Malpraktek Medis
Oleh Estomihi F.P Simatupang
Kata “malpraktek” bukanlah menjadi sebuah kata yang
asing lagi bagi kita saat ini. Malpraktek seolah-olah menjadi identik dengan
pelayanan buruk dokter. Meskipun dalam UU yang berkaitan dengan kesehatan baik
UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran, UU No. 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan, UU No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit maupun UU No. 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen tidak ada ditemukan satu katapun tentang
malpraktek yang mengatur pengertian tentang malpraktek.
Ketika kita mendengar kata malpraktek maka bayangan
kita langsung tertuju kepada dokter. Sehingga ketika seseorang dikatakan
melakukan perbuatan malpraktek maka yang pertama sekali timbul dari pikiran
kita adalah dokter. Padahal malpraktek adalah suatu istilah yang mempunyai
konotasi buruk bersifat stigmatis, menyalahkan. Praktek buruk dari seseorang
yang memegang suatu profesi dalam arti umum. Tidak saja hanya profesi medis
saja, sehingga juga ditujukan kepada profesi lainnya seperti advokat, akuntan,
wartawan dll.
Pengertian masyarakat tentang malpraktek juga
dinilai masih kurang dan tidak paham. Jika membaca dan melihat pemberitaan
tentang malpraktek medis sungguh jarang kita mendengar adanya laporan
malpraktek medis karena tidak memiliki SIP (Surat Izin Praktek) atau STR (Surat
Tanda Registrasi). Ketika si pasien telah meninggal dunia atau mengalami cacat
barulah dianggap sebagai sebuah malpraktek medis. Bahkan ironisnya lagi adalah
adanya pasien yang meninggal atau mengalami cacat ditempat praktek yang tidak
memiliki izin baik (Surat Izin Praktek) atau STR (Surat Tanda Registrasi). Hal
inilah yang semakin membuktikan bahwa masih kurangnya pemahaman masyarakat
tentang pengertian dan unsur-unsur terjadinya malpraktek medis.
Pandangan terhadap malpraktek kedokteran juga dapat
dilihat dari sudut kewajiban dokter yang dilanggar, artinya dihubungkan dengan
kewajiban dokter. Kesalahan dokter karena tidak memiliki Surat Izin Praktik
dan/atau Surat Tanda Registrasi juga dapat disebut sebagai malpraktek
kedokteran sebagaimana terdapat dalam Pasal 29 ayat 1 dan pasal 36 yang ancaman
pidananya diatur dalam pasal 76 UU No. 29 Tahun 2004 tentang praktek kedokteran.
Belakangan ini kita mendengar sebuah malpraktek yang
dilakukan disebuah klinik di Jakarta Selatan atau Klinik Chiropraktek yang
mengakibatkan matinya pasien. Kejadian ini menjadi topik yang hangat di berita
dan juga tak luput dari media social. Sebuah fakta terungkap bahwa ternyata Ijin
Klinik Chiropraktek ini illegal alias tidak memiliki ijin.
2. Rumusan Masalah
Adapun Rumusan Masalah dalam
Makalah ini adalah :
a.
Pengertian Malpraktek Medis
b.
Unsur-unsur Malpraktek Medis
c.
Aspek Hukum Malpraktek Medis
3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penulisan makalah ini
adalah untuk mengetahui :
a. Untuk
mengetahui apakah itu malpraktek Medis ?
4. Metoda Penulisan
Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode diskritif dan
diskusi. Untuk mendapatkan data yang dibutuhkan penulis, penulis menggunakan
metode studi kepustakaan, dimana penulis memperoleh informasi dari buku dan
internet yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Malpraktek Medis
·
Menurut Stedman’s Medical Dictionary
Malpraktek adalah salah cara
mengobati suatu penyakit atau luka karena disebabkan sikap tindak yang acuh,
sembarangan atau berdasarkan motivasi criminal.
·
Menurut Coughlin’s Dictionary Law
Malpraktek adalah sikap tindak
professional yang salah dari seorang yang berprofesi, seperti dokter, ahli
hokum, akuntan, dokter gigi, dokter hewan.
·
Menurut Balck’s Law Dictionary
Malpraktek adalah sikap tindak yang
salah, kekurangan keterampilan dalam ukuran tingkat yang tidak wajar. Istilah
ini pada umumnya dipergunakan terhadap sikap tindak dari para dokter ,
pengacara, akuntan. Kegagalan untuk memberikan pelayanan professional dan
melakukan pada ukuran tingkat keterampilan dan kepandaian yang wajar didalam
masyarakatnya oleh teman sejawat rata-rata dari profesi itu, sehingga
mengakibatkan luka, kehilangan atau kerugian pada penerima pelayanan tererbut
yang cenderung menaruh kepercayaan terhadap mereka itu. Termasuk didalamnya
setiap sikap tindak professional yang salah, kekurangan keterampilan yang tidak wajar atau kurang kehati-hatian atau
kewajiban hokum, praktek buruk, atau illegal atau sikap immoral.
·
Menurut The Oxford Illustrated Dicionary
Malpraktek adalah sikap tindak yang
salah; (hokum) pemberian pelayanan terhadap pasien yang tidak benar oleh
profesi medis; tindakan yang illegal untuk memperoleh keuntungan sendiri
sewaktu dalam posisi kepercayaan.
Dari pengertian diatas bahwa yang
dimaksud dengan malpraktek adalah : tindakan dokter/ dokter gigi atau tenaga
kesehatan yang tidak sesuai dengan standar profesi, standar prosedur dan
informed consent yang mengakibatkan kematian atau cacat dan/atau kerugian
materi pada pasien baik yang dilakukan secara sengaja atau tidak sengaja.
2.
Unsur-unsur
Malpraktek Medis
Untuk memahami malpraktek medis dari padangan hokum,
pengertian dan isinya serta akibat hokum
bagi pembuatnya harus memahami isi dan syarat yang secara utuh ada dalam tiga
aspek pokok malpraktek medis tersebut. Perbuatan malpraktek medis terdapat pada
pemeriksaan, menarik diagnosis atas fakta hasil pemeriksaan, wujud perlakuan
terapi, maupun perlakuan untuk menghindari kerugian dari salah diagnosis dan
salah terapi.
Perbuatan dalam perlakukan medis dokter dapat berupa
perbuatan aktif dan dapat pula perbuatan pasif. Perbuatan dalam pelayanan/
perlakuan medis dokter yang dapat dipersalahkan pada pembuatnya harus
mengandung sifat melawan hokum. Sifat melawan hokum yang timbul disebabkan oleh
beberapa kemungkinan antara lain :
·
Dilanggarnya standar profesi kedokteran;
·
Dilanggarnya standar operasional
procedural;
·
Dilanggarnya hokum, misalnya praktik
tanpa SIP (Surat Izin Praktek) atau STR (Surat Tanda Registrasi);
·
Dilanggarnya kode etik kedokteran;
·
Dilanggarnya prinsip-prinsip umum
kedokteran;
·
Dilanggarnya kesusilaan umum;
·
Praktek kedokteran tanpa informed
consent;
·
Terapi tidak sesuai dengan kebutuhan
medis pasien;
·
Terapi tidak sesuai dengan informed
consent
Pertimbangan untuk menentukan
adanya malpraktek kedokteran tidak dapat dipisahkan dari sikap bathin dokter
sebelum berbuat sesuatu kepada pasiennya. Sikap bathin yang diperlukan dalam
malpraktek kedokteran dapat berupa kesengajaan atau kelalaian. Unsur-unsur yang
mengakibatkan terjadinya malpraktek antara lain :
·
Adanya perbuatan (aktif maupun pasif)
tertentu dalam praktek kedokteran
·
Yang dilakukan oleh dokter atau yang ada
dibawah perintahnya
·
Dilakukan terhadap pasiennya
·
Dengan sengaja maupun kelalaian
·
Yang bertentangan dengan standar
profesi, standar prosedur, prinsip-prinsip professional kedokteran atau
melanggar hokum, atau dilakukan tanpa wewenang baik disebabkan tanpa informed
consent, tanpa STR, tanpa SIP dilakukan tidak sesuai dengan kebutuhan medis
pasien dan sebagainya.
·
Yang menimbulkan akibat kerugian bagi
kesehatan fisik maupun mental, atau nyawa pasien
3.
Aspek
Hukum Malpraktek Medis
1.
Aspek
Hukum Perdata
Hubungan dokter dengan pasien merupakan transaksi
teraupetik yaitu hubungan hokum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua
belah pihak [1].
Berbeda dengan transaksi yang biasa dilakukan masyarakat, transaksi teraupetik
memiliki sifat atau ciri yang berbeda dengan perjanjian pada umumnya,
kekhususan terletak pada atau mengenai objek yang diperjanjikan.Hubungan hokum
dokter dengan pasien dalam kontrak teraupetik membentuk pertanggung jawaban
perdata malpraktek kedokteran.
Disamping melahirkan kewajiban bagi para pihak,
hubungan hokum antara dokter dan pasien juga membentuk pertanggung jawaban
hokum masing-masing. Bagi pihak dokter , prestasi berbuat sesuatu atau tidak
berbuat sesuatu in casu berbuat salah atau keliru dalam perlakukan medis yang
semata-mata dilakukan untuk kepentingan kesehatan pasien adalah kewajiban hokum
yang sangat mendasar dalam perjanjian dokter dengan pasie (kontrak teraupetik)
yang dalam Pasal 39 UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran disebut
sebagai kesepakatan antara dokter atau dokter gigi dengan pasien.
Ukuran
berbuat sesuatu secara maksimal dengan sebaik-baiknya harus berdasarkan pada
standar profesi medis dan standar prosedur
atau bagi dokter atau yang dalam UU No. 29 Tahun 2004 tentang Prakter
Kedokteran disebutkan dengan istilah”standar profesi dan standar operasional
prosedur” (pasal 50 jo 51). Sementara dalam pasal 44 (1) disebut sebagai
standar pelayana kedokteran atau dokter gigi yang isinya dibedakan menurut
jenis dan starata pelayana kesehatan (ayat 2) . Standar pelayanan kedokteran
dan dokter gigi lebih lanjut diatur dalam Peraturan Menteri (Ayat3)
. Beban
pertanggung jawaban dokter terhadap akibat malpraktek kedokteran karena
wanprestasi lebih luas dari beban pertanggung jawaban karena perbuatan melawan
hokum dari pasal 1236 jo 1239 BW, selain penggantian kerugian pasien juga dapat
menuntut biaya dan bunga. Wujud kerugian
dalam wanprestasi pelayana dokter harus benar-benar akibat (causal verband)
dari perlakuan medis yang menyalahi standar profesi kedokteran dan SOP.
Apabila
dalam perlakuan medis terdapat kesalahan dengan menimbulkan akibat
kerugian maka pasien berhak menuntut
adanya penggantian kerugian berdasarkan perbuatan melawan hokum (Pasal 1365
BW). Dalam hal ini perlakukan medis dokter yang menyalahi standa profesi
kedokteran dan SOP dapat masuk dalam kategori melawan hokum.
2.
Aspek
Hukum Pidana
Malpraktek medis bisa bisa masuk lapangan hokum pidana apabila memenuhi syarat-syarat
tertentu dalam 3 aspek, yaitu :
a) Syarat
dalam sikap batin
Sikap batin adalah sesuatu yang ada dalam batin
sebelum seseorang berbuat. Apabila kemampuan mengarahkan dan mewujudkan alam
batin kedalam perbuatan-perbuatan tertentu yang dilarang, hal itu disebut
kesengajaan. Namun apabila kemampuan berpikir , berperasaan, berkehendak itu
tidak digunakan sebagaimana mestinya dalam hal melakukan suatu perbuatan yang
pada kenyataannya dilarang, maka sikap batin tersebut dinamakan kelalaian
(culpa). Jadi perbedaan antara kesengajaan dan kelalaian sebenarnya hanyalah
dari sudut tingkatannya (graduasi belaka)
b) Syarat
dalam perlakuan medis
Yaitu syarat perlakuan medis yang menyimpang. Semua
perbuatan dalam pelayanan medis dapat
mengalami kesalahan (sengaja atau lalai ) yang pada ujungnya menimbulkan
malpraktek kedokteran apabila dilakukan secara menyimpang.
c) Syarat
mengenai hal akibat
Yaitu syarat mengenai timbulnya kerugian bagi
kesehatan atau nyawa pasien. Akibat yang boleh masuk pada lapangan malpraktek medis
harus akibat yang merugikan pihak yang ada hubungan hokum dengan dokter. Apakah
malpraktek medis masuk dalam lapangan perdata atau pidana, penentu pada akibat.
Sifat akibat dan letak hokum
pengaturannya menentukan kategori malpraktek kedokteran antara
malpraktek pidana atau perdata.
Dalam hokum pidana akibat merugikan yang masuk dalam
ranah hokum pidana apabila jenis kerugian tersebut masuk dalam rumusan
kejahatan menjadi unsur tindak pidana akibat kematian dan luka yang merupakan
unsur kejahatan pasal 359 dan 360 maka bila kelalaian/ culpa perlakukan medis
terjadi dan mengakibatkan kematian atau luka sejenis yang ditentukan dalam
pasal ini maka perlakuan medis masuk kategori malpraktek pidana.
Ada perbedaan
akibat kerugian oleh maplraktek perdata dengan malpraktek pidana. Kerugian
karena malpraktek perdata lebih luas dari malpraktek pidana. Akibat-akibat
malpraktek perdata khususnya termasuk perbuatan melawan hokum terdiri atas
kerugian materiil dan idiil. Bentuk-bentuk kerugian tidak dimuat secara khusus
dalam UU. Akibat malpraktek kedokteran yang menjadi tindak pidana harus berupa
akibat yang sesuai yang ditentukan dalam UU.
Malpraktek
pidana yang sering terjadi akibat tindakan medis antara lain :
a. Penganiayaan
(mishandeling)
Malpraktek medis dapat menjadi penganiayaan jika ada
kesengajaan , baik terhadap perbuatan maupun akibat perbuatan. Pembedahan tanpa informed consent termasuk
penganiayaan. Sifat melawan hukumnya terletak pada tanpa informed consent
sehingga jika ada informed consent maka pembedahan secara penganiayaan
kehilangan sifat melawan hokum. Informed consent merupakan dasar peniadaan
pidana, sebagai alasan pembenar, bukan alasan pemaaf.
Selain itu, alasan pembenar pembedahan
sebagai penganiayaan juga terletak pada maksud dan tujuannya, yakni untuk
mencapai tujuan yang patut. Arrest HR (10-2-1902) dalam pertimbangan hukumnya
menyatakan bahwa “jika menimbulkan luka atau sakit pada tubuh bukan menjadi
tujuan melainkan sarana belaka untuk mencapai suatu tujuan yang patut maka
tidak ada penganiayaan [2]. Dengan demikian sebaliknya, walaupun
mendapatkan informed consent jika untuk mencapai tujuan yang tidak patut maka
pembedahan merupakan penganiayaan.
KUHP membedakan lima macam penganiayaan,
yakni bentuk standar, atau sering disebut sebagai bentuk pokok (pasal 351) atau
biasa ; penganiayaan ringan (pasal 352); penganiayaan berencana (pasal 353);
penganiayaan berat (pasal 354) dan penganiayaan berat berencana pasal (355).
Unsur-unsur yang harus dibuktikan meliputi :
i.
Adanya kesengajaan
ii.
Adanya wujud perbuatan
iii.
Adanya akibat perbuatan
iv.
Adanya causa verband antara wujud
perbuatan dan timbulnya akibat yang terlarang.
b. Kealpaan
yang menyebabkan kematian
Pasal 359 KUHP dapat menampung semua perbuatan yang
dilakukan yang mengakibatkan kematian. Dimana kematian bukanlah dituju atau
dikehendaki. Disamping adanya sikap culpa harus ada tiga unsur lagi yang
menyebabkan orang lain mati yaitu :
i.
Harus adanya perbuatan
ii.
Adanya akibat berupa kematian
iii.
Adanya causa verband antara wujud
perbuatan dengan akibat kematian.
Khusus dalam
mencari causal verband antara tindakan medis dengan akibat yang timbul sesudah
tindakan medis dilakukan digunakan ilmu kedokteran sendiri. Tidak cukup dengan
akal orang awam, tetapi harus menggunakan ilmu kedokteran.
c. Kealpaan
yang menyebabkan luka-luka
Selain pasal 359 KUHP, pasal 360 KUHP juga sudah
lazim digunakan untuk mendakwa dokter atas dugaan malprakek kedokteran,
selanjutnya pasal 359 jika ada kematian dan pasal 360 jika ada luka.
Unsur-unsur
dalam pasal 360 ayat 1 yakni :
i.
Adanya kelalaian
ii.
Adanya wujud perbuatan
iii.
Adanya akibat luka berat
iv.
Adanya hubungan causal antara luka berat
dengan wujud perbuatan
Unsur-unsur
dalam pasal 360 ayat 1 yakni :
i.
Adanya kelalaian
ii.
Adanya wujud perbuatan
iii.
Adanya akibat : 1) yang menimbulkan
penyakit, 2) luka yang menjadikan halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau
pencarian selama waktu tertentu.
iv.
Adanya hubungan causal antara luka berat
dengan wujud perbuatan
Sama halnya dengan pasal 359, tindak pidana
ini juga merupakan tindak pidana materiil berupa tindak pidana dimana timbulnya
akibat oleh perbuatan sebagai syarat selesainya tindak pidana.
3.
Aspek
Hukum Administrasi
Dari sudut hokum, pelanggaran hokum administrasi
kedokteran merupakan sifat melawan hokum perbuatan malpraktek. Hukum
Administrasi Kedokteran UU No. 29 Tahun
2004 tentang Praktek Kedokteran , menentukan beberapa syarat bagi dokter untuk
menjadi wewenang menjalankan praktek. Syarat prakter tersebut adalah :
i.
Memiliki Surat Tanda Registrasi (STR)
Dokter atau Dokter gigi (pasal 29)
ii.
Khusus dokter lulusan luar negeri yang
praktek di Indonesia atau dokter asing dapat diberikan Surat Tanda Registrasi
(pasal 30)
iii.
Memiliki Surat Izin Praktek (SIP) (pasal 36 jo 37)
Untuk ahli
spesialis , ada peraturan menteri kesehatan no. 561/Menkes/Per/X/1981 tentang
pemberian ijin menjalankan pekerjaan dan ijin praktek bagi dokter spesialis.
Tindak pidana malpraktek
medis bermula dari pelanggaran hokum administrasi. Pelanggaran hokum
administrasi yang menjadi tindak pidana praktek medis, potensial menjadi
malpraktek pidana sekaligus malpraktek perdata. Setiap malpraktek pidana
sekaligus mengandung unsur malpraktek perdata. Tetapi malpraktek perdata tidak
selalu menjadi malpraktek pidana.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Tindak pidana
malpraktek medis bermula dari pelanggaran hokum administrasi. Pelanggaran hokum
administrasi yang menjadi tindak pidana praktek medis, potensial menjadi
malpraktek pidana sekaligus malpraktek perdata. Seitap malpraktek pidana
sekaligus mengandung unsur malpraktek perdata. Tetapi malpraktek perdata tidak
selalu menjadi malpraktek pidana.
Untuk melihat apakah malpraktek medis masuk dalam
lapangan perdata atau pidana, penentu pada akibat. Sifat akibat dan letak
hokum pengaturannya menentukan kategori
malpraktek medis antara malpraktek pidana atau perdata.
Dalam
aspek hokum perdata hubungan antara dokter atau tenaga kesehatan lainnya
merupakan transaksi teraupetik yaitu hubungan hokum yang melahirkan hak dan
kewajiban bagi kedua belah pihak. Beban pertanggung jawaban dokter terhadap
akibat malpraktek kedokteran karena wanprestasi lebih luas dari beban pertanggung
jawaban karena perbuatan melawan hokum dari pasal 1236 jo 1239 BW, selain
penggantian kerugian pasien juga dapat menuntut
biaya dan bunga. Wujud kerugian dalam wanprestasi pelayana dokter harus
benar-benar akibat (causal verband) dari perlakuan medis yang menyalahi standar
profesi kedokteran dan SOP.
Dalam aspek
hokum pidana Malpraktek medis bisa bisa masuk lapangan hokum pidana apabila memenuhi syarat-syarat
tertentu dalam 3 aspek pidana yaitu
: 1) syarat sikap batin, 2) syarat dalam perlakuan medis, 3) syarat dalam hal
akibat. Malpraktek pidana yang sering terjadi didalam malpraktek medis
adalah :1). Penganiayaan (pasal 351,
352, 353, 354, 353. 2) kealfaan yang menyebabkan kematian (pasal 359), 3)
kealpaan yang menyebabkan luka-luka (pasal 360)
Aspek hokum administrasi Dari
sudut hokum, pelanggaran hokum administrasi kedokteran merupakan sifat melawan
hokum perbuatan malpraktek. Hukum Administrasi Kedokteran UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek
Kedokteran , menentukan beberapa syarat bagi dokter untuk menjadi wewenang
menjalankan praktek.
Saran
Ada tidaknya
perbuatan malpraktek sebaiknya dikaji terlebih dahulu apakah sudah memenuhi
unsure-unsur dalam malpraktek atau tidak. Dan malpraktek yang selalu
dikonotasikan dengan praktek seorang dokter belum tentu dilakukan oleh seorang
dokter tetapi juga seseorang yang membuat seolah-olah dengan meyakinan orang
lain bahwa ia adalah dokter, hal tersebut bukanlah malpraktek kedokteran tetapi
malpraktek pidana.
Dan penyelesaian
kasus akibat terjadinya malpraktek sebaiknya diteliti terlebih dahulu apakah
diselesaikan dengan badan perlindungan konsumen, gugatan ganti rugi atau pidana
melalui aparat penegak hokum.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Veronica Komalawati, S.S.,M.H. Persetujuan Dalam
Hubungan Dokter Dan Pasien. Bandung, 1999.
Drs. H. Adami Chazawi, S.H. Malpraktik
kedokteran. Bayumedia Publising Malang, 2007.
J. Guwandi, S.H. Hukum Medik
FKUI. Jakarta, 2004.
KEMENKES RI. N0. 1076/MENKES/SK/VII/2003.
KUHP, KUHPer.
Rinanto Suryadhimartha, S.H.,M.Sc. Hukum
Malpraktik Kedokteran. Yogyakarta, Totalmedia 2011.
UU No. 29 Tahun 2009. Tentang Praktik Kedokteran.
[1]
Bahder Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Rineka Cipta,
Jakarta ,2005, hlm 11
[2]
Soenarto soerodibroto, 1994, KUHP dan KUHAP dilengkapi dengan prudensi mahkamah
agung dan hoge raad, penerbit PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, hl. 212
0 Response to "Malpraktek Medis"
Post a Comment
berandahukum.com tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE