Takut akan Tuhan adalah Permulaan Pengetahuan

Pengertian Hukum Acara Pidana

Pengertian Hukum Acara Pidana

Menurut Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro 

Hukum Acara Pidana adalah peraturan yang mengatur tentang bagaimana cara-cara alat perlengkapan pemerintah melaksanakan tuntutan, memperoleh Keputusan Pengadilan, oleh siapa Keputusan Pengadilan itu harus dilaksanakan, jika ada seorang atau kelompok melakukan perbuatan pidana.

Menurut Mochtar Kusuma Atmadja

Hukum Acara Pidana adalah peraturan hukum pidanayang mengatur bagaimana cara mempertahankan berlakunya hukum pidana materil.Hukum Pidana Formil memproses bagaimana menghukum atau tidak menghukum seseorang yang dituduh melakukan tindak pidana (makanya disebut sebagai HukumAcara Pidana)


Menurut. Prof.Dr. Mr.L.J. Van Apeldoorn

Hukum acara pidana adalah mengatur cara pemerintah menjaga kelangsungan pelaksanaan hukum pidana material.


Menurut Dr. A. Hamzah. SH. 

Hukum acara pidana merupakan bagian drai hukum pidanadalam arti yang luas. Hukm pidana dalam arti yang luas meliputi baik hukum pidanasubstantive (materiil) maupun hukm pidana formal atau hukum acara pidana.


sumber:
1. Yulies Tiena Masriani, SH., MHum. 2014. Pengantar Hukum Indonesia
2. berbagai sumber


Read More
Asas-asas Hukum Acara Pidana

Asas-asas Hukum Acara Pidana

  1. Asas Inquisitoir. Asas Inquisitoir adalah asas yang menjelaskan bahwa setiap pemeriksan yang dilakukan harus dengan cara rahasia dan tertutup. Asas ini menempatkan tersangka sebagai obyek pemeriksaan tanpa memperoleh hak sama sekali. seperti bantuan hukum dan ketemu dengan keluarganya. Asas ini diatur dalam Pasal 164 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
  2. Asas Accusatoir. Asas accusatoir menunjukkan bahwa seorang tersangka/tersangka yang diperiksa bukan menjadi obyek tetapi sebagai subyek. Asas ini memperlihatkan pemeriksaan dilakukan secara terbuka untuk umum. Dimana setiap orang dapat menghadirinya.
  3. Asas Opportunitas. Asas oportunitas adalah memberi wewenang pada penuntut umum untuk menuntut atau tidak menuntut seorang pelaku dengan alasan kepentingan umum. Asas inilah yang dianut Indonesia contohnya, seseorang yang memiliki keahlian khusus dan hanya dia satu-satunya di negara itu maka dengan alasan ini JPU boleh memilih untuk tidak menuntut. Asas ini diatur dalam Pasal 32 C UU Nomer 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan.
  4. Asas Jaksa Sebagai Penuntut Umum dan Polisi Sebagai Penyidik. Menurut Pasal 1 Angka 6 Huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) : Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Menurut Pasal 1 Angka 6 Huruf b Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) : Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Penyelidik menurut Pasal 1 Angka 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) – Penyelidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh UU ini untuk melakukan penyelidikan.
  5. Asas Personalitas Aktif. Asas Personalitas merupakan asas personalitas bertumpu pada kewarganegaraan pelaku tindak pidana. Artinya, hukum pidana suatu negara mengikuti ke manapun warga negaranya. Dengan demikian, hukum pidana Indonesia akan selalu mengikuti warga Negara Indonesia ke mana pun ia berada, asas ini diatur dalam Pasal 5-7 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
  6. Asas Persamaan. Asas Equality Before The Law, artinya setiap orang harus diperlakukan sama didepan hukum tanpa membedakan suku, agama, pangkat , jabatan dan sebagainya. Asas ini diatur dalam Pasal 5 Ayat (1) UU Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 5 Ayat (1) UU Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. (Pasal 5 Ayat (1) UU Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman) : Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.
  7. Asas Perintah Tertulis dari yang Berwenang. Artinya bahwa setiap penangkapan, penggeledahan, penahanan dan penyitaan harus dilakukan berdasarkan perintah tertulis dari pejabat yang diberi wewenang oleh UU dan hanya dalam hal dan cara yang diatur oleh UU.
  8. Asas Praduga Tak Bersalah. Presumption of innocense artinya seseorang harus dianggap tidak bersalah sebelum dinyatakan bersalah oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Asas ini diatur dalam Pasal 8 UU Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Pasal 8 UU Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman) : Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
  9. Cepat, Singkat, Biaya Ringan, Jujur, Bebas, Tidak Memihak. Asas contente justitie serta fairtrial. Asas ini menghendaki proses pemeriksaan tidak berbelit-belit dan untuk melindungi hak tersangka guna mendapat pemeriksaan dengan cepat agar segera didapat kepastian hukum. Asas ini diatur dalam Pasal 24 dan 50 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
  10. Sidang Terbuka Untuk Umum. Sidang pemeriksaan perkara pidana harus terbuka untuk umum, kecuali diatur oleh UU dalam perkara tertentu seperti perkara kesusilaan, sidang tertutup untuk umum tetapi pembacaan putusan pengadilan dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Asas ini diatur dalam Pasal 64 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 64 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) : Terdakwa berhak untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum.
  11. Asas Adanya Bantuan Hukum. Seseorang yang tersangkut perkara pidana wajib diberi kesempatan untuk memperoleh Bantuan Hukum secara cuma-cuma untuk kepentingan pembelaan dirinya. Asas ini diatur dalam Pasal 54 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 37 UU Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 54 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) : Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini (Pasal 37 UU Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman) : Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.
  12. Asas Ganti Rugi dan Rehabilitasi. Hak bagi tersangka/terdakwa/terpidana untuk mendapatkan ganti rugi/rehabilitasi atas tindakan terhadap dirinya sejak dalam proses penyidikan. Asas ini diatur dalam Pasal 95 dan 97 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
  13. Asas pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan. Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi. Asas ini diatur dalam Pasal 153 ayat (2) huruf a Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 155 ayat (1) Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 153 ayat (2) huruf a Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) : hakim ketua siding memimpin pemeriksaan di sidang pengadilan yang dilakukan secara lisan dalam bahasa indonesia yang dimengerti terdakwa dan saksi. Pasal 155 ayat (1) Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) : pada permulaan sidang hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa tentang nama lengkap, tempat lahir,umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaanya serta mengingatkan terdakwa supaya memperhatikan segala sesuatu yang didengar dan dilihatnya di sidang.
  14. Hadirnya Tersangka Dalam Pengadilan. Pangadilan dalam memeriksa perkara pidana harus dengan hadirnya terdakwa.
  15. Pemberitahuan Apa yang Didakwakan. Bahwa setiap pemeriksaan di Hapid para pihak (tersangka dan pengacara) wajib diberitahukan dasar hukumnya, serta wajib diberitahukan hak-haknya.
  16. Peradilan Dilakukan oleh Hakim Karena Jabatannya dan Tetap. Ini berarti bahwa pengambilan keputusan salah tidaknya terdakwa dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan bersifat tetap. Untuk jabatan ini diangkat hakim-hakim yang tetap oleh kepala Negara. Asas ini diatur dalam pasal 31 UU Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 1 Angka 8 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 1 Angka 8 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) : hakim adalah pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili (Pasal 31 UU Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman) : Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang.
  17. Asas Legalitas. Dalam hukum pidana yang mengatakan bahwa tiada  suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuaan perundang-undangan pidana yang telah ada (Nullum Delictum Nulla Poena Sine Previa Lege Poenali). Asas ini tercantum dalam Pasal 1 Ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 1 Ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) : Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada 2. Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya.

Read More
Sejarah Hukum Acara Pidana di Indonesia

Sejarah Hukum Acara Pidana di Indonesia

A. HUKUM ACARA PIDANA SEBELUM ZAMAN KOLONIAL

Pada saat Belanda menginjakkan kakinya di Nusantara, telah ada lembaga tata negara dan lembaga tata hukum atau dengan kata lain telah tercipta hukum di bumi Nusantara yang lahir dari masyarakat tradisional sendiri yang kemudian disebut dengan hukum adat sebelum Belanda menjajah bumi Nusantara. Hazairin menulis bahwa dalam masyarakat tradisional Indonesia tidak ada pidana penjara.Menurut Supomo pada tiap pelanggaran hukum para penegak hukum mencari bagaimana bagaimana mengembalikan keseimbangan yang terganggu itu. Mungkin hanya berupa pembayaran sejumlah uang yang sama dengan pelunasan utang atau ganti kerugian.[1]




Hukum pembuktian pada masyarakat tradisional Indonesia sering digantungkan pada kekuasaan Tuhan. Di daerah Wajo dahulu dikenal cara pembuktian dengam membuat asap pada guci abu raja yang dianggap paling adil dan bijaksana (Puang ri Magalatung). Kemana asap itu mengarah pihak itulah yang dianggap paling benar. Sistem pemidanaannya pun sangat sederhana. Mulai dari pembayaran ganti kerugian sampai ri ule bawi (kedua kaki dan tangannya diikat lalu diselipkan sebilah bambu) lalu dipikul keliling kampung untuk dipertunjukkan.[2]

Bentuk-bentuk sanksi hukum adat dihimpun dalam Pandecten Van het Adatrecht bagian x yang disebut juga dalam buku Supomo yaitu sebagai berikut :[3]

  1. Penggantian kerugian “immateriil” dalam pelbagai rupa seperti paksaan menikahi gadis yang telah dicemarkan. 
  2. Bayaran “uang adat” kepada orang yang terkena, yang berupa benda yang sakti sebagai pengganti kerugian rohani. 
  3. Selamatan untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran gaib. 
  4. Penutup malu, permintaan maaf. 
  5. Pelbagai rupa hukum badan, hingga hukuman mati. 
  6. Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang di luar tata hukum.

B. Perubahan Perundang-undangan di Negeri Belanda yang Dengan Asas Konkordansi Diberlakukan Pula di Indonesia.

KUHAP yang dipandang sebagai sebuah karya agung merupakan penerusan dari asas-asas hukum acara pidana yang ada dalam HIR ataupun Ned strafvordering 1926 yang lebih modern itu.

Mr. H.L. Wichers ini diangkat oleh Raja sebagai Presiden Hooggerechtshof di Hindia Belanda merangkap komisaris khusus untuk mengatur mulai berlakunya perundang-undangan baru. Tiga pekerjaan utama yang diselesaiakan selama satu setengah tahun, yaitu yang pertama peraturan mengenai peradilan, kedua mengenai perbaikan kitab undang-undang yang telah ditetapkan itu, dan ketiga pertimbangan tentang berlakunya hukum Eropa untuk orang timur.[4]


Isi firman Raja tanggal 16 Mei 1846 Nomor 1 yang diumumkannya di Indonesia dengan sbld 1847 Nomor 23 yang terppenting ialah yang tersebut Pasal 1 dan Pasal 4. Peraturan-peraturan yang dibuat untuk “Hindia Belanda” yaitu sebagai berikut :[5]

  1. Ketentuan umum tentang Perundang-undangan (AB)
  2. Peraturan tentang Susunan Pengadilan dan Kebijaksanaan.
  3. Pengadilan (RO)
  4. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW)
  5. Kitab Undang-undang Hukum Dagang (WvK)
  6. Ketentuan-ketentuan tentang kejahatan yang dilakukan pada kesempatan jatuh pailit dan terbukti tida mampu, begitu pula dikala diadakan penangguhan pembayaran utang (Pasal 1)
  7. Peraturan acara perdata (Hooggerechtshof dan Raad van justitie).
  8. Perturan tata usaha kepolisian, beserta pengadilan sipil dan penuntutan tata usaha kepolisian, beserta pengadilan sipil dan penuntutan perkara kriminal mengenai golongan Bumiputera dan orang-orang yang dipersamakan (Pasal 4).

C. Inlands Reglement Kemudian Herziene Inlands Reglements

Setelah beberapa kali melalui perdebatan dan perubahan akhirnya Gubernur Jenderal menerima rancangan dan diumumkan melalui Stb. No. 16 tanggal 5 April 1848, dan kemudian disahkan dan dikuatkan dengan Firman Raja tanggal 29 September 1849 No. 93, diumumkan dalam Stb. 1849 No. 63 yang dikenal dengan Inlandsch Reglement (IR).


IR ini juga beberapa kali mengalami perubahan antara lain pada tahun 1926 dan 1941 melalui Stb. 1941 No. 44 ditetapkan antara lain, Reglement Bumiputera setelah diadakan perubahan dalam ordonasi ini akan berlaku di dalam daerah hukum Laundraad yang kemudian disebutHerziene Inlandsch Reglement (HIR). Perlu dicatat bahwa pada mulanya HIR hanya berlaku bagi bangsa Eropa dan warga negara Indonesia keturunan asing, serta bangsa Indonesia asli yang tunduk pada hukum sipil barat yaitu golongan yang merupakan justiciabelen dari Raad van Justitie.

Setelah Indonesia merdeka dikeluarkan Undang-Undang Darurat tahun 1951 No. 1 Lembaran Negara 1951 No. 9 yang melakukan perubahan total mengenai susunan kehakiman Pengadilan Negeri dibentuk menggantikan Landraad dan sekaligus Raad van Justitie, dan HIR merupakan pedoman beracara di pengadilan negeri baik dalam perkara perdata maupun pidana sipil, namun untuk Pengadilan Negeri di luar Jawa dan Madura berlaku ketentuan Rechtsreglement Buitengewesten (Reglement untuk daerah seberang).


D. Acara Pidana Pada Zaman Pendudukan Jepang, Hingga Indonesia Merdeka Sampai Sekarang

Pada zaman pendudukan Jepang, pada umumnya tidak terjadi perubahan asasi kecuali hapusnya Raad van justitie sebagai pengadilan untuk golongan Eropa. Dengan undang-undang (Osamu Serei) Nomor 1 Tahun 1942 yang mulai berlaku pada tanggal 7 Maret 1942, dikeluarkan aturan peralihan di Jawa dan Madura yang berbunyi “Semua badan –badan pemerintahan dan kekuasaannya, hokum dan undang-undang dari pemerintah yang dulu, tetap diakui sah buat sementara waktu asal saja tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer.

Di luar Jawa dan Madura pun pemerintah milliter Jepang mengeluarkan peraturan yang senada.Dengan demikian, acara pidana pada umumnya tidak berubah, HIR dan Reglement voor de Buitengewesten serta Landgerechts Reglement berlaku untuk Pengadilan Negeri (Tihoo Hooin).Pengadilan Tinggi (Kootoo Hooin) dan Pengadilan Agung (Saiko Hooin).Susunan pengadilan diatur dengan Osamu Serei Nomor 3 Tahun 1942 Tanggal 20 September 1942.

Pada tiap macam pengadilan itu ada kejaksaan, yaitu Saikoo Kensatsu Kyoko pada Pengadilan Agung, Kootoo Kensatsu Kyaku pada Pengadilan Tinggi, dan Tihoo Kensatsu Kyoku pada Pengadilan Negeri.

Pada saat proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, keadaan tersebut dipertahankan dengan Pasal II aturan Peralihan UUD 1945 berlaku pada tanggal 18 Agustus 1945.yang berbunyi sebagai berikut,

“Segala badan Negara dan poeraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.

Untuk memperkuat aturan peralihan ini, maka Presiden mengeluarkan suatu poeraturan pada tanggal 10 Oktober 1945 yang disebut Peraturan Nomor 2 yang berbunyi sebagai berikut.

“Untuk ketertiban masyarakat bersandar atas aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal II berhubungan dengan Pasal IV kami Presiden menetapkan peraturan sebagai berikut;


Pasal I
“Segala badan-badan Negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar, masih berlaku asal saja tidak bertentangan dengan undang-undang tersebut.


Pasal 2

Peraturan ini berlaku pada tanggal 17 Agustustus 1945.


Pada umumnya dapat dikatakan bahwa hokum acara pidana dan susunan pengadilan pada masa penduduk jepangh masih tetap berkelanjutan pada masa Republik, kecuali tentu karena keadaan memaksa maka dibentuk Mahkamah Agung di Yogyakarta serta pemindahan Pengadilan Tinggi Sumatra dan Jawa, masing-masing ke Bukit Tinggi dan Yogyakarta. Di daerah yang diduduki Belanda pada mulanya semua pengadilan dan penuntut umum padanya pada tingkat pertama (hakim distrik, hakim kabupaten, landgerecht, residentie gerecht, politie rechter) dihapus, dan diganti dengan suatu landrechter (gaya baru) yang berwenang mengadili semua golongan penduduk untuk perkara sipil dan pidana. Acara pidana tetap HIR, Reglement op de Buitengewesten dan Landgerchttsreglement.Untuk sementara tidak ada kemungkinan banding bagio perkara pidana.Untuk perkara perdata dapat dibandingkan kepada appelraad.Kemudian baru dibentuk di Makassar Mahkamah Yustisi.Pengadilan tertinggi tetap Hooggerechtshof di Jakarta.

Setelah dibentuk Negara-negara bagian, maka Negara-negara bagian ini membentuk pengadilan sendiri-sendiri.Di Negara Indonesia Timur, di Negara Pasundan, dan Negara Sumatra Timur dibentuk Pengadilan Negara sebagai hakim sehari-hari untuk segala golongan penduduk. Kemudian suatu Pengadilan Tinggi di Pasundan , Mahkamah Yustisi di Makassar dan Mahkamah Negara di Sumatra Timur yang rupanya tidak pernah lahir itu.

Setelah dibentuk RIS, maka segera dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 LN 1950 Nomor 30 dibentuk Mahkamah Agung di Jakarta menggantikan Hooggerechtshof di Jakarta dan Mahkamah Agung di Yogyakarta. Dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1950 LN 1950 Nomor 27, Landrechter (gaya baru) di Jakarta diganti menjadi Pengadilan Negeri, dan appelraad di Jakarta diubah menjadi Pengadilan Tinggi.


E. HUKUM ACARA PIDANA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 (DRT) TAHUN 1951

Dengan undang-undang tersebut dapat dikatakan telah diadakan unifikasi hokum acara pidana dan susunan pengadilan yangt beraneka ragam sebelumnya. Menurut Pasal 1 Undang-undang tersebut dihapus, yaitu sebagai berikut:

1. Mahkamah Yustisi di Makassar dan alat penuntut umum padanya. 
2. Appelraad di Makassar.
3. Appelraad di Medan.
4. Segala pengadilan Negara dan segala landgerecht (cara baru) dan alat penuntut umum padanya. 
5. Segala pengadilan kepolisian dan alat penuntut umum padanya. 
6. Segala pengadilan magistraad (pengadilan rendah).
7. Segala pengadilan kabupaten.
8. Segala pengadilan raad distrik.
9. Segala pengadilan negorij.
10. Pengadilan swapraja.
11. Pegadilan adat

Namun demikian, hakim perdamaian desa yang berdasar atas Pasal 3a RO itu masih diakui.Hakim perdamaian desa ini juga tiodak dihapuskan oleh undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan –Ketentuan Pokok Kehakiman. Karena KUHAP mengahapus HIR dan Undang-undang No. 1 (drt) 1951 tersebut di mana dicantumkan hak hidup hakim perdamaian desa tersebut, maka yang menjadi masalah apakah dengan berlakunya KUHAP hakim perdsamaian desa itu masih diperkenankan.

Bahkan dalam Pasal 27 ayat (1) dikatakan; “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hokum yang hidup dalam masyarakat.Dalam hal ini hakim perdamaian desa itu justru menjadi salah satu sumber hukum adat yang dapat digali.Dalam Pasal 3a RO pada butir 3 dikatakan bahwa hakim-hakim yang dimaksud dalam ayat (1) mengadili perkara menurut hukum adat, mereka tidak boleh menjatuhkan pidana.

Kemudian dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 (drt) tahun 1951 ditetapkan bahwa acara pidana sipil untuk segala Pengadilan Negeri dan alat Penuntut Umum padanya, segala Pengadilan Tinggi seberapa mungkin HIR diambil sebagai pedoman. Sedangkan acara pidana ringan (rol) berlaku Landsgerechts reglement Sbld 1914 Nomor 317 jo. Sbld 1917 Nomor 323.Acara untuk banding diatur dalam Pasal 7 sampai Pasal 20 Unang-Undang (darurat) tersebut.


F. LAHIRNYA KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA

Setelah lahirnya orde baru, terbukalah kesempatan yang lapang untuk membangun di segala segi kehidupan.Tidak ketinggalan pula pembangunan di bidang hokum.Puluhan undang-undang telah diciptakan terutama merupakan pengganti peraturan warisan kolonial.

Suatu undang-undang hokum acara pidana nasional yang modernsudah lama didambakan semua orang.Dikehendaki suatu hokum acara pidana yang dapat memenuhi kebutuhan hokum masyarakat dewasa ini yang sesuai dan selaras dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.Pembentukan Inlands Reglement kemudian menjadi HIR itu tidak lepas pula daripada usaha Belanda membenahi peraturan hukumnya setelah terlepas dari kekuasaan Perancis.Inlands Reglement yang lahir pada tanggal 1 Mei 1848 itu merupakan penerusan dari paket perundang-undangan Belanda tahun 1838.Pada masa itu golongan legis, yaitu golongan yang memandang segala bentukhukum seharusnya dalam bentuk undang-undang sangat kuat di negeri Belanda.Berdasarkan asas konkordansi, maka paket perundang-undangan baru itu hendak diberlakukan pula di Indonesia.

Pada saat Oemar Seno Adji menjabat Menteri Kehakiman, telah dirintis jalan menu kepada terciptanya perundang-undangan baru terutama tentang hokum acara pidana.Pada waktu itu dibentuk suatu panitia di Departemen Kehakiman yang bertugas menyusun suatu rencana undang-undang hokum acara pidana.Panitia tersebut telah berhasil menyusun Rencana Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang bercermin kepada hasil Seminar Hukum Nasional mengenai hokum acara Pidana dan Hak-Hak Asasi Manusia yang diadakan di Semarang pada Tahun 1968.

Pada waktu Mochtar Kusumaatmadja menggantikan Oemar Seno Adji menjadi Menteri Kehakiman pada tahun 1974, penyempurnaan rencana tersebut diteruskan. Pada tahun 1974 rencana tersebut dilimpahkan kepada Sekretaris Negara dan kemudian dibahas oleh empat instansi, yaitu Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Hankam termasuk di dalamnya Polri dan Departemen Kehakiman.

Akhirnya, Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana itu disampaikan kepda Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas dengan amanat Presiden pada tanggal 12 September 1979 Nomor R.08/P.U/IX/1979. Rupanya rancangan tersebut agak lain daripada rencana yang disusun pada masa Menteri Kehakiman Oemar Seno Adji tahun 1973 tersebut di atas.

Menteri Kehakiman Moedjono atas nama pemerintah memberikan keterangan di depan Sidang Paripurna DPR tentang Rancangan Hukum Acara Pidana tersebut pada tanggal 9 Oktober 1979. Kemudian fraksi-fraksi dalam DPR memberikan pemandangan umum yang disusul dengan jawaban pemerintah.Badan musyawarah DPR memutuskan bahwa pembicaraan selanjutnya rancangan itu dilakukan oleh Gabungan Komisi III dan I DPR.

Hasil final tersebut dengan rancangan semula, maka tampak banyak perubahan-perubahan.Yang paling asasi dari perubahan tersebut ialah hilangnya wewenang penyidikan kejaksaan yang semula ada dalam HIR, kemudian dipersempit oleh rancangan menjadi “penyidikan lanjutan”.Penyidikan lamjutan ini pun hilang dari tangan kejaksaan, dan demikian mugkin satu-satunya negeri di dunia ini yang menganut asas-asas hokum acara pidana Eropa Kontinental di mana jaksa atau penuntut umum yang tidak berwenang menyidik walapun dalam bentuk insidensial.

Yang terakhir menjadi masalah dalam pembicaraan Tim Sinkronisasi dengan wakil Pemerintah, ialah pasal peralihan yang kemudian dikenal sengan Pasal 284.Perumusan yang terdapat dalam Pasal 284 tersebut rupanya merupakan hasil kompromi yang dengan demikian, sulit untuk dipahami jika dibaca teksnya secara harfiah. Pasal 284 ayat (2) menjadikan bahwa dalam 2 tahun akan diadakan perubahan peninjauan kembali terhadap Hukum Acara Pidana Khusus seperti misalnya yang terdapat dalam Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi dan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Akan tetapi, kenyataannya setelah 19 tahun berlakunya KUHAP tidak ada tanda-tanda adanya usaha untuk meninjau kembali acara khusus tersebut, bahkan dengan PP Nomor 27 tahun 1983 tentang ditegaskan oleh Pemerintah bahwa penyidikan delik-delik dalam perundang-undanganpidana khusus tersebut, dilakukan oleh berikut ini:

a. Penyidik
b. Jaksa

Pejabat Penyidik yang berwenang yang lain, berdasarkan peraturan perundang-undangan (Pasal 17 PP Nomor 27 tahun 1983).

Oleh karena HIR dianggap tidak memberikan jaminan hukum bagi bangasa Indonesia, akhirnya lahirlah Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 (LNRI No. 76 TLN No. 3209) tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menggantikan HIR.

KUHAP berlaku untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkatan peradilan meliputi Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung. Ruang lingkup berlakunya KUHAP mengikuti asas-asas yang dianut dalam hukum pidana meliputi :

1. Asas Legalitas
2. Asas teritorial
3. Asaas Kewarganegaraan aktif/personalitas
4. Asas kewarganegaraan pasif/perlindungan
5. Asas universal

Ruang lingkup KUHAP mencakup pengkhususan dari peradilan umum seperti halnya pengadilan lalu lintas, anak dan ekonomi. KUHAP berlaku juga pada semua ketentuan pidana khusus yaitu perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya dianccam dengan pidana kecuali apabila undang-undang pidana khusus tersebut menentukan lain atau dengan kata lain menentukan acara pidana tersendiri.

Pada dasarnya KUHAP dirancang sebagai kodifikasi dan unifikasi hukum acara di Indonesia, namun ternyata gagal.Pada saat ini kedudukan KUHAP hanya sebagai lex generalis.

[1] R. Supomo, dalam Andi Hamzah, Op.cit., hlm. 45.
[2] A.Z. Abidin Farid, Bunga Rampai Hukum Pidana, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983, hlm. 75.
[3] Andi Hamzah, Op.cit., hlm. 46.
[4] Ibid, hlm. 48.
[5] Ibid, hlm.48-49.



Read More
Tujuan Hukum Acara Pidana

Tujuan Hukum Acara Pidana

Tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan kebenaran materil, yakni kebenaran dari suatu perkara pidana dgn menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dgn tujuan agar mencari pelaku yg dpt didakwakan melakukan pelanggaran hk. Kemudian selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dri pengadilan guna menemukan apakah terbukti melakukan tindak pidana dan apakah pelaku yg didakwakan itu dapat dipersalahkan.

Menurut Van Bammelen mengemukakan 3 fungsi hukum acara pidana, yakni:
· Mencari dan menemukan kebenaran
· Pemberian keputusan oleh hakim
· Pelaksanaan keputusan.



Read More
Pihak-pihak dalam Hukum Acara Pidana

Pihak-pihak dalam Hukum Acara Pidana


1.    Tersangka / terdakwa dan hak-haknya:
Tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana (butir 14 KUHAP)
Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang pengadilan (butir 15)
Hak-hak tersangka/terdakwa : Lihat (pasal 50 - pasal 68 KUHAP):
Hak-hak tersangka/terdakwa (pasal 50- pasal 68 KUHAP):
v Hak untuk segera diperiksa, diajukan ke pengadilan dan diadili (pasal 50 ayat 1,2,3)
v Hak untuk mengetahui dengan jelas dan bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan dan apa yang didakwakan (pasal 51 butir a dan b)
v Hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik dan hakim (pasal 52)
v Hak untuk mendapat juru bahasa (pasal 53 ayat (1))
v Hak untuk mendapatkan bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan (pasal 54)
v Hak untuk mendapat nasihat hukum dari penasihat hukum yang ditunjuk oleh pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan bagi tersangka atau terdakwa yang diancam pidana mati dengan biaya Cuma-Cuma.
v Hak tersangka atau terdakwa yang berkebangsaan asing untuk menghubungi dan berbicara dengan perwakilan negaranya (pasal 57 (2))
v Hak untuk diberitahu pada keluarganya atau orang lain yang serumah dengan tersangka / terdakwa yang ditahan untuk mendapat bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhannya dan hak untuk berhubungan dengan keluarga (pasal 59 dan pasal 60)
v Hak untuk dikunjungi sanak keluarga yang tidak ada hubungan dengan perkara tersangka / terdakwa (pasal 61)
v Hak tersangka / terdakwa untuk berhubungan surat menyurat dengan penasihat hukumnya (pasal 62)
v Hak tersangka / terdakwa untuk menghubungi dan menerima kunjungan rohaniawan (ps.63)
v Hak tersangka/ terdakwa untuk mengajukan saksi dan ahli (ps. 65)
v Hak tersangka / terdakwa untuk menuntut ganti kerugian (pasal 68)

2.    Penuntut Umum
Ps. 1 butir 6 dijelaskan bahwa:
Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh UU untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh UU untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim
wewenang penuntut umum / jaksa :
Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu
Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan Ps. 110 (3) dan (4) dengan memberi petunjuk dalam penyempurnaan penyidikan dari penyidik.
Perlu diketahui isi dari ps. 110 KUHAP :Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara ke Penuntut Umum
Dalam hal Penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut ternyata masih kurang lengkap, Penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi
Dalam hal Penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari Penuntut umum
Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu 14 hari Penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari Penuntut Umum kpd Penyidik.
Membuat surat dakwaan
Melakukan penuntutan
Menutup perkara demi kepentingan umum (Ps.14 huruf H KUHAP)
Melimpahkan perkara ke pengadilan
Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang tanggal dan waktu perkara yang akan disidangkan disertai dengan surat panggilan baik kepada terdakwa maupun saksi untuk hadir pada sidang yang ditentukan.
Melaksanakan penetapan hakim
3.    PENYIDIK DAN PENYELIDIK
Menurut pasal 1 butir 1, penyidik adalah pejabat polisi atau pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh UU untuk melakukan penyidikan.
Pasal 1 butir 4, penyelidik adalah pejabat polisi yang diberi wewenang oleh UU untuk melakukan penyelidikan.
Jadi perbedaannya adalah penyidik itu terdiri dari polisi dan pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh UU, sedangkan penyelidik hanya polisi saja.
4.    PENASEHAT HUKUM DAN BANTUAN HUKUM
Istilah penasehat hukum dan bantuan hukum adalah pembela, advokat. Fungsinya adalah sebagi pendamping tersangka atau terdakwa dalam pemeriksaan.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan No. 4 tahun 2004 tentang advokat,bantuan hukum diatur dalam 4 pasal yakni pasal 37, 38, 39, dan 40.
Pasal 38 berbunyi :
“dalam perkara pidana seorang tersangka sejak saat dilakukan penangkapan / penahanan berhak menghubungi dan meminta bantuan advokat”
Pasal 39 berbunyi :
“dalam member bantuan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 37, advokat wajib membantu penyelesaian perkara dengan menjunjung tinggi hukum dan keadilan”


Read More