RELEVANSI FILSAFAT HUKUM MASA ROMAWI TERHADAP PENYELENGGARAAN HUKUM DI INDONESIA
RELEVANSI FILSAFAT HUKUM MASA ROMAWI TERHADAP PENYELENGGARAAN HUKUM DI INDONESIA
Oleh : FENDI HUTAHAEAN, S.H.,M.H
Pada awalnya
filsafat muncul dan dikenal di Yunani pada kisaran tahun 700. Dalam bahasa
Yunani, filsafat disebut philoshopia.
Kata ‘philos’ atau ‘philia’ diartikan sebagai cinta
persahabatan, sedangkan ‘shopos’ atau
‘shopia’ berarti kebijaksanaan,
pengetahuan, ketrampilan, pengalaman praktis, dan inteligensia.[1]
Oleh karena demikian, philoshopia
dapat diartikan sebagai sebagai cinta kebijaksanaan atau kebenaran.[2]
Menurut Amsal Bakhtiar, sebagaimana mengutip Soemardi Soerjabrata, philosophos menghendaki adanya
pendalaman pengetahuan secara sistematis, logis, dan empiris, sebagai perwujudan
dari kecintaanya akan kebenaran.[3]
Philosophia
adalah hasil dari perbuatan yang disebut philosophien,
sedangkan philosophos adalah
orang yang melakukan philosophien.
Bermula dari kata ini pulalah dikenal kata philosophy
dalam bahasa Inggris, philosophie dalam
bahasa Belanda, Jerman, dan Perancis, atau filsafat atau falsafat dalam Bahasa
Indonesia.[4]
Lalu, sehubungan dengan pendefinisian mengenai filsafat ini, Muhammad Hatta,
mengatakan bahwa alangkah lebih baik untuk tidak memberikan pengertian tentang
filsafat, biarlah orang tersebut mempelajari filsafat terlebih dahulu dan
setelah orang tersebut mengerti, maka dengan sendirinya ia akan memberikan
pengertian apa itu filsafat.[5]
Pendapat Hatta di
atas, dimaksudkan agar setiap individu dibebaskan untuk menemukan defenisi atau
pengertian dari filsafat itu sendiri dengan melalui perenungan yang dilakukan
masing-masing individu. Seperti kontemplasi yang dilakukan oleh filsuf-filsuf
lintas generasi, yakni Phytagoras dalam perenungannya menghasilkan pengertian philosophia atau filsafat dengan mengatakan makna yang jauh lebih
luas dari kebijaksanaan yang dipadankan dalam konteks awam, dimana tujuan
kebijaksaan dalam pandangannya menyangkut kemajuan menuju keselamatan dalam hal
keagamaan.[6]
Oleh karena demikian, hasil kontemplasi yang dilakukan oleh Phytagoras ini,
disimpulkan Ali Mudhafar, bahwa inti filsafat adalah mencari keutamaan mental.[7] Sedangkan,
Aristoteles dalam pandangannya memfokuskan bahwa filsafat berurusan dengan
penelitian sebab-sebab dan prinsip-prinsip segala sesuatu.[8]
Salah satu yang
menjadi objek perenungan para filsuf-filsuf dalam lintasan sejarah adalah
tentang hukum. Sebab di antara gejala-gejala yang ditemui setiap manusia dalam
hidupnya adalah hukum. Manakala hukum menjadi objek filsafat maka yang dicari adalah
makna hukum itu sendiri.[9] Sejak
zaman awal munculnya filsafat, para filsuf-filsuf menanggapi hukum sebagai cermin aturan alam
semesta atau disebut sebagai hukum alam. Ini berarti hukum sudah menjadi bahan
refleksi sejak dahulu kala. Pada masa ini hukum alam dipandang sebagai hukum
yang merupakan suatu hukum tersendiri lepas dari hukum yang mengatur hidup
bersama orang-orang dalam undang-undang.
