Takut akan Tuhan adalah Permulaan Pengetahuan

Sejarah Munculnya Pembagian Kekuasaan

1. Di Eropa 

Pada abad Pertengahan (kira-kira tahun 1000 – 1500 M), kekuasaan politik menjadi persengketaan antara Monarki (raja/ratu), pimpinan gereja, dan kaum bangsawan. Kerap kali Eropa kala itu, dilanda perang saudara akibat sengketa kekuasaan antara tiga kekuatan politik ini. 

Sebagai koreksi atas ketidakstabilan politik ini, pada tahun 1500 M mulai muncul semangat baru di kalangan intelektual Eropa untuk mengkaji ulang filsafat politik yang berupa melakukan pemisahan kekuasaan. Tokoh-tokoh seperti John Locke, Montesquieu, Rousseau, Thomas Hobbes, merupakan contoh dari intelektual Eropa yang melakukan kaji ulang seputar bagaimana kekuasaan di suatu negara/kerajaan harus diberlakukan.

Filsuf Inggris, yakni John Locke, menjabarkan pemikirannya mengenai seperations of power atau dikenal juga sebagai teori pemisahan kekuasaan pada bukunya yang berjudul Two Treatises on Civil Government yang diterbitkan tahun 1690 yang ditulis sebagai kritik pada kekuasaan absolute raja Stuart dan membenarkan The Glorious Revolution  yang dimenangkan oleh parlemen Inggris. 

Berdasarkan pengalaman pahit atas kekuasaan absolute yang dijalankan Inggris pada waktu itu, Locke berpendapat abahwa harus ada pemisahaan kekuasaan diantara organ-organ pemerintah yang menjalankan fungsi yang berbeda. Dalam hal ini ketiganya bekerja secara terpisah. John Locke menyebutkan tiga lembaga pemerintahan berdasarkan teori pemisahan kekuasaannya, yakni:


  1. Lembaga eksekutif, yang berfungsi sebagai lembaga yang menangani pembuatan peraturan dan perundang-undangan,
  2. Lembaga legislatif, yang berfungsi sebagai lembaga yang menjalankan peraturan dan perundang-undangan, termasuk lembaga yang bekerja untuk mengadili pelanggaran peraturan dan perundang-undangan, 
  3. Lembaga federatif, yang menjalankan fungsi dalam hubungan diplomatik dengan negara lain, seperti mengumumkan perang dan perdamaian terhadap negara-negara lain dan mengadakan perjanjian.
Dalam pemisahan kekuasaan tersebut, Locke menekankan posisi lembaga eksekutif yang lebih tinggi daripada lembaga legislatif maupun lembaga federatif. Hal ini diperlihatkan oleh pernyataan Locke (1690) pada bukunya yang berjudul Two Treatises on Civil Government, bahwa lembaga legislatif memiliki kuasa untuk mengerahkan bagaimana kekuatan negara harus digunakan dan Mempertahankan masyarakat di dalamnya. Dari pendapatnya mengenai penonjolah fungsi legislatif ini, maka tak heran jika Locke hampir selalu bertentangan dengan kekuasaan peradilan. 

Dari pemisahaan kekuasaan ini, Locke juga menekankan fungsi negara untuk menjamin kehidupan masyarakat di dalamnya. Seiring pula dengan teori kontrak sosial, bahwa negara terebentuk atas adanya kesepakatan masyarakat, maka Locke menekankan bahwa dalam menjalankan fungsinya, lembaga-lembaga tersebut tidak bebas dari pengawasan masyarakat.

Setengah abad setelah munculnya pemikiran Locke, Montesquieu kemudian muncul dengan pemikirannya yang memperbaharui pemikiran Locke mengenai pembagian kekuasaan menjadi teori pemisahan kekuasaan. Teori ini disebut sebagai teori Trias Politika yang terdapat dalam bukunya yang berjudul De L’espirit Des Lois atau The Spirit of Laws.

Dalam bukunya tersebut, dijelaskan bahwa Trias Politika merupakan teori yang mengindikasikan adanya pemisahan kekuasaan secara mutlak dalam pemerintahan untuk menghindari terjadinya kesewenang-wenangan dalam pemerintah sehingga hak masyarakat dapat terjamin. Pembagian kekuasaan yang disebutkan Montesquieu antara lain:

  1. Lembaga legislatif, yang terdiri dari orang-orang tertentu yang dipilih untuk membuat undang-undang, sebagai refleksi dari kedaulatan rakyat, mediator dan komunikator diantara rakyat dan penguasa, dan agretor aspirasi,
  2. Lembaga eksekutif, yakni raja atau di era modern dikenal sebagai presiden yang menjalankan undang-undang, dan
  3. Lembaga yudikatif, yakni lembaga peradilan yang bertugas untuk menegakkan keadilan.
Asumsi dasar yang menjadi penopang lahirnya ide separation of power adalah adanya pemikiran mengenai bahwa kebebasan akan hilang ketika orang yang sama berada dalam satu badan pemerintahan/kerajaan atau satu orang menjalankan tiga kekuasaan dan pemikiran bahwa pelaksanaan lembaga eksekutif dan legislatif yang sama pada satu orang atau satu badan akan mengurangi kebebasan. 

Dalam pemikiran Montesquieu ini, tidak ada lembaga federatif yang menjalankan hubungan diplomatik dengan negara lain seperti yang diungkapkan Locke sebelumnya. Pasalnya, fungsi lembaga federatif sudah termasuk dalam fungsi lembaga eksekutif. Teori yang diungkapkan Montesquieu ini juga merupakan bentuk penyempurnaan dari teori pemisahan kekuasaan yang sebelumnya telah dijelaskan oleh John Locke. Trias Politika dianggap lebih menjamin hak kebebasan individual, sehingga, di era modern, teorinya dipraktikan oleh negara-negara demokrasi yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, seperti Amerika Serikat.

2.      Di Indonesia

Pada tanggal 18 Agustus 1945 bangsa Indonesia telah menetapkan dan memberlakukan sebuah UUD satu hari setelah proklamasi kemerdekaan yang merupakan hasil dari perumusan dan penyelidikan lembaga yang dibuat oleh balatentara Jepang sebagai janjinya untuk memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia suatu saat dengan membentuk lembaga yang bernama “Dokuritsu Zyunby Cgoosakai” atau yang dikenal dengan sebutan BPUKI yang menghasilkan rumusan UUD Negara, yang kemudian oleh bangsa Indonesia rumusan itu ditetapkan oleh PPKI menjadi UUD Negara Republik Indonesia satu hari setelah kemerdekaannya.

Sejak saat itu mulailah dilaksanakan hasil perjuangan kemerdekaan bangsa tersebut dengan tata susunan kenegaraan berpedoman kepada UUD yang telah ditetapkan oleh PPKI, yang kemudian dikenal dengan sebutan UUD 1945.

Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, pembagian kekuasaan diatur sebagai berikut :
1.      Kekuasaan legislatif yaitu DPR,
Pasal 20 ayat (1), yang berbunyi “Tiap undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat” yang berarti DPR  memegang kekuasaan membentuk Undang-undang. 
2.      Kekuasaan eksekutif yaitu Presiden,
Pasal 4 ayat (1), yang berbunyi “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar” memegang kekuasaan pemerintahan.
3.      Kekuasaan yudikatif yaitu Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.

Pasal 24 ayat (1), yang berbunyi “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang” yang berarti memegang kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.