Takut akan Tuhan adalah Permulaan Pengetahuan

Istilah-istilah dalam Ketenagakerjaan

Istilah-istilah dalam Ketenagakerjaan

Istilah-istilah dalam Ketenagakerjaan
Sebelum mempelajari lebih jauh mengenai hukum ketenagakerjaan, ada baiknya lebih dahulu dipahami beberapa istilah dalam ketenagakerjaan agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam pengertian. Berikut ini adalah istilah-istilah berdasarkan UU Ketenagakerjaan yang umum dijumpai dan perlu diketahui.
a.       Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
b.      Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
c.       Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
d.      Pengusaha adalah :
1.      orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
2.      orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
3.      orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan 2 yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
e.       Perusahaan adalah :
1.      setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
2.      usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
f.        Tenaga kerja asing adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.
g.       Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.
h.      Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
i.         Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
j.         Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan


Read More
Pemutusan Hubungan Kerja

Pemutusan Hubungan Kerja

Berakhirnya suatau hubungan kerja bisa terjadi secara otomatis pada saat jangka waktu hubungan kerja yang ditentukan olehpara pihak buruh atau pekerja dengan pihak pengusaha. Di sini perjanjian kerja untuk waktu tertentu telah berakhir secara otomatis tau demi hukum. Dalam hal berakhirnya hubungan kerja diputuskan oleh pihak ketiga yaitu mediator, konsiliator, arbiter, atau hakim, jika para pihak memperselisihkan pemutusan hubungan kerja itu. Berakhirnya hubungan kerja juga bisa merupakan hasil perundingan atau kesepakatan dari kedua belah pihak yang bersepakat mengakhiri hubungan kerja.
       Berdasarkan jenis-jenis pemutusan hubungan kerja tersebut di atas, dapat dibagi dalam beberapa golongan, yaitu :
1.      Hubungan kerja putus demi hukum
Hubungan kerja putus demi hukum yang terjadi di dalam hubungan kerja yang diadakan untuk waktu tertentu. Apabila hubungan kerja berlangsung sampai waktu yang diperjanjikan, maka hubungan kerja akan berakhir demi  hukum dengan lewatnya waktu tersebut.
        Perjanjian kerja untuk waktu tertentu didasarkan atas jangka waktu tertentu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu. Jangka waktu tetentu perjanjian kerja, misalnya adalah 1 (satu) tahun atau 10 (sepuluh) bulan, sesudah 1 (satu) tahun atau 10 (sepuluh) bulan perjanjian dimaksud otomatis berakhir. Demikian pula selesainya suatu pekerjaan dalam perjanjian kerja merupakan berakhirnya suatu pekerjaan mengakhiri lamanya perjanjian kerja secara otomatis. Dalam hal hubungan kerja berakhir demi hukum, dimaksudkan bahwa hubungan kerja tersebut akan berakhir dengan sendirinya dan untuk itu tidak perlu ada perbuatan hukum tertentu, misalnya harus membayar pesangon. Kecuali jika pengusaha atau buruh/pekerja mengakhiri hubungan kerja kontrak sebelum masa kointrak berakhir, maka mereka harus membayar sisa kontrak kepada buruh/pekerja atau kepada pengusaha. Dalam hal alasan pemutusan hubungan dilakukan oleh pengusaha berdasarkan alasan pencurian atau penggelapan milik perusahaan, maka ia tidak berhak atas sisa kontrak dimaksud.
baca juga : Hak Mogok
2.      Hubungan kerja yang diputuskan oleh buruh/pekerja, hal ini terjadi melalui pengundurn diri pekerja
Berbeda dengan hubungan kerja yang diputuskan oleh pengusaha ataupun yang diputuskan oleh pengadilan. Pekerja berhak untuk mempunyai hak untuk pesangon dan hak lainya sesuai dengan ketentuan atau berdasarkan putusan pengadilan setelah memeriksa perselisihan pemutusan hubungan kerja yang terjadi. Karena itu buruh atau pekerja tidak berhak mendpatkan pesangon, akan tetapi berhak atas uang penghargaan masa kerja sesuai masa kerjanya.
3.      Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha karena pekerja dianggap mengundurkan diri
Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja dengan alasan bahwa pekerja dianggap mengundurkan diri. Di sini pekerja dianggap mengundurkan diri, jika pekerja telah mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis, dan pekerja tersebut telah di panggil 2 (dua)kali secara patut. Dalam hal pekerja dianggap mengundurkan diri tersebut, maka ia berhak atas uang penghargan masa kerja dan uang pisah yang besarnya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
4.      Hubungan kerja yang diputuskan oleh pengusaha
Dalam hal menyebabkan pengusaha memutuskan hubungan kerja tersebut, misalnya pekerja melakukan kesalahan berat atau kesalahan ringan, tanpa kesalahan. Pemutusan hubungan kerja oleh pihak pengusaha, karena itu ia berhak mendapatkan uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja sesuai masa kerjanya. Uang pesangon di sini dimaksudkan sekedar untuk biaya penyambung hidupnya selama pekerja belum mendapatkahn pekerjaan yang baru. Besarnya pesangon serta hak-hak lainya ditentukan oleh kedua belah pihak berdasarkan hasil perundingan secara musyawarah untuk mufakat. Berat ringannya kesalahan pekerja menentukan besar kecilnya pesangon yang diterima pekerja atau buru. Bahkan keabsahn suatu pemutusan hubungan kerja di sini ditentukan oleh hasil pemufakatan antara para pihak tanpa campur tangan pihak ketiga.
5.      Hubungan kerja yang diputuskan oleh pengadilan
Terutama terjadi sehubungan dengan adanya alasan penting yaitu kondisi dan situasi yang menyebabkan hubungan kerja tidak dapat berlangsung terus. Sedang para pihak buruh/pekerja berikeras tidak mau diakhiri hubungan kerjanya, atau masih terjadi perbedaan pendapat tentang besarnta pesangon yang seharusnya dibayarkan oleh pengusaha. Dalam hal ini harus diputuskan oleh pengadilan hubungan industrial menyangkut dapat atau tidak dapatnya pesangon, besar kecilnya pesangon serta hak-hak lainya, dan keabsahan pemutusan hubungan kerja dimaksud.
6.      Pemutusan hubungan kerja karena terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan, atas kemauan pengusaha atau pekerja/buruh
Jika pemutusan hubungan kerja itu atas kemauan pengusaha akibat perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan, maka buruh (pekerja) mendapatkan pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan. Sedangkan jika pemutusan itu atas kemauan buruh (pekerja) akibat perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan, maka buruh (pekerja) maka mereka berhak atas pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan.
7.      Pemutusan hubungan kerja karena kerugian terus-menerus selama 2 (dua) tahun atau I force majur
Jika pemutusan hubungan kerja itu karena perusahan rugi terus menerus selama 2 (dua) tahun ataau force majeur, maka buruh/pekerja berhak atas pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan. Sebaliknya jika bukan disebabkan kerugian terus menerus atau force majeur tetapi disebabkan oleh kebijakasanaan pengusaha untuk melakukan esfiensi, maka buruh/pekerja berhak atas pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan.
8.      Pemutusan hubungan kerja karena perusahaan mengalami pailit
Perusahaan yang jatuh mengalami pailit dapat memutuskan hubungan kerjanya terhadap buruh/pekerja, dengan ketentuan bahwa buruh/pekerja berhak atas pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan
baca juga Bentuk Perjanjian Kerja Buruh Outsourcing
9.      Pemutusan hubungan kerja karena buruh/pekerja meninggal dunia
Ahli waris buruh/pekerja mendapat sejumlah uang yang besarntya sama dengan perhitungan 2 kali ketentuan pesangon sessuai ketentuan pasal 156 ayat (2), dan penggantian hak sesuai ketentuan pasal 156 ayat (4).
10.  Pemutusan hubungan kerja karena memasuki usia pensiun

Jika pengusaha membayar iuran pensiun kepada perusahaan pensiun maka buruh/pekerja tidak mendapat berhak uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja, tetapi berhak atas uang penggantian hak. Jika pensiun yang diterima buruh ternyata lebi kecil daripada jumlah pesangon 2 (dua) kali ketentuan pasal 156 (2) dan uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan pasal 156 (3) dan uang penggantian hak, maka selisihnya harus dibayar oleh pengusaha. Jika uang iuran pensiun dibayar oleh buruh dan pengusaha, maka yang diperhitungkan dengan uang pesangon adalah uang iuran yang dibayarkan oleh pengusaha. Jika pengusaha tidak mengikutsertakan program pensiun, maka pengusaha wajib memberikan kepada pekerja/buruh uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan pasal 156 (2),ditambah uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan pasal 156 (3), dan uang penggantian hak sesuai 156 (4). 


Read More
Hak Mogok

Hak Mogok

Meskipun mogok kerja adalah hak dasar pekerja, sebaliknya lock out sebagai hak pengusaha, sebagai pelaksanaan mogok kerja maupun lock out harus memnuhi ketentuan dan prosedur tertentu, yaiotu dilakukan secara sah,tertib, damai dan merupakan akibat gagalnya perundingan. Di samping itu, juga harus diperhatikan ketentuan mengenai larangan mengadakan mogok kerja/lock out bagi perusahaan yang melayani kepentingsn umum, keselamatan jiwa manusia (RS, Air bersih, listrik, telekomunikasi, minyak dan gas, kereta api).
Sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan, pekerja buruh wajib memberitahukannya secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Masa cooling periode ini benar-benar harus dimanfaatkan oleh pihak unutk berdamai, terutama untuk instansi yang berwenang di bidamng ketenagakerjaan harus berupaya mendamaikan para pihak yang bersengketa
baca juga Pemutusan Hubungan Kerja
Pemberitahuan tersebut harus berisi sekurang-kurangnya mengenai hal-hal sebagai berikut :
1.      Waktu (hari,tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja,
2.      Tempat mogok kerja
3.      Alasan dan sebab-sebab harus melakukan mogok kerja dan
4.      Tanda tangan ketua dan skretaris dan/atau masing-masing ketua san skretaris serikat buruh/pekerja sebagai penangung jawab mogok kerja.

Dalam hal mogok kerja dilakukan oleh pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat buruh/pekerja,maka pemberitahuan dimaksud ditandatangani oleh perwakilan oleh pekerja/buruh yang ditunjuk sebagai kordinator dan/atau penanggung jawab mogok kerja. Instansi pemerintah dan pihak perusahaan yang menerima surat pemberitahuan mogok kerja tersebut wajib memberikan tanda terima, dan sebelum atau selama mogok kerja berlangsung instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan wajib menyelesaikan masalah yang menyebabkan timbulnya pemogokan dengan mempertemukan dan merundingkannya dengan para pihak yang berselisih.  Dalam hal perundingan tersebut menghasilkan kesepakatan, maka harus dibuatkan perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak yang berselisih dan pegawai yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagai saksi,.dalam hal perundingan dimaksud tidak menghasilkan kesepakatan, maka pegawai yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadi nya mogok kerja tersebut kepada pengadilan hubungan industrial.

Read More
Perselisihan hubungan industrial

Perselisihan hubungan industrial

Prof. Iman soeopomo menyebutkan dua bentuk perselisihan yang mungkin terjadi dalam suatu hubungan kerja.
1.      perselisihan hak (rechtsgeschillen). yaitu jika masalah yang dipermasalahkan termasuk bidang hubungan kerja, maka yang diperselisihkan adalah mengenai hal yang telah diatur atau ditetapkan dalam suatu perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama, peraturan perusahaan, atau dalam suatu peraturan perundang-undangan. Suatu perselisihan hak bisa terjadi karena perbedaan pelaksanaan suatu aturan, dan perbedaan perlakan terhadap suatu aturan, atau perbedaan penafsiran terhadap suatu aturan.
2.      perselisihan kepentingan (belangeng eschilen), yaitu tidak adanya persesuaian paham mengenai perubahan syarat-syarat kerja dan/atau keadaan perburuhan, biasanya berupa tuntutan perubahan atau perbaikan syarat-syarat kerja dan/atau keadaan perburuhan.misalnya dalam pembaruan suatu perjanjian kerja bersama, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja. Tuntutan kenaikan upah, tuntutan diberikanya tunjangan kemahalan, tujangan anak dan sebagainya yang sebelumnya tidak diatur dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama di perusahaan yang bersangkutan.
baca juga : Pengertian Ketenagakerjaan, Tenaga Kerja, Pekerja/Buruh, Hubungan Kerja
     Sebenarnya jika kita telah, hanya ada 2 (dua) jenis perselisihan perburuhan, yaitu perselisihan perburuhan, yaitu perselisihan hak dan perselisihan kepentingan. Perselisihan pemutuan hubungan kerja sebenarnya masuk kategori sebagai akibat atau konsikuensi dari terjadinya pelanggaran suatu peraturan perundangan, atau tidak dilaksanakannya suatu aturan oleh pengusaha atau oleh buruhnya sendiri, atau serikat pekerja. Misalnya buruh tidak bersedia dipecat oleh pengusaha, karena buruh melanggar ketentuan tentang larangan kewajibannya untuk merokok ditempat kerja sebagaimana diatur dalam peraturan perusahaan dengan ancama pemutusan hubungan kerja.sedangkan perselisihan antara serikat buruh yang satu degan serikat buruh yang lain tidak termasuk pengertian perselisishan hubungan industrial kaena mereka tidak mempunyai hubungan kerja.
     Lebih lanjut di dalam UU Nomor 2 tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial (PPHI), menyebutkan :
a.       Perselisihan hak, yaitu perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Misalnya: berdasarkan perjanjian kerja upah buruh adalah Rp   10.000.000,- pada suatu saat ia dibayarkab upahnya sebesar Rp. 7.5000.000,- maka terjadilah perselisihan hak berupa tuntutan pembayaran upah Rp 2.500.000,- lagi. Dan segala tuntutan yang bersifat normatif,. Contoh lain misalnya serikat buruh menafsirkan ketentuan dalam perjanjian kerja bersama berhak cuti dengan upah penuh, sedangkan pengusaha menafsirkan ketentuan perjanjian kerja bersama buruh tidak berhak cuti dengan upah yang tetap dibayar.
b.      Perselisihan kepentingan, adalah perselisihan yang timbul dala hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan atau perjanjian kerja bersama. Misalnya: tuntutan serikat buruh akan kenaikan upah sebesar 50% atau tuntutan buruh akan tunjangan anak isteri, dan lain sebagainya.
c.       Perselisihan pemutusan, hubungan kerja, yaitu perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak. Misalnya: buruh menolak untuk diputuskan hubungan kerjanya, karena pesangonya tidak sesuai dengan ketentuan hokum yang berlaku atau nilainya masih lebih rendah daripada perhitungan undang-undang.
d.      Perselisihan antar serikat pekerja, sebagai perselisihan anatar serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lainya hanya dalam satu perusahaan, karena tidak ada kesesuaian pendapat mengenai keanggotaan, pelaksaan hak dan kewajiban keserikatpekerjaan. Misalkan: perselisihan antar serikat pekerja/buruh menyagkut siapa diantara mereka yang berhak mewakili kaum buruh/pekerja menghadapi pengusaha dalan perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama.
     Perbedaan pengertian perselisihan perburuhan tersebut dimaksudkan untuk membedakan kewenangan lembaga perselisihan dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.
1.      mediasi diberi mencakup perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/buruh di dalam suatu perusahaan.
2.      konsiliasi diberi wewenang menyelesaikan 3 (tiga) macam perselisihan hubungan industrial, yaitu : perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/buruh di dalam suatu perusahaan.
3.      arbitrase diberi kewnangan menyelesaikan  2 (dua) macam perselisihan hubungan industrial, yaitu : perselisihan kepentingan, dan perselisihan anatar serikat pekerja/buruh di dalam suatu perushaan.
4.      Pengadilan hubungan industrial dan mahkamah agung republik indonesia diberi kewenanan menyelesaikan 4 (empat) macam perselisihan hubungan industrial, yaitu mencakup perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hbungan kerja, dan perselisihan antar serikat pkerja/buruh di dalam suatu perusahaan.
Secara teoretis ada tiga model hubungan industrial, menurut bram peper dan reynert, yaitu :
1.      Harmonie arbeidsoverhoudingen model ditandai dengan tingakat konsesus yang tinggi dan tingkat kopnflik yang rendah dimana semua permasalahan sedapat mungkin diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat (konsensus).
2.      Coalitie arbeidsoverhoudingen model ditandai dengan tingkat konsensus yang sedang dan tingkat konflik yang sedang pula. Semuas permasalahan perburuhan model  ini deiselesasikan secara konsesnsus terlebih dahulu dan jika ternyata tidak dapat terselesaikan, maka akan diselesaikamn secara konflik.
3.      Conflict arbeidsoverhoudingen model ditandai dengan tingkat konsensus yang rendah dan tingkat konflik yang tinggi. Dalam model ini konflik menjadi titiktolak penyelesaian perselisihan yang terjadi.

Dari ketiga model tersebut indonesia mnganut model yang kedua yaitu calitie arbeid verhodingen model, karena semua permasalahan hubungan industrial di selesaikan secara musyawarah untuk mufakat terleih dulu baru kemudian dislesaikan secara konflik.
 Perselisihan yang terjadi pada awalnya diselesaikan oleh para pihak sendiri secara musyawarah untuk mufakat. Apabila tidak terselesaikan secara demikian, maka perselisihan ini memerlukan bantuan pihak ketiga untuk menyelesaikannya. Dalam hal ini terdapat 2 (dua) sistem penyelesaian perselisihan melalui pihak ketiga.
1.      Pertama penyelesaian perselisihan mellui pengadilan. Mekanisme ini dipilih oleh para pihak yang berselisish, karena mereka ingin memenangkan perkara ini.
2.      Kedua, penyelesaian perselisihan di luar pengadilan. Pilihan penyelesaian perselisihan diluat pengadilan yang dikenal dngan penyelesaian yang merupakan cara penyelesaian yang banyak dipilih oleh pihak-pihak, karena alasan tertentu, seperti waktu yang cepat dan biaya yang relatif rendah. Di samping itu, penyelesaian di luar pengadilan ini dilatarbelakangi pemikiran bahwa ia menginginkan penyelesaian yang cepat biar hasilnya agak lonjong tidak bulat betul.
baca juga Hak Mogok
Proses penyelesian perselisihan oleh pihak ketiga diluar pengadilan dalam hal ini melalui :
1.      Konsialiasi, yaitu suatu proses penyelesaian perselisiohan yang melibtatkan pihak ketiga yang netral, pilihan para pihak yang beselisisih, yang mebantu pihak-pihak yang berselish untuk mencari jalan penyelesaian perselisihan yang terjadi secara win win solution.hasil konsiliasi di sini berupa perjanjian/kesepakatan yang dicapai para pihak melalui perantaraan konsiliator. Jika tidak tercapai kesepakatan, maka konsiliator mengeluarkan putusan yang bersifat anjuran (non-binding recomendation).pelaksanaan putusan konsialisasi ini dilakukan oleh para pihak berdasarkan kesepakatan para pihak.
2.      Mediasi, yaitu suatu proses penyelesaian perselisihan yang melibatkan pihak ketiga yang berperan sebagai perantara untuk mempertemukan kedua pihak yang berselisih. Proses penyelesaian perselisihan yang melibatkan pihak ketiga yang netral, pilihan para pihak yang berselisih, yang membantu pihak-pihak yang berselisih untuk menari jalan penyelesaian perselisihan yang terjadi secara win win solution. Hasil mediasi di sini berupa perjanjian para pihak yang bersekisih, sedangkan mediator di sini berperan sebagai saksi dalam perjanjian perdamaian. Pelaksanaan perjanjian perdamaian mediasi ini dilakukan oleh para pihak bnerdasarkan kesepakatan para pihak. Apabila negoisasi gagal menghasilkan penyelesaian maka mediator tampil menengahi/memperantarai para pihk yang berselisih. Di sini mediator menetapkan suatu putusan yang bersifat anjuran. Artinya pelaksanaan putusan mediator terserah para pihak.
3.      Arbitrase, yaitu proses penyelesaian perselisihan yang melibatkan pihak ketiga yang netral, berdasarkan kesepakatan pihak-pihak yang berselisih. Keputusan yang dibuat oleh arbiter ini adalah bersifat final dan mengikat pihak-pihak yang berselisih berdasarkan perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak yang berselisih sebelum perkara ini diselesaikan oleh arbiter. Dasar putusannya adalah secara ‘’win win solution’’.
Mediator, yang dimaksud dalam UU tersebut adalah pegawai negeri sipil di bidang ketenagakerjaan, yang memnuhi syarat sebagai mediator dan ditetapkan oleh menteri tenaga kerja untuk melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/buruh hanya dalam satu perusahaan.
Konsiliator, sesorang atau lebih yang memnuhi syarat dan ditetapkan oleh menteri tenaga kerja untuk melakukan konsiliasi. Pada awalnya, konsiliator mempertemukan para pihak yang berselisih untuk berunding menganai permasalahannya, jika tahap ini berhasil maka para pihak melaksanakan apa yang telah diperjanjikan dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/buruh hanya dalam satu perusahaan.
Arbiter, sesorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang berselisih,dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh menteri untuk memberikan putusan mengenai perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/buruh hanya dalam satu perusahaan yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.


Read More
Bentuk Kebijakan Pengupahan

Bentuk Kebijakan Pengupahan

Adapun bentuk kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh diatur dalam ketentuan pasal 88 ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
  • Upah minimum;
  • Upah kerja lembur;
  • Upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
  • Upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain diluar pekerjaanya;
  • Upah karena menjalankan hak dan waktu istirahat kerjanya;
  • Bentuk dan cara pembayaran upah;
  • Denda dan potongan upah;
  • Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
  • Struktur dan skala pengupahan yang propesional;
  • Upah untuk pembayaran pesangon;
  • Upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
baca juga Pengertian Upah
Bentuk perlindungan upah yang pertama adalah upah minimum pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksdu dalam ayat (3) huruf a berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.

Read More
Pengertian Upah

Pengertian Upah

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 30 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi pekerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan,atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.


Upah adalah salah satu sarana yang digunakan oleh pekerja untuk meningkatkan kesejahteraannya. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 31 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 disebutkan bahwa kesejahteraan pekerjaa/buruh adalah suatu pemenuhan kebutuhab dan/atau keperluan yang bersifat jasmaniah. Dan rohaniah, baik dalam maupun luar hubungan kerja, yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempertinggi produktivitas kerja dalam lingkungan kerja yang aman dan sehat.

Berdasarkan ketentuan Pasal 88 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, dijelaskan bahwa setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusia. Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah menetapkan kebijakan pengupayahan melindungi pekerja/buruh.

Dasar dari pemberian upah adalah waktu kerja. Berdasarkan ketentuan Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomo 13 Tahun 2003 djileskan bahwa setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentian waktu kerja. Adapun ketetuan waktu kerja diatur dalam Pasal 77 (2) undang-undang No 13 Tahun 2003, yaitu
  1. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk ke 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
  2. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk ke 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu
Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku bagi sector usaha atau pekerjaan tertentu. Ketentuan mengenai waktu kerja pada sector atau pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan keputusan Menteri.


Read More
Legalitas Outsourcing Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

Legalitas Outsourcing Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

Dalam memutus permohonan uji materi UU, MK tidak hanya menyatakan isi UU bertentangan dengan UUD 1945. Selain memberi status baru atas isi UU, berwenang memberi penafsiran atas ketentuan atau frasa tertentu, sekaligus membuat norma baru. Dalam putusan No. 27/PUU-X/2011 MK tidak sekadar menyatakan pasal 65 ayat (7) dan pasal 66 ayat (2) huruf (b) UU No. 13 tahun 2003 bertentangan dengan UUd 1945. Pada amar ke tiga MK membuat norma baru.
   Untuk memberi pemahaman yang sama kepada aparatur pemerintah yang membidangi ketenagakerjaan di seluruh indonesia, terkait putusan MK no. 27/PUU-IX/2011, Dirjen PHI dan jamsos kementerian tenaga kerja dan transmigrasi (kemenkertans) menerbitkan surat edaran (SE) No. B.31/PHIJSK/I/2012. Substansi SE selengkapnya sebagai berikut :
a.       Apabila dalam perjanjian kerja antara perusahaan penerima pemborongan pekerjaan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruhnya tidak memuat adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekrja/buru yang objek kerjanya tetap  (sama), kepada perusahaan penerima pemborongan pkerjaan lain atau perusahaan penyedia jasa/buruh lain, maka hubungan kerja antara perusahaan penerima pekerjaan borongan atau perusahan penyedia jasa pekrja/buruh dengan pekrja/buruh harus didasarkan pada perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).
b.      Apabila dalam perjanjian kerja antara perusahan penerima pemborongan pekrjaan pekerjaan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruhnya memuat syarat adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi  pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada (sama), kepada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh lain, maka hubungan kerja antara perusahaan penrima pekrjaan borongan atau perusahaan penyedia jas pekerja/buruh dengan pekerja pekerja/buruhnya dapat didasarkan pada perjanjian kerja waktu tertentu.
baca juga Hak Mogok
Norma baru dalam putusan MK no. 27/PUU-IX/2011 bukan yang pertama dalam sejarah pengujian UU No. 13 tahun 2003. Dalam putusan No. 115/PUU-VII/2009 MK membuat norma baru terkait keterwakilan serikat pekerja/serikat buruh dalam perundingan perjanjian kerj a bersama (PKB). Norma dalam putusan MK itu sama penting dengan norma dalam putusan No. 27/PUU-IX/2011. Norma putusan MK tidak boleh berhenti di situ saja. UU tentang pembentukan peraturan perundang-undangan memerintahkan pewmbentuk UU mewujudakn putusan MK ke dalam perubahan UU ketenagakerjaan. Perubahan UU diperlukan untuk menciptkan kepastian hukum. Ketika norma baru putusan MK diwujudkan menjadi hukum positif maka hal itu akan menjamin keseragaman dalam mengimplementasikan hukum. Saat melakukan perubahan UU, kewajiban pembentuk UU sebaiknya mengadopsi norma ke dalam UU.
    Kebutuhan mendesak saat ini adalah mengubah UU ketenagakerjaan terutama yang berkaitan dengan putusan MK. Itu selain memperkuat perlindungan hak buruh outsorcing, perubahan UU sekaligus memperketat syarat perusahaan outsorcing sehingga perusahaan outsorcing nakal dan abal-abal tidak tumbuh. kebutuhan ini pararel dengan semangat putusan MK. Perusahaan outsorcing – penyedia jasa pekerja/buruh – harus memiliki modal uang yang besar,tidak cukup modal invoice dan perkawanan. perusahaan outsorcing yang memiliki modal kuat bisa dipastikan bekerja profesional sehingga bisa mencegah pelanggaran hak buruh. Perusahaan abal-abal cenderung berbuat curang dan bertindak seperti garong, menggelapkan dan mengurangi hak buruh dengan modus:
a.       Membayar upah buruh lebih rendah dari yang disetujui pemberi kerja (user);
b.      Tidak menyetor iuran jamsostek milik buruh.

Putusan MK. No. 27./PUU-VIII/2011. Merupakan sumber hukum penting dalan menata sistem outsorcing. Putusan MK itu memberi wawasan sistem kesadaran hukum baru bagi pengusaha dan pemerintah. Amar putusan MK bukan alasan tunggal memperbaiki sistem outsorcing. Pendapat MK sebagaimana diuraikan dalam pertimbangan hkum merupakan bagian tidak terpisahkan dari amar putusan sehingga substansi pertimbangan MK dapat dijadikan alasan mendorong perbaikan sistem outsorcing.


Read More
Legalitas Outsourcing di Indonesia

Legalitas Outsourcing di Indonesia

Outsourcing dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia diartikan sebagai pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa tenaga kerja, dan pengaturan hukum outsourcing di Indonesia diatur dalam:
a.       Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tanggal 25 Maret 2003 tentang Ketenagakerjaan
b.      Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: Kep-100/Men/VI/2004 tanggal 21 Juni 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
c.       Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: Kep-101/Men/VI/2004 tanggal 21 juni 2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh
d.      Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : Kep-220/Men/X/2004 tanggal 19 Oktober 2004 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain
baca juga Legalitas Outsourcing Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

Dalam Inpres No. 3 Tahun 2006 tentang paket Kebijakan Iklim Investasi disebutkan bahwa outsourcing sebagai salah satu faktor yang harus diperhatikan dengan serius dalam menarik iklim investasi ke Indonesia. Bentuk keseriusan pemerintah tersebut dengan menugaskan menteri tenaga kerja untuk membuat draft revisi terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.


Read More
Bentuk Perjanjian Kerja Buruh Outsourcing

Bentuk Perjanjian Kerja Buruh Outsourcing

Secara normatif, perusahan hanya dapat menyerahkan pekerjaan berikut ini kepaa perusahaan lain:
a.       Pekerjaan jasa kebersihan (cleaning service ) ;
b.      Jasa pengamanan ( security )
c.       Usaha penyediaan makanan ( catering ) ; dan
d.      Usaha jasa penunjang di sektor pertambangan dan minyak serta usaha penyediaan angkutan buruh.
Praktik outsrcing di indonesia tumbuh semakin subur setelah UU ketenagakerjaan diundangkan. UU ketenagakerjaan membolehkan pengusaha melakukan outsorcing terhadap pekerjaan dan tenaga kerja. Perusahan outsorcing sesuai hukum positif, dapat mempekerjakan buruh outsorcing dengan salah satu bentuk hubungan kerja berikut ini:
a.       Perjanjian kerja waktu tertentu ( PKWT ) ;
b.      Perjanjian kerja waktu tidak tertentu ( PKWTT );
Buruh outsorcing kembali mengajukan uji materi terhadap ketentuan outsorcing. Dalam putusan No. 27/ PUU-IX/2011 MK membatalkan frasa PKWT yang terdapat pada pasal 65 ayat (7) dan pasal 66 ayat (2) huruf b. Amar putusan MK memiliki dua sisi yang berbeda. Sisi pertama, putusan MK menyatakan hubungan kerja berupa PKWT tidak lagi mengikat di dalam perusahaan outsorcing. Di sisi ini, hubungan kerja outsorcing secara tersirat harus berbentuk PKWTT.  Sisi kedua , selain menyatakan frasa PWKT tidak mengikat, MK menyatakan boleh menggunakan PWKT sepanjang PWKT memuat syarat pengalihan perlindungan hak buruh bila objek kerjanya tetap ada.
baca juga Syarat Sahnya Suatu Perjanjian
Dalam praktik hubungan industrial ada fakta yang tidak bisa disangkal, yaitu hubungan kerja antara buruh dan perusahaan outsorcing dibuat dalam bentuk PWKT. Praktik outsorcing berlangsung tanpa batas. Perusahaan tertentu mempekerjakan buruh outsorcing mengerjakan bidang corebusiness perusahaan lain. Bahkan, untuk pekerjaan yang bersifat tetap, buruh outsorcing bekerja terus menerus dengan gonta ganti majikan.
Mengakhiri hubungan kerja buruh outsorcing selama ini, tampak sangat mudah. Hubungan kerja putus saat waktu dalam PWKT berakhir dan pada saat yang sama perusahaan outsorcing tidak wajib membayar uang pesangon. Kenyataan lain, bila perusahaan pengguna jasa buruh (user ) tidak puas dengan kinerja buruh, user mengembalikan buruh ke perusahaan outsorcing.
 Sistem outsorcing yang semakin terbuka membuka kesempatan pengusaha menyerahkan bidang pekerjaan yang bersifat terus menerus ke perusahaan outsorcing. Misalnya, pekerjaan pencatat meter listrik PLN, security, cleaning service, transport dan catering. Meskipun buruh kerja pada bidang pekerjaan yang sama dalam jangka panjang, buruh outsorcing bekerja dengan kontrak. Perusahaan penyedia jasa security selaku perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh, mempekerjakan security dengan PWK.
Perusahaan penyedia jasa tenaga security pasca putusan MK No. 27/PUU-IX/2011 harus mengubah bentuk hubungan kerja dengan security. Bila tetap menggunakan PWKT, diakhir kontrak, perusahan outsorcing harus membayar uang pesangon,. Bila merujuk pada putusan MK dan pasal 9 UU ketenagakerjaan, security merupakan pekerjaan yang bersifat tetap.
MK sudah dua kali mengadili permohonan seputar pembatalan ketentuan outsorcing. Permohonan pertama tergistrasi dengan No. 012/PUU-I/2003, dan yang kedua dengan register No. 012/PUU-I/2003 MK menyatakan sistem outsorcing bukan sistem perbudakan modren (modren slavery) dalam proses produksi. Karena itu, MK tidak membatalkan bagian apapun dari ketentuan outsorcing MK mengatakan, sistem outsorcing tidak bertentangan dengan konstitusi. Menurut MK, outsorcing sebagai kebijakan yang wajar dan relevan dengan efesiensi usaha. MK mendeskripsikan pertimbangannya sebagai berikut :.......... penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain mealui perjanjian pemborongan pekerjaan secara tertulis atau melalui perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh (perusahaan outsorcing) adalah kebijakan usaha yang wajar dari suatu perusahaan dalam rangka efesiensi usaha’’.

Dalam putusan No. 012/PUU-I/2003 dan no. 27/PUU-IX/2011-MK tidak mengatakan ketentuan outsorcing bertentangan dengan UUD 1945. MK hanya mengatakan frasa perjanjian kerja waktu tertentu (PWKT) dalam ayat (7) pasal 65 dan ayat (2) huruf b UU no.13 tahun 2003 tidak mengikat. Dengan demikian ketentuan outsorcing yang terdapat dalam UU ketenegakerjaan kecuali mengenai frasa PWKT tetap berlaku sebagai landasan hukum pengusaha melakukan outsorcing.

Read More