Pada zaman
Yunani-Romawi hukum alam disamakan dengan prinsip-prinsip suatu aturan ilahi
yang terkandung dalam alam itu. Dalam pandangan filsuf-filsuf Yunani Kuno
khususnya dalam filsafat trio filsuf Athena (Socrates, Plato, dan Aristoteles),
hukum ditanggapi sebagai pernyataan dari yang ilahi. Demikian juga dalam filsafat
stoa yang sangat berpengaruh dalam kerajaan Romawi. Filsuf-filsuf ini sangat
prihatin terhadap aspek keadilan dalam hukum, oleh karena itu filsuf-filsuf
dalam zaman ini hanya menerima hukum dalam arti keadilan yakni hukum alam.
Pikiran-pikiran
para filsuf pada zaman Yunani-Romawi ditujukan pada permasalahan hukum dan
dapat mempertanggungjawabkan seluruh gejala hukum secara mendalam. Seluruh
sejarah filsafat hukum menjelaskan bahwa masalah yang sebenarnya dalam bidang
filsafat hukum adalah tidak lain daripada masalah keadilan. Sejak semula hukum
alam sudah merupakan pokok filsafat hukum dan sampai zaman sekarang masalah ini
selalu muncul kembali dan diperdebatkan orang. Para filsuf-filsuf dari berbagai
lintas generasi mencoba menjawab tentang hakikat dari hukum, sebab objek
filsafat hukum adalah hukum, dan objek tersebut dikaji secara mendalam sampai
kepada inti atau dasarnya, yang disebut dengan ‘hakikat’.[10]
Aristoteles dalam
filsafatnya tentang hukum, menguraikan bahwa hukum harus dibagi ke dalam dua
kelompk, yakni hukum alam atau hukum kodrat yang menjadi hukum yang pertama,
sedangkan hukum yang kedua adalah hukum positif yang dibuat oleh manusia.[11]
Terkait dengan hukum positif ini, ia menerangkan dalam pembentukan hukum itu
hendaknya senantiasa mempertimbangkan dan mengisi rasa keadilan ke dalam hukum
itu. Rasa keadilan yang dimaksudnya ialah rasa tentang yang baik dan pantas
bagi orang-orang yang hidup bersama. Oleh karena itu berlakunya prinsip
keadilan yang diajukan Aristoteles, yakni : kepada yang sama penting diberikan
yang sama, sedangkan kepada yang tidak sama penting diberikan yang tidak sama.[12]
Sejarah
perkembangan filsafat hukum masa Romawi dimulai dengan ditandai dibangkitkannya
kembali ajaran Stoa yang pragmatis oleh tokoh-tokoh bangsa Romawi seperti
Sineca (2-65 Seb.Masehi), Cicero, dan Agustinus. Sebagimana diketahui ajaran
Stoa atau Atoisme dirintis oleh Zeno (336-264 Seb. Masehi) yang muncul pada
zaman Hellenisme. Inti terpenting ajaran Stoa adalah etika. Menurut ajaran ini,
manusia adalah bagian dari alam, sehingga ia wajib untuk hidup selaras dengan
alam.[13]
Bagaimanapun alam ini sudah berjalan sebagaimana adanya rasio (logos)-nya
sendiri, sehingga semua kejadian yang sudah ditentukan oleh alam itu tidak
mungkin dapat dielakkan oleh manusia.
Bangsa Romawi
mengambil alih pikiran-pikiran dari ajaran Stoa dan kemudian mengembangkan
pikiran-pikiran Stoa itu serta meneruskan cara berpikir tersebut. Oleh
karenanya, bagi bangsa Romawi hukum yang sempurna terdiri dari akal murni yang
sesuai dengan alam. Hukum ini bersifat statis dan kekal/abadi dan ada
dimana-mana. Hukum ini memerintahkan dengan aturan-aturannya untuk melakukan kewajiban-kewajiban
serta larangan-larangannya untuk menakut-nakuti setiap orang agar tidak
melakukan kejahatan.[14]
Di samping itu, hukum ini juga memberikan kewajiban-kewajiban kesusilaan, dan
dikenal semua bangsa Romawi sebagai hukum kodrat umum. Oleh karena itu, segala
hukum manusia harus sesuai dengan hukum kodrat, dan setiap hukum psositif harus
memuat pedoman-pedoman hukum kodrat.
Pengembangan
nilai-nilai hukum kodrat atau hukum alam ke dalam hukum positif menjadikan
Bangsa Romawi menjadi termasyur, dan menjadi acuan bangsa-bangsa lain dengan
mengadopsi cita-cita hukum kodrat atau hukum alam dari sistem hukum Romawi, di
mana pada awalnya bangsa Romawi hanya mengenal perbedaan antara ius civile (hukum positif yang berlaku
untuk warga negara Romawi) dan ius
gentium (hukum positif yang berlaku bagi wrga negara lain).[15]
Kedua hukum tersebut bukanlah hukum yang dicita-citakan sebagai hukum kodrat.
Kemudian dengan mengadopsi dan mengembangkan pikiran-pikiran dari ajaran Stoa,
bangsa Romawi menetapkan ius gentium sebagai
hukum yang memiliki satu ciri utama dari hukum kodrat, sebab
kesimpulan-kesimpulan dari bentuk hukum itu adalah hasil rasio manusia dan oleh
karena hukum itu juga mempunyai kekuatan umum.[16]
Adapun alasan
bangsa Romawi menyamakan ius gentium sebagai hukum kodrat dan dianggap merupakan
bagian hukum kodrat yang dijadikan hukum posistif yaitu dikarenakan hukum tersebut
memberikan rasa keadilan tanpa harus membentuk hukum dimaksud dalam suatu
undang-undang. Kemudian hukum itu memuat ketentuan-ketentuan yang dianggap
tidak memerlukan bukti lebih lanjut, seperti : setiap tidak akan membunuh;
setiap tidak akan mencuri; setiap tidak akan melakukan tndakan-tindakan yang
bertentang dengan hukum.[17]
Oleh karena demikian, bagi bangsa Romawi hukum antar bangsa tersebut adalah
“adil” menurut kodrat, dan atas dasar itulah hukum Romawi berkembang ke arah
yang lebih “inti” dari hukum kodrat.
Ketentuan-ketentuan hukum kodrat yang oleh
semua bangsa diperhatikan dengan cara-cara yang sama dan ditetapkan oleh Tuhan
adalah tetap dan tidak berubah-ubah.[18]
Akan tetapi setiap aturan-aturan yang dibuat oleh setiap negara untuk keperluan
negara umumnya mendapatkan perubahan-perubahan, baik dengan persetujuan
masyarakat secara diam-diam maupun dengan cara mengeluarkan undang-undang baru.
Ius gentium atau hukum positif tidak
dapat merubah hukum kodrat/hukum alam, sepanjang hukum ius gentium itu tidak memuat ketentuan-ketentuan hukum kodrat
murni. Disini cita-cita hukum hukum kodrat menjadi lebih tinggi daripada ius gentium atau hukum positif. Dalam sejarah
perkembangan filsafat hukum masa Romawi, tugas hukum kodrat melengkapi hukum
positif sedemikian rupa sehingga unsur kelayakan dimasukkan ke dalamnya. Hukum
kodrat memberi keadilan menurut kodratnya untuk melunakkan kekerasan atau
kekakuan hukum positif. Sepanjang Ius
gentium atau hukum positif memuat unsur
hukum kodrat atau hukum alam maka hukum positif tersebut memuat pelaksanaan
dari cita-cita hukum kodrat.[19]
Sebagaimana telah
diuraikan di atas, perkembangan sejarah filsafat hukum masa Romawi dimulai
dengan ditandai dibangkitkannya kembali ajaran Stoa yang pragmatis oleh
tokoh-tokoh bangsa Romawi. Oleh karenanya, konsep pemikiran yang mencirikan
filsafat hukum masa Romawi dapat ditinjau dari pikiran-pikiran para tokoh-tokoh
pemikir hukum pada masa Romawi, seperti Cicero dan Agustinus.
1. Cicero
Sebagai salah satu
tokoh pada masa Romawi, Cicero banyak mengemukakan pemikirannya dengan
mengkonstruksikan persepsi mengenai hukum alam melalui prinsip-prinsip dasar
yang bersifat filosofi. Pemikiran Cicero ini muncul oleh karena dilatari
kondisi politik selama tahun terakhir di Republik Romawi dan karakter hukum
Romawi yang dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangannya. [20]
Pada masa itu Republik Romawi hanya mengenal dua bentuk hukum yakni ius civile dan ius gentium. Ius civile adalah hukum positif yang berlaku bagi
warga negara Romawi, sedangkan ius
gentium merupakan hukum antar bangsa yang menjadi hukum positif bagi warga
negara lain. Oleh karena itu, Cicero mengadakan perbedaan antara kedua hukum
dengan mengatakan bahwa ius civile tidak
selamanya merupakan hukum antar bangsa, akan tetapi apa yang termasuk dalam ius gentium harus selalu ius civile.[21]
Artinya, bahwa hukum yang berlaku bagi warga Romawi tidak serta merta juga
diatur dalam hukum antar bangsa, tetapi setiap aturan-aturan yang diatur dalam
hukum antar bangsa tersebut, sudah barang tentu juga harus diberlakukan bagi
warga Romawi.
Cicero adalah
seorang ahli hukum dari Romawi dan juga orator ulung. Pemikirannya tentang
hukum sangat dipengaruhi oleh filsafat Yunani, khususnya buah pikiran dari trio
Filsuf Athena, Socrates, Plato, dan Aristoteles, serta pemikiran-pemikiran dari
kaum Stoa. Ia mengajarkan konsep tentang hukum yang benar yang disesuaikan
dengan penalaran yang benar, serta sesuai dengan alam/kodrat, sehingga bagi
Cicero, hukum apapun itu harus bersumber dari hukum alam atau hukum kodrat.
Setiap manusia lahir untuk keadilan dan hukum tidaklah didasarkan pada opini
melainkan pada sifat alamiah.[22]
Menurut Cicero,
negara merupakan perkumpulan orang banyak yang dipersatukan melalui suatu
aturan hukum berdasarkan kepentingan bersama, sehingga pengertian negara
sebagai masyarakat moral sudah dilepaskan. Negara hanya merupakan masyarakat
hukum atau disebut sebagai komunitas hukum, namun supaya benar dalam pelaksanaannya,
negara harus berpedoman kepada hukum alam dan memajukan kepentingan umum. Oleh
karenanya, bagi Cicero, hukum yang benar adalah adanya kesesuaian antara akal
dengan alam, hal ini merupakan kebutuhan universal, tidak berubah dan abadi.[23] Hukum
yang benar akan memuat tentang perintah-perintah untuk melaksanakan kewajiban
dan berpaling dari perbuatan jahat dan larangan-larangan. Tidak ada perbedaan
antara masa sekarang dengan masa yang akan datang, tetap sama, abadi dan tidak
berubah, hukum akan sesuai untuk semua bangsa dan setiap waktu.
Bagi Cicero, Tuhan
akan mengatasi semua permasalahan yang dihadapi setiap manusia, dan DIA lah
yang menciptakan hukum dan
mengajarkannya kepada kita, sekaligus juga Tuhan bertindak sebagai hakim. Hukum
yang sejati adalah akal yang benar atau rasio kodrat, sesuai dengan alam, ia
dapat dipergunakan secara universal, tidak berubah-ubah dan kekal.[24]
Hukum alam bersifat menentukan tentang apa yang adil dan apa yang tidak adil di
antara manusia dan di antara sesama mahkluk di dunia. Karena alasan yang sama
hukum alam itu harus bersifat abadi, yakni harus berlaku di mana-mana bagi
semua orang/bangsa dan setiap waktu. Hukum alam merupakan wujud dari Perintah
Tuhan dengan sifat rasional dan sosial manusia, berlaku di mana pun, tetap dan
mengikat semua orang dari semua bangsa.
Oleh karena
berlandaskan ajaran hukum alam atau hukum kodrat inilah menjadikan Cicero
sebagai orang yang sangat tidak setuju dengan kekerasan yang menjadi cara utama
pemerintah Romawi dalam menyelesaikan segala permasalahan, dan hal ini juga
memotivasi Cicero sampai akhir hayatnya untuk membawa Romawi ke arah yang lebih
baik dan menjadi inspirasi bagi negara-negara lain sampai masa sekarang. Cicero
menuangkan pemikirannya mengenai hukum dengan mengkonstruksikan bahwa hukum
terwujud dalam suatu hukum alamiah yang mengatur baik alam maupun hidup
manusia.[25]
Oleh karena itu, Filsafat hukum Cicero dalam esensinya mengemukakan konsepsi
tentang persamaan (equality) semua
manusia di bawah hukum alam.
2. St. Agustinus
Tidak jauh berbeda
dengan Cicero, filsafat hukum Agustinus juga masih bernuansa hukum alam atau
kodrat yang menekankan pada aspek keadilan. Agustinus menyumbangkan pemikiran
mengenai hukum pada saat pergolakan menjelang keruntuhan kekaisaran Romawi
dengan memberikan poin tambahan pada unsur hukum alam sebelumnya. Jika keadilan
dipahami hanya sebatas hidup yang baik, tidak menyakiti siapa pun, dan memberi
kepada setiap orang apa yang menjadi miliknya, maka bagi Agustinus itu semua
belum cukup, akan tetapi salah satu unsur terpenting dari keadilan adalah
mengenal Tuhan.[26]
Ia melihat hukum sebagai sesuatu yang didominasi oleh tujuan perdamaian. Konsep
inilah yang menjadikan Agustinus berseberangan dengan cara-cara kerajaan Romawi
dalam menyelesaikan segala permalasahan, di mana ia menganggap tindakan syang
dilakukan oleh Kerajaan Romawi itu sebagai tindakan segerombolan perampok
karena mereka tidak memiliki keadilan.[27]
Menurut Agustinus,
semua unsur keadilan itulah yang seharusnya menjadi hukum, karena tanpa keadilan,
maka hukum dalam bentuk apapun tidak layak disebut hukum. Sebagai tokoh agama,
ia menempatkan hukum ilahi sebagai cita dari hukum positif. Oleh karena hukum
ilahi bersifat abadi dan tidak berubah-ubah menempatkan batas pada semua hukum
positif yang tidak boleh terlampaui, jika hukum positif melanggar aturan ilahi
tersebut maka ia telah kehilangan kualitas hukumnya.[28]
Konsep pemikiran Agustinus ini merupakan upaya mentransformasikan konsep Cicero
mengenai komunitas hukum, menjadi komunitas ‘kemurahan hati’ dan ‘cinta kasih’,
sebab nilia-nilai yang dihargai oleh komunitas itu terdapat nilai keadilan.[29]
Dengan menambahkan aspek pengenalan akan Tuhan sebagai sisi penting keadilan,
maka Agustinus memberi bobot kesalehan pada keadilan, dan menjadikan keadilan sebuah
kualitas yang pada akhirnya menghantarkan setiap orang pada hidup terhormat di
mata Tuhan dan sesama.
Agustinus memberikan
sumbangan pemikirannya pada pengembangan eksplanasi hukum lewat beberapa
konsep. Pertama, melalui konsep
pengenalan akan Tuhan sebagai prasyarat keadilan dan konsep ini sekaligus
memberikan sinyal betapa penting peran sikap etis iman terhadap berseminya
keadilan dalam hukum.[30] Maksudnya,
nilai etik yang bersumber pada agama dan iman dapat mengkondisikan dan
menginspirasi penyelenggaraan hukum dan keadilan. Kedua, melakukan kajian secara empiris tentang banyak hal, misalnya
kaitan antara tata hukum positif dengan penghayatan iman seseorang dalam
komunitas hukum, korelasi antara aparat penegak hukum dengan kepekaannya
tentang keadilan. Sedangkan yang Ketiga, ialah
mengkondisikan lahirnya perdamaian dan keadilan sebagai wujud mengingatkan
tentang pentingnya modal sosial dalam kehidupan hukum.
Dengan demikian,
filsafat hukum yang dikembangkan oleh Agustinus adalah doktrin hukum dan konsep
hukum yang bersumber dari ajaran kristen katolik. Agustinus berpendapat bahwa
hukum adalah berasaskan dari kemauan-kemauan Sang Pencipta manusia yang berlaku
secara alami dan universal. Ia menghendaki hukum harus didasari oleh nilai etis
iman yang dapat mengkondisikan dan menginspirasi penyelenggaraan hukum dan
keadilan itu. Iman yang dimaksud adalah pengenalan akan Tuhan yang akan
menghantarkan orang pada nilai-nilai kasih dan cinta pada sesama.
Filsafat hukum
pada masa Romawi tidak jauh berbeda dari pemikiran para filsuf-filsuf Yunani
yang mengakui hukum yang benar adalah hukum alam atau hukum kodrat, yang lebih
menekankan pada aspek keadilan. Aliran filsafat yang paling mempengarui
perkembangan pemikiran hukum pada masa Romawi ini ialah ide dasar dari aliran
Stoa. Ide dasar tersebut ialah bahwa semua yang ada merupakan satu kesatuan
yang teratur berkat suatu prinsip yang menjamin kesatuan, yaitu budi ilahi.[31]
Manusia sebagai bagian dari alam semesta dikuasai akal. Akal menentukan
kemampuannya sedemikian rupa sehingga ia mencapai kesempurnaan. Jika manusia
yang ditakdirkan sebagai makhluk sosial dan warga masyarakat hidup menurut
akalnya, ia hidup secara alamiah.[32]
Hukum alam identik
dengan kewajiban moral. Undang-undang yang dibuat oleh negara ditaati karena
sesuai dengan hukum alam, dan karenanya manusia dipertahankan dan dikembangkan
disebabkan ketaatannya akan hukum alam. Hukum positif kadang-kadang menghambat
perkembangan hidup dan sangat merugikan keadilan. Dalam hubungan antara manusia
yang satu dengan manusia yang lainnya menurut aliran Agustinus seorang pemikir
filsafat hukum masa Romawi, didasarkan atas dua prinsip, yaitu jangan merugikan
seseorang dan berikanlah tiap-tiap manusia apa yang menjadi haknya. Jika
prinsip ini ditaati barulah hal itu disebut adil. Budi ilahi mewujudkan diri
dalam hidup bersama melalui hukum alam. Oleh sebab hukum alam ini merupakan
pernyataan budi ilahi, maka hukum alam bersifat menentukan tentang apa yang
adil dan apa yang tidak adil, dan karena alasan yang sama hukum itu harus
bersifat abadi, yakni berlaku di mana-mana bagi semua orang.
Ketika manusia
sepakat atas eksistensi keadilan, maka mau tidak mau keadilan harus mewarnai
perilaku dan kehidupan manusia dalam hubungan dengan Tuhannya, dengan sesama
individu, dengan masyarakat, dengan pemerintah, dengan alam, dan dengan makhluk
ciptaan Tuhan lainnya.[33]
Keadilan harus terwujud di semua lini kehidupan, dan setiap produk manusia
haruslah mengandung nilai-nilai keadilan, karena sejatinya perilaku dan produk
yang tidak adil akan melahirkan ketidakseimbangan, ketidakserasian yang
berakibat kerusakan, baik pada diri manusia sendiri maupun alam semesta.
Keadilan harus diwujudkan agar mampu memaknai supremasi hukum, menghilangkan
imparsialitas hukum dan tetap pada entitas keadilan.
Pada prinsipnya,
hukum dan keadilan merupakan dua elemen yang tidak dapat terpisahkan, karena
keduanya saling bertautan yang merupakan “conditio
sine qua non” bagi yang lainnya. Supremasi hukum yang selama ini diidentikkan
dengan kepastian hukum sehingga mengkultuskan undang-undang, dan hal ini
menjadi titik awal timbulnya masalah penegakan hukum. Undang-undang memang
harus ditempatkan sebagai suatu yang harus dilaksanakan karena merupakan
manifestasi konsensus sosial, namun konsensus tersebut adalah sebuah momentum
sesaat yang tidak mampu mengikuti arah gerak keadilan yang terus begerak
mengikuti waktu dan ruang.[34]
Hukum adalah manifestasi eksternal keadilan dan keadilan adalah internal
autentik dan esensi roh wujud hukum, sehingga supremsi hukum adalah supremasi
keadilan, dan begitu pula sebaliknya.[35]
Bagi
penyelenggaraan hukum di Indonesia dewasa ini, prinsip daripada pemikiran
filsafat hukum masa Romawi ini dapat dijadikan landasan kerja dalam penegakan
hukum. Sebab, banyak kejadian yang memilukan dalam penegakan hukum di
Indonesia, karena lupa akan prinsip filsafat hukum yang ditawarkan ini. Di
tengah dominasi positivisme yuridis, aparat penegak hukum kerap kali larut
dalam rimba logika aturan yang serba
formal-legalistik tanpa tergugah melakukan refleksi mengenai aturan yang
dihadapinya. Melalui konsep hukum alam atau hukum kodrat masa Romawi ini serasa
mengingatkan bahwa cara-cara yang dilakukan aparat penegak hukum itu justru
dapat mereduksi hakikat dari hukum itu sendiri yakni keadilan. Oleh sebab
berhenti pada pembacaan undang-undang sebagai peraturan dapat menimbulkan
kesalahan besar karena kaidah yang mendasari peraturan itu menjadi terluputkan.
Kaidah itu adalah roh dari peraturan tersebut, yaitu keadilan.[36]
Dengan berpegang
pada prinsip filsafat hukum masa Romawi tersebut, yaitu hukum alam atau hukum
kodrat, aparat penegak hukum berpeluang melakukan penegakan hukum yang benar
sebagaimana yang dikehendaki oleh Cicero. Ketentuan hukum dalam bentuk
undang-undang bukan merupakan harga mati. Penegakan hukum yang dilakukan dengan
dilandasi semangat pro-keadilan atau semangat hukum kodrat, aturan yang beku
dan kaku itu dapat dikesampingkan manakala aturan itu menimbulkan dekadensi,
suasana korup, dan implikasi merugikan kepentingan manusia secara umum. Dengan
demikian, pemikiran filsafat hukum masa Romawi menunjukkan bahwa filsafat hukum
hadir sebagai sebuah bentuk perlawanan terhadap ketidakmampuan ilmu hukum dalam
membentuk dan menegakkan kaidah dan putusan hukumm sebagai suatu sistem yang
logis dan konseptual. Oleh karena itu, filsafat hukum merupakan alternatif yang
dipandang tepat untuk memperoleh solusi yang tepat terhadap permasalahan hukum.
Dari uraian-uraian di atas maka dapat
ditarik beberapa kesimpulan sebagai
berikut :
1. Sejarah
perkembangan filsafat hukum masa Romawi dimulai dengan ditandai dibangkitkannya
kembali ajaran Stoa yang pragmatis oleh tokoh-tokoh bangsa Romawi seperti
Cicero, dan Agustinus, yaitu dengan mengambil alih pikiran-pikiran dari ajaran
Stoa dan kemudian mengembangkan pikiran-pikiran Stoa itu serta meneruskan cara
berpikir tersebut. Dalam sejarah perkembangan filsafat hukum masa Romawi ini,
para filsuf mengembangkan kembali konsep hukum alam atau hukum kodrat. Ajaran
hukum kodrat ini diadopsi untuk melengkapi hukum positif sedemikian rupa
sehingga unsur kelayakan dimasukkan ke dalamnya, karena hukum kodrat dianggap memberikan
keadilan menurut kodratnya untuk melunakkan kekerasan atau kekakuan hukum
positif.
2. Oleh
karena filsafat hukum masa Romawi mengambil alih pikiran-pikiran pada zaman
Stoa, maka konsep pemikiran yang mencirikan filsafat hukum masa Romawi adalah
konsep hukum alam atau hukum kodrat yang menekankan pada aspek keadilan. Jadi,
jika hukum itu dapat memberikan rasa keadilan meskipun tidak berbentuk
undang-undang, maka hukum itu harus disamakan dengan hukum kodrat dan dijadikan
sebagai hukum positif
3. Relevansi filsafat hukum masa Romawi bagi
penyelenggaraan hukum di Indonesia adalah bahwa prinsip daripada pemikiran
filsafat hukum masa Romawi dapat dijadikan landasan kerja dalam penegakan
hukum, untuk menerobos kekakuan dan mencairkan kebekuan hukum di Indonesia,
karena dominasi positivesme yuridis yang kerap kali mereduksi hakikat dari
hukum itu sendiri yakni keadilan. Melalui
konsep filsafat hukum kodrat masa Romawi ini juga sekaligus mengingatkan aparat
penegak hukum untuk tidak berhenti pada pembacaan undang-undang saja, melainkan harus memiliki kemampuan untuk
menghayati dan “menangkap” kaidah yang hidup dalam suatu peraturan perundang-undangan,
sehingga ketika suatu peraturan perundang-undangan menimbulkan dekandensi dan
implikasi merugikan kepentingan manusia secara umum, maka aturan tersebut dapat
dikesampingkan.
REFERENSI
Amsal
Bakhtiar, Filsafat Agama, (Logos,
Jakarta, 1997)
Bernard
L. Tanya, et.al, Teori Hukum – Strategi
Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, (Genta Publishing, Yogyakarta,
2013)
Darji
Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok
Filsafat Hukum : Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, (Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2004)
Lorens
Bagus, Kamus Filsafat, (Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2005)
Sukarno
Aburaera, et.al, Filsafat Hukum – Teori
dan Praktik, (Prenada Media Group, Jakarta, 2013)
Soetiksno,
Filsafat Hukum, Bagian II, (Pradnya
Paramita, Jakarta, 1978)
Theo
Huijbers, Filsafat Hukum, Kanisius,
Yogyakarta, 1995
Zainuddin
Ali, Filsafat Hukum, (Sinar Grafika,
Jakarta, 2016)
[1] Sukarno Aburaera, et.al,
Filsafat Hukum – Teori dan Praktik, Prenada Media Group, Jakarta, 2013,
hlm. 25
[2] Amsal Bakhtiar, Filsafat
Agama, Logos, Jakarta, 1997, hlm. 7
[3] Ibid.
[4] Sukarno Aburaera, et.al,
Op.cit, hlm. 26
[5] Ibid.
[6] Lorens Bagus, Kamus
Filsafat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005, hlm. 244
[7] Sukarno Aburaera, et.al,
Op.cit, hlm. 27
[8] Ibid, hlm. 28
[9] Theo Huijbers, Filsafat
Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 1995, hlm. 18
[10] Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum : Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum
Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004, hlm. 11
[11] Theo Huijbers, Op.cit, hlm.
24
[12] Ibid.
[13] Sukarno Aburaera, et.al,
Op.cit, hlm. 78
[14] Soetiksno, Filsafat Hukum,
Bagian II, Prednya Paramita, Jakarta, 1978, hlm 12
[15] Ibid, hlm. 13
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Ibid, hlm. 14
[19] Ibid, hlm. 15
[20] Zainuddin Ali, Filsafat
Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2016, hlm. 14
[21] Soetiksno, Op.cit, hlm.
13-14
[22] Ibid, hlm. 16
[23] Ibid.
[24] Ibid.
[25] Zainuddin Ali, Loc.cit
[26] Bernard L. Tanya, et.al,
Teori Hukum – Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta
Publishing, Yogyakarta, 2013, hlm. 50-51
[27] Ibid, hlm. 51
[28] Ibid, hlm. 52
[29] Ibid.
[30] Ibid.
[31] Sukarno Aburaera, et.al,
Op.cit, hlm. 185-186
[32] Ibid. hlm. 186
[33] Ibid, hlm. 177
[34] Ibid, hlm. 179
[35] Ibid.
[36] Bernard L. Tanya, et.al,
Op.cit, hlm. 58
0 Response to "RELEVANSI FILSAFAT HUKUM MASA ROMAWI TERHADAP PENYELENGGARAAN HUKUM DI INDONESIA"
Post a Comment
berandahukum.com tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE