Takut akan Tuhan adalah Permulaan Pengetahuan

Pengertian Hukum Acara Perdata

Pengertian Hukum Acara Perdata

Hukum Acara Perdata atau disebut juga Hukum Perdata Formil yaitu semua kaidah hukum bagaimana untuk mempertahankan dan melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam Hukum Perdata Materil. 

Menurut Dr. Wirjono
Hukum Acara Perdata  adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan atau dimuka pengadilan dan bagaimana cara pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata

Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH, 
Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materill dengan perataraan hakim.

Menurut Abdul kadir Muhammad: 
Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang mengatur proses penyelesaian perkara perdata melalui pengadilan (hakim), sejak diajukan gugatan sampai dengan pelaksanaan putusan hakim

Menurut Prof.Subekti,
Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan hukum yg mengatur bgmn caranya menjamin ditaatinya hukum-hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim. Dengan kata lain mengatur bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya dan melaksanakan putusannya



Dihimpun dari berbagai sumber
Read More
Asas-asas Hukum Acara Perdata

Asas-asas Hukum Acara Perdata

  • Hakim Bersifat Menunggu
maksudnya ialah hakim bersifat menunggu datangnya tuntutan hak di ajukan kepadanya, kalau tidak ada tuntutan hak atau penuntutan maka tidak ada hakim. Jadi apakah akan ada proses atau tidak, apakah suatu perkara atau tuntutan hak itu akan di ajukan atau tidak, sepenuhnya di serahkan kepada pihak yang berkepentingan.(pasal 118 HIR, 142 Rbg.)
  • Hakim Pasif
hakim di dalam memeriksa perkara perdata bersikap pasif dalam arti kata bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang di ajukan kepada hakim untuk di periksa pada asasnya di tentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim.
  • Sifat Terbukanya Persidangan
sidang pemeriksaan pengadilan pada asasnya adalah terbuka untuk umum, yang berarti bahwa setiap orang di bolehkan hadir dan mendengarkan pemeriksaan di persidangan. Tujuannya ialah untuk memberi perlindungan hak-hak asasi manusia dalam bidang peradilan serta untuk lebih menjamin objektifitas peradilan dengan mempertanggung jawabkan pemeriksaan yang fair (pasal 19 ayat 1 dan 20 UU no.4 tahun 2004). Apabila tidak di buka untuk umum maka putusan tidak sah dan batal demi hokum.
  • Mendengar Kedua Belah Pihak
dalam pasal 5 ayat 1 UU no.4 tahun 2004 mengandung arti bahwa di dalam hokum acara perdata yang berperkara harus sama-sama di perhatikan, berhak atas perlakuan yang sama dan adil serta masing-masing harus di beri kesempatan untuk memberikan pendapatnya.
  • Putusan Harus Di Sertai Alasan-alasan
semua putusan pengadilan harus memuat alas an-alasan putusan yang di jadikan dasar untuk mengadili ( pasal 25 UU no 4 tahun 2004,) 184 ayat 1, 319 HIR, 195, 618 Rbg). Alasan-alasan atau argumentasi itu dimaksudkan sebagai pertanggungan jawab hakim dari pada putusanya terhadap masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi dan ilmu hokum, sehingga oleh karenanya mempunyai nilai objektif.
  • Beracara di Kenakan biaya
untuk beracara pada asasnya di kenakan biaya (pasal 3 ayat 2 UU no 4 tahun 2004, 121 ayat 4, 182,183 HIR, 145 ayat 4, 192-194 Rbg). Biaya perkara ini meliputi biaya kepaniteraan, dan biaya untuk pengadilan, pemberitahuan para pihak serta biaya materai.
  • Tidak ada keharusan mewakilkan
pasal 123 HIR, 147 Rbg tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan kepada orang lain, sehingga pemeriksaan di persidangan terjadi secara langsung terhadap para pihak yang langsung berkepentingan.


Read More
Sejarah Hukum Acara Perdata

Sejarah Hukum Acara Perdata

  • Perancang H.I.R adalah ketua Mahkamah Agung dan Mahkamah Agung Tentara pada tahun 1846 di Batavia, yakni Jhr. H.L. Wicher, seorang jurist bangsawan kenamaan pada waktu itu.
  • Pada tahun 1846 Ketua Mahkamah Agung (Hooggrerechtshof) Mr H.L Wichers tidak setuju hukum acara perdata bagi golongan Eropa digunakan untuk golongan Bumiputera tanpa berdasarkan perintah Undang-undang.
  • Hukum acara perdata yang digunakan di pengadilan Gubernemen bagi golongan Bumiputera untuk kota-kota besar di Jawa adalah RV (hukum acara bagi golongan Eropa) dan untuk luar kota-kota besar Jawa digunakan beberapa pasal dalam Stb 1819-20
  • Pada tangal 5 Desember 1846, Jhr. H.L. Wicher diberi tugas oleh Gubernur Jendral ( Gouverneur General) Jan Jacob Rochussen untuk merencanakan sebuah Reglemen tentang administrasi, polisi, acara perdata dan acara pidana bagi golongan Indonesia yang pada saat itu diberlakukan Staatblad (Lembaran Negara) 1819 No.20 yang memuat 7 pasal perihal hukum acara perdata.
  • Dalam waktu 8 bulan, Jhr. H.L. Wicher telah menyelesaikan rancangannya (tanggal 6 Agustus 1847). Diantara para hakim agung ada yang setuju dan ada pula yang menganggap rancangan tersebut terlalu sederhana, dan mereka ingin ditambah dengan lembaga : penggabungan, penjaminan, intervensi dan rekes sipil seperti yang terdapat dalam RV (Reglement op de Burgerlijke Rechtvordering)
  • Mr.H.L. Wichers tidak setuju atas penambahan tersebut dengan alasan antara lain : kalau ditambah-tambah menjadi tidak terang, dan bukan sederhana lagi;
  • R.V saja diberlakukan kalau maksudnya ingin lengkap.
  • Tanggal 5 April 1848 setelah melakukan perubahan dan penambahan maka rancangan itu ditetapkan dengan nama “ Inlandsch Reglement” disingkat ( I.R ) yang ditetapkan dengan Stb 1848- No.16 dan disahkan dengan firman Raja tanggal 29 September 1849 dengan Stb 1849-63, dan mulai berlaku tanggal 1 Mei 1948
  • Tahun 1927 diberlakukan RBg (Rechtsreglement voor de Buitengewesten) yaitu hukum acara perdata bagi golongan Bumiputera luar Jawa dan Madura. Sebelumnya berlaku peraturan tentang susunan Kehakiman dan kebijaksanaan Pengadilan àStb 1847 -23
  • Tahun 1941 terjadi perubahan nama IR menjadi HIR (Herzeine Indonesich Reglement) dengan Stb 1941-44 yang berlaku untuk Jawa dan Madura.
  • Dengan terjemahan yang telah dilakukan setelah negara Indonesia merdeka maka HIR disebut pula RIB singkatan dari Reglement Indonesia diperbaharui atau Reglemen Indonesia Baru
  • Pada saat ini dengan Pasal II Peraturan Peralihan UUD 1945 yang telah diamandemen yg ke 4 HIR dan RBg masih berlaku sampai saat ini.

Read More
Sifaf Hukum Acara Perdata

Sifaf Hukum Acara Perdata

Sifat Hukum Acara Perdata adalah bahwa inisiatif perkara ada pada penggugat yaitu seorang yang merasa haknya dilanggar dan menarik orang yang dirasa melanggar haknya itu sebagai tergugat dalam suatu perkara  kedepan hakim. Dalam hukum acara perdata bahwa orang yang merasa haknya itu dilanggar disebut sebagai penggugat sedang bagi orang yang ditarik kemuka pengadilan karena ia dianggap melanggar hak seseorang atau beberapa orang itu disebut tergugat. Hukum Acara Perdata memang mula-mula sifatnya mengatur namun apabila sudah digunakan, maka sifatnya menjadi memaksa.


Read More
Apa saja yang diatur dalam Hukum Acara Perdata ?

Apa saja yang diatur dalam Hukum Acara Perdata ?

  1. —Bagaimana cara pihak yang dirugikan mengajukan perkaranya ke pengadilan 
  2. —Bagaimana cara pihak yang diserang mempertahankan hak nya 
  3. —Bagaimana hakim bertindak terhadap pihak-pihak yang berperkara 
  4. —Bagaimana hakim memeriksa dan memutus perkara 
  5. —Bagaimana melaksanakan putusan hakim (eksekusi)

Read More
Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan Hukum Acara Perdata

Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan Hukum Acara Perdata

PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN HUKUM ACARA PERDATA
  1. KUHPdt
  2. KUHAPdt
  3. HIR (Herziene Indonesich Reglement) untuk wilayah Jawa-Madura
  4. RBg (RechtsReglement Buitengewestem) diluar Jawa-Madura
  5. UU No 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan Jawa dan Madura.
  6. UU No 1 Tahun 1974 tentang Pokok Perkawinan & PP.9/75 ,PP 45/90
  7. UU No. 14/1970 jo UU No.35 /99 jo UU No. 4 Tahun 2004 jo UU No. 48/2009 Ttg Kekuasaan Kehakiman 
  8. UU No.14/85 jo UU No. 5 Tahun 2004 jo UU No. 3/2009 tentang Mahkamah Agung
  9. UU No.2/1986 jo UU 8/2004 jo UU 49/2009 ttg Peradilan Umum
  10. UU No.7/1989 diganti UU No. 3/2006 diganti UU No.50 /2009 ttg Peradilan Agama




Read More
Istilah-istilah dalam Hukum Acara Perdata

Istilah-istilah dalam Hukum Acara Perdata

Beberapa istilah yang sering akan kita temukan dalam Hukum Acara Perdata baik dalam teori maupun prakteknya adalah :

1. Kekuasaan Relatif

Kewenangan mengadili atau kompetensi yurisdiksi pengadilan adalah untuk menentukan pengadilan mana (tempat) yang berwenang memeriksa dan memutus suatu perkara, sehingga pengajuan perkara tersebut dapat diterima dan tidak ditolak dengan alasan pengadilan tidak berwenang mengadilinya

2. Kekuasaan Absolut

kewenangan lingkungan peradilan tertentu untuk memeriksa dan memutus suatu perkara berdasarkan jenis perkara yang akan diperiksa dan diputus. Menurut Undang-undang No. 4 Tahun 2004, kekuasaan kehakiman (judicial power) yang berada di bawah Mahkamah Agung (MA) merupakan penyelenggara kekuasaan negara di bidang yudikatif yang dilakukan oleh lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara

3. Exceptie atau Eksepsi

Artinya tangkisan, maksudnya adalah bantahan atau tangkisan dari tergugat yang diajukannya ke Pengadilan karena tergugat digugat oleh penggugat yang tujuannya supaya Pengadilan tidak menerima perkara yang diajukan oleh penggugat karena adanya alasan tertentu.

4. Banding yang di sebut juga appel

Ialah permohonan pemeriksaan kembali terhadap putusan atau penetapan Pengadilan tingkat pertama karena merasa tidak puas atas putusan atau penetapan tersebut, ke Pengadilan tingkat banding yang mewilayahi Pengadilan tingkat pertama yang bersangkutan melalui Pengadilan tingkat pertama yang memutus tersebut, dalam tenggang waktu tertentu dan dengan syarat-syarat tertentu.

5. Kasasi

Artinya mohon pembatalan terhadap putusan/ penetapan Pengadilan tingkat pertama atau terhadap putusan Pengadilan tingkat banding ke Mahkamah Agung di Jakarta, melalui Pengadilan tingkat pertama yang dahulu memutus, karena adanya alasan tertentu, dalam waktu tertentu dan dengan syarat-syarat tertentu.

6. Petitum

Yaitu hal-hal apa yang diinginkan atau di minta oleh penggugat agar diputuskan, ditetapkan dan atau diperintahkan oleh hakim.

7. Posita atau Fundamenteum Petendi

Suatu gugatan harus memuat gambaran yang jelas mengenai duduknya persoalan, dengan lain perkataan dasar gugatan harus dikemukakan dengan jelas.

8. Perstek atau Verstek

Adalah pernyataan, bahwa tergugat tidak hadir, meskipun ia menurut hukum acara harus dating. Perstek hanya dapat dinyatakan, apabila pihak tergugat kesemuanya tidak dating menghadap pada sidang yang pertama, dan apabila perkara diundurkan sesuai dengan pasal 126 H.I.R., juga pihak tergugat kesemuanya tidak datang menghadap lagi.

9. Verzet

Artinya perlawanan terhadap putusan verstek yang telah dijatuhkan oleh Pengadilan tingkat pertama, yang diajukan oleh tergugat yang diputus verstek tersebut, dalam waktu tertentu, yang diajukan ke Pengadilan tingkat pertama yang memutus itu juga.

10. Nebis in idem

Proses selesai sama sekali dan seandainya suatu waktu diajukan kembali persoalan yang sama oleh salah satu pihak tersebut atau oleh ahliwaris dan mereka yang mendapatkan hak daripadanya, maka gugatan terakhir ini akan dinyatakan nebis in idem dan karenanya dinyatakan tidak dapat diterima.

11. Akta Otentik

Menurut Pasal 165 H.I.R. adalah surat yang dibuat oleh atau di hadapan pegawai umum yang berkuasa akan membuatnya, mewujudkan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahliwarisnya serta sekalian orang yang mendapat hak daripadanya, yaitu tentang segala hal, yang tersebut dalam surat itu dan juga tentang yang tercantum dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja, tetapi yang tersebut kemudian itu hanya sekedar yang di beritahukan itu langsung berhubung dengan pokok dalam akta itu.

12. Replik

Jawaban pertama, baik lisan ataupun tertulis dari tergugat.

13. Duplik

Jawaban penggugat atas jawaban itu (tergugat).

14. Prodeo

Perkara-perkara yang diperiksa secara prodeo berdasarkan ketentuan pasal 237 H.I.R. artinya tanpa bayaran.

15. Asas legitima persona standi in judicio

Setiap orang yang merasa memiliki dan ingin menuntut, mempertahankan atau membela hak tersebut berwenang untuk bertindak selaku para pihak, baik sebagai tergugat atau penggugat.

DAFTAR PUSTAKA
  • · Dr. H. Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996
  • · Retnowulan Sutantio, SH., Iskandar Oeripkartawinata, SH., Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Bandung: Penerbit Mandar Maju, 1997

Read More
Jenis-Jenis Putusan

Jenis-Jenis Putusan

Pasal 185 (1) HIR membedakan antara putusan akhir dan bukan putusan akhir.

Putusan Akhir adalah  putusan yang mengakhiri suatu perkara dalam suatu tingkatan peradilan tertentu. Putusan akhir ada yang bersifat menghukum (condemnatoir), ada yang bersifat menciptakan  (constitutif), dan ada yang bersifat menerangkan atau menyatakan (declaratoir).

Putusan Condemnatoir adalah putusan yang menghukum pihak yang kalah untuk memenuhi prestasi atau membayar sejumlah uang tertentu. Putusan condemnatoir memberi  alat hak eksekutorial , jadi mempunyai kekuatan mengikat dan dipaksakan.

Putusan Constitutif adalah putusan yang meniadakan  atau menciptakan suatu keadaan hukum baru, misalnya pemutusan perkawinan, pengangkatan wali, pernyataan pailit dan pemutusan perjanjian.

Putusan Declatoir adalah putusan yang isinya bersifat menerangkan atau menyatakan apa yang sah, misalnya anak yang menjadi sengketa adalag anak lahir dari perkawinan sah, putusan yang menolak gugatan.

Putusan yang bukan putusan akhir (putusan sela atau putusan antara) adalah putusan yang berfungsi untuk memperlancar jalannya persidangan. Putusan sela hanya dimintakan banding bersama-sama dengan banding putusan akhir perkara yang sama. Kecual putusan akhir dan putusan sela dikenal pula putusan praeparatoir dan putusan interlocutoir.

Putusan Praeparatoir adalah putusan sebagai persiapan putusan akhir, tanpa mempunyai pengaruh atas pokok perkara  atau putusan akhir. Contoh putusan yang untuk menggabungkan perkara (dua perkara) atau untuk menolak diundurnya pemeriksaan saksi.

Putusan Interlocutoir adalah putusan yang isinya memerintahkan pembuktian, misalnya pemeriksaan untuk pemeriksaan saksi atau pemeriksaan setempat. Putusan interlocutoir berpengaruh terhadap putusan akhir.

Menurut RV masih dikenal dua putusan lagi, yaitu putusan insidentil dan putusan provisionil (pasal 332 RV)

Putusan Insidentil adalah putusan yang berhubungan dengan insiden

Putusan Provisionil adalah putusan yang menjawab tuntutan provisionil, yaitu permintaan pihak yang bersangkutan agar sementara diadakan tindakan-tindakan putusan akhir dijatuhkan . Kecual berbagai putusan tersebut dikenal pula istilah putusan gugur dan putusan verstek.

Putusan Gugur dijatuhkan oleh hakim apabila penggugat tidak datang pada sidang meskipun  telah dipanggil secara layak

Putusan Verstek adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim tanpa hadirnya tergugat, meskipun telah dipanggil secara layak (sebagaimana mestinya)
Read More