan pasie (kontrak teraupetik) yang dalam Pasal 39 UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran disebut sebagai kesepakatan antara dokter atau dokter gigi dengan pasien.
Ukuran berbuat sesuatu secara maksimal dengan sebaik-baiknya harus berdasarkan pada standar profesi medis dan standar prosedur  atau bagi dokter atau yang dalam UU No. 29 Tahun 2004 tentang Prakter Kedokteran disebutkan dengan istilah”standar profesi dan standar operasional prosedur” (pasal 50 jo 51). Sementara dalam pasal 44 (1) disebut sebagai standar pelayana kedokteran atau dokter gigi yang isinya dibedakan menurut jenis dan starata pelayana kesehatan (ayat 2) . Standar pelayanan kedokteran dan dokter gigi lebih lanjut diatur dalam Peraturan Menteri (Ayat3)
.           Beban pertanggung jawaban dokter terhadap akibat malpraktek kedokteran karena wanprestasi lebih luas dari beban pertanggung jawaban karena perbuatan melawan hokum dari pasal 1236 jo 1239 BW, selain penggantian kerugian pasien juga dapat menuntut  biaya dan bunga. Wujud kerugian dalam wanprestasi pelayana dokter harus benar-benar akibat (causal verband) dari perlakuan medis yang menyalahi standar profesi kedokteran dan SOP.
            Apabila dalam perlakuan medis terdapat kesalahan dengan menimbulkan akibat kerugian  maka pasien berhak menuntut adanya penggantian kerugian berdasarkan perbuatan melawan hokum (Pasal 1365 BW). Dalam hal ini perlakukan medis dokter yang menyalahi standa profesi kedokteran dan SOP dapat masuk dalam kategori melawan hokum.

2.      Aspek Hukum Pidana
Malpraktek medis bisa bisa masuk lapangan hokum  pidana apabila memenuhi syarat-syarat tertentu dalam 3 aspek, yaitu :
a)   Syarat dalam sikap batin
Sikap batin adalah sesuatu yang ada dalam batin sebelum seseorang berbuat. Apabila kemampuan mengarahkan dan mewujudkan alam batin kedalam perbuatan-perbuatan tertentu yang dilarang, hal itu disebut kesengajaan. Namun apabila kemampuan berpikir , berperasaan, berkehendak itu tidak digunakan sebagaimana mestinya dalam hal melakukan suatu perbuatan yang pada kenyataannya dilarang, maka sikap batin tersebut dinamakan kelalaian (culpa). Jadi perbedaan antara kesengajaan dan kelalaian sebenarnya hanyalah dari sudut tingkatannya (graduasi belaka)
       
b)   Syarat dalam perlakuan medis
Yaitu syarat perlakuan medis yang menyimpang. Semua perbuatan dalam pelayanan medis  dapat mengalami kesalahan (sengaja atau lalai ) yang pada ujungnya menimbulkan malpraktek kedokteran apabila dilakukan secara menyimpang.

c)   Syarat mengenai hal akibat
Yaitu syarat mengenai timbulnya kerugian bagi kesehatan atau nyawa pasien. Akibat yang boleh masuk pada lapangan malpraktek medis harus akibat yang merugikan pihak yang ada hubungan hokum dengan dokter. Apakah malpraktek medis masuk dalam lapangan perdata atau pidana, penentu pada akibat. Sifat akibat dan letak hokum  pengaturannya menentukan kategori malpraktek kedokteran antara malpraktek pidana atau perdata.
Dalam hokum pidana akibat merugikan yang masuk dalam ranah hokum pidana apabila jenis kerugian tersebut masuk dalam rumusan kejahatan menjadi unsur tindak pidana akibat kematian dan luka yang merupakan unsur kejahatan pasal 359 dan 360 maka bila kelalaian/ culpa perlakukan medis terjadi dan mengakibatkan kematian atau luka sejenis yang ditentukan dalam pasal ini maka perlakuan medis masuk kategori malpraktek pidana.

Ada perbedaan akibat kerugian oleh maplraktek perdata dengan malpraktek pidana. Kerugian karena malpraktek perdata lebih luas dari malpraktek pidana. Akibat-akibat malpraktek perdata khususnya termasuk perbuatan melawan hokum terdiri atas kerugian materiil dan idiil. Bentuk-bentuk kerugian tidak dimuat secara khusus dalam UU. Akibat malpraktek kedokteran yang menjadi tindak pidana harus berupa akibat yang sesuai yang ditentukan dalam UU.
Malpraktek pidana yang sering terjadi akibat tindakan medis antara lain :
a.       Penganiayaan (mishandeling)
Malpraktek medis dapat menjadi penganiayaan jika ada kesengajaan , baik terhadap perbuatan maupun akibat perbuatan.  Pembedahan tanpa informed consent termasuk penganiayaan. Sifat melawan hukumnya terletak pada tanpa informed consent sehingga jika ada informed consent maka pembedahan secara penganiayaan kehilangan sifat melawan hokum. Informed consent merupakan dasar peniadaan pidana, sebagai alasan pembenar, bukan alasan pemaaf.
      Selain itu, alasan pembenar pembedahan sebagai penganiayaan juga terletak pada maksud dan tujuannya, yakni untuk mencapai tujuan yang patut. Arrest HR (10-2-1902) dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa “jika menimbulkan luka atau sakit pada tubuh bukan menjadi tujuan melainkan sarana belaka untuk mencapai suatu tujuan yang patut maka tidak ada penganiayaan [2].  Dengan demikian sebaliknya, walaupun mendapatkan informed consent jika untuk mencapai tujuan yang tidak patut maka pembedahan merupakan penganiayaan.
      KUHP membedakan lima macam penganiayaan, yakni bentuk standar, atau sering disebut sebagai bentuk pokok (pasal 351) atau biasa ; penganiayaan ringan (pasal 352); penganiayaan berencana (pasal 353); penganiayaan berat (pasal 354) dan penganiayaan berat berencana pasal (355). Unsur-unsur yang harus dibuktikan meliputi :
                                                                    i.            Adanya kesengajaan
                                                                  ii.            Adanya wujud  perbuatan
                                                                iii.            Adanya akibat perbuatan
                                                                iv.            Adanya causa verband antara wujud perbuatan dan timbulnya akibat yang terlarang.

b.      Kealpaan yang menyebabkan kematian
Pasal 359 KUHP dapat menampung semua perbuatan yang dilakukan yang mengakibatkan kematian. Dimana kematian bukanlah dituju atau dikehendaki. Disamping adanya sikap culpa harus ada tiga unsur lagi yang menyebabkan orang lain mati yaitu :
                                                                                i.            Harus adanya perbuatan
                                                                              ii.            Adanya akibat berupa kematian
                                                                            iii.            Adanya causa verband antara wujud perbuatan dengan akibat kematian.
Khusus dalam mencari causal verband antara tindakan medis dengan akibat yang timbul sesudah tindakan medis dilakukan digunakan ilmu kedokteran sendiri. Tidak cukup dengan akal orang awam, tetapi harus menggunakan ilmu kedokteran.
c.       Kealpaan yang menyebabkan luka-luka
Selain pasal 359 KUHP, pasal 360 KUHP juga sudah lazim digunakan untuk mendakwa dokter atas dugaan malprakek kedokteran, selanjutnya pasal 359 jika ada kematian dan pasal 360 jika ada luka.
Unsur-unsur dalam pasal 360  ayat 1 yakni :
                                                                                i.            Adanya kelalaian
                                                                              ii.            Adanya wujud perbuatan
                                                                            iii.            Adanya akibat luka berat
                                                                            iv.            Adanya hubungan causal antara luka berat dengan wujud perbuatan
Unsur-unsur dalam pasal 360  ayat 1 yakni :
                                                                                i.            Adanya kelalaian
                                                                              ii.            Adanya wujud perbuatan
                                                                            iii.            Adanya akibat : 1) yang menimbulkan penyakit, 2) luka yang menjadikan halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu.

                                                                            iv.            Adanya hubungan causal antara luka berat dengan wujud perbuatan
 Sama halnya dengan pasal 359, tindak pidana ini juga merupakan tindak pidana materiil berupa tindak pidana dimana timbulnya akibat oleh perbuatan sebagai syarat selesainya tindak pidana.

3.      Aspek Hukum Administrasi

Dari sudut hokum, pelanggaran hokum administrasi kedokteran merupakan sifat melawan hokum perbuatan malpraktek. Hukum Administrasi Kedokteran  UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran , menentukan beberapa syarat bagi dokter untuk menjadi wewenang menjalankan praktek. Syarat prakter tersebut adalah :
                                                          i.            Memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) Dokter atau Dokter gigi (pasal 29)
                                                        ii.            Khusus dokter lulusan luar negeri yang praktek di Indonesia atau dokter asing dapat diberikan Surat Tanda Registrasi (pasal 30)
                                                      iii.            Memiliki Surat Izin Praktek (SIP)  (pasal 36 jo 37)
Untuk ahli spesialis , ada peraturan menteri kesehatan no. 561/Menkes/Per/X/1981 tentang pemberian ijin menjalankan pekerjaan dan ijin praktek bagi dokter spesialis.
Tindak pidana malpraktek medis bermula dari pelanggaran hokum administrasi. Pelanggaran hokum administrasi yang menjadi tindak pidana praktek medis, potensial menjadi malpraktek pidana sekaligus malpraktek perdata. Setiap malpraktek pidana sekaligus mengandung unsur malpraktek perdata. Tetapi malpraktek perdata tidak selalu menjadi malpraktek pidana.



DAFTAR PUSTAKA

  Dr. Veronica Komalawati, S.S.,M.H. Persetujuan Dalam Hubungan Dokter Dan Pasien. Bandung, 1999.

Drs. H. Adami Chazawi, S.H. Malpraktik kedokteran. Bayumedia Publising Malang, 2007.
J. Guwandi, S.H. Hukum Medik FKUI. Jakarta, 2004.
KEMENKES RI. N0. 1076/MENKES/SK/VII/2003.
KUHP, KUHPer.
Rinanto Suryadhimartha, S.H.,M.Sc. Hukum Malpraktik Kedokteran. Yogyakarta, Totalmedia 2011.
UU No. 29 Tahun 2009. Tentang Praktik Kedokteran.


[1] Bahder Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Rineka Cipta, Jakarta ,2005, hlm 11
[2] Soenarto soerodibroto, 1994, KUHP dan KUHAP dilengkapi dengan prudensi mahkamah agung dan hoge raad, penerbit PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, hl. 212



Read